Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Tahun Baru Imlek adalah Hari raya bagi umat Khonghucu; bukan klaim sepihak umat Khonghucu. Landasan keimanan Khonghucu berkaitan dengan hari raya ini terdapat dalam kitab suci Agama Khonghucu Kitab Sishu & Wujing.
Perintah Agama Khonghucu menjelaskan bahwa terdapat rangkaian ritual keagamaan, baik sebelum dan setelah hingga 15 hari sesudah Tahun Baru Imlek.
Landasan filosofis maupun historis jelas dalam sejarah resmi Tiongkok bahwa zaman Dinasti Han (206 SM – 220 M) saat Rujiao (agama Khonghucu) menjadi agama negara, maka ditetapkan tahun baru Imlek sebagai hari raya, menggunakan penanggalan berdasarkan penghitungan tahun kelahiran Kongzi (Confusius; sebutan yang disematkan Matteo Ricci misionaris Katolik saat berada di Tiongkok).
Tahun Masehi 2016 + 551 SM (tahun kelahiran Kongzi) adalah hitungan tahun baru Imlek 2567, maka disebut pula 2567 Kongzili. Penetapan penggunaan penghitungan tahun kelahiran Kongzi 551 SM dilakukan oleh Kaisar Han Wu Di pada tahun 104 SM.
Adapun masa pemerintahan Kaisar Han Wu Di (1 – 87 SM); jadi bukan baru ditetapkan di abad 19 seperti argumen beberapa pihak, melainkan sudah sejak ribuan tahun yang lalu.
Penanggalan Imlek adalah suatu sistem penanggalan yang sudah sangat tua umurnya, sekitar 4.700-an tahun yang lalu. Kaisar Huang Di yang hidup pada 2696 SM – 2598 SM adalah penggagas pertama penanggalan Imlek.
Huang Di dianggap sebagai ‘Bapak Tionghoa’ dengan sebutan Kaisar Kuning. Bagi umat Khonghucu (Rujiao) mengakuinya sebagai salah satu Nabi atau Raja Suci (dimana ulasan tersebut terdapat dalam Kitab Wujing).
Sistim penanggalan karya Huang Di ini kemudian diterapkan oleh Xia Yu, pendiri Dinasti pertama di Tiongkok menjadi penanggalan resmi Dinasti Xia (2205 SM-1766 SM). Namun Dinasti kedua yakni Dinasti Shang (1766 SM-1122 SM) tidak menggunakan penanggalan Dinasti Xia tersebut dan menggunakan penanggalannya sendiri.
Saat Dinasti Shang diganti Dinasti Zhou (1122 SM-255 SM) juga tidak menggunakan penanggalan karya Huang Di tersebut. Ketika Dinasti Zhou tumbang dan diganti Dinasti Qin (255 SM-202 SM) mereka memakai penanggalan sendiri, yakni penanggalan Dinasti Qin.
Semasa hidupnya Kongzi, Khongcu, Confusius (551 SM-479 SM) yang hidup pada zaman Dinasti Zhou menyerukan agar memakai penanggalan Dinasti Xia yang merupakan karya besar Huang Di (ulasan tentang hal ini terdapat dalam Kitab Sishu & Wujing).
Kongzi melihat bahwa mayoritas rakyat Tiongkok saat itu mayoritas hidup dari pertanian. Maka penanggalan karya Huang Di yang dipergunakan Dinasti Xia adalah penanggalan yang tepat karena awal tahun baru jatuhnya pada musim semi.
Maka kelak penanggalan Imlek disebut juga penanggalan petani & tahun barunya disebut perayaan musim semi. Namun seruan bijak Kongzi baru dilaksanakan pada masa Kaisar Han Wu Di di tahun 104 SM. Kaisar Han Wu Di (140 SM-86 SM) adalah Kaisar pada zaman Dinasti Han (206 SM – 220 M).
Baca juga : Tahun Baru Imlek, Hari Raya Agama atau Budaya?
Beberapa referensi sejarah Tiongkok menjadi landasan historis mengenai hal ini. Saat itu Rujiao (Kongjiao) sebutan agama Khonghucu menjadi agama negara (state religion).
Kaisar Han Wu Di yang memakai kembali penanggalan Xia karya besar Huang Di kemudian menetapkan tahun kelahiran Kongzi 551 SM menjadi awal dasar penghitungan penanggalan Imlek; maka disebut pula penanggalan Kongzili.
Penghormatan terhadap Kongzi yang dilakukan Han Wu Di setara dengan penghitungan tahun kelahiran Jesus pada kalender yang disebut penanggalan Masehi serta Hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Medinah dihitung sebagai tahun pertama kalender Hijriah.
Tentu ulasan tentang hal ini bisa menimbulkan perdebatan. Tapi sebagai penulis, saya memakai banyak referensi sejarah dan kitab suci berdasarkan agama Khonghucu.
Jika kemudian konteks hari ini Tiongkok dengan kebijakan politik tidak mengatur tentang agama & tahun baru Imlek dirayakan semua pihak, bukan berarti menghapus sejarah & ritual keagamaan Khonghucu berkaitan dengan tahun baru Imlek.
Agama apapun tidak lepas dari konteks budaya dimana agama tersebut berkembang. Ada budaya yang dibawa maupun akulturasi dengan budaya setempat. Bagaimana situasi di negeri Indonesia yg kita cintai bersama ini ?
Setahun sesudah Indonesia Merdeka (1946), Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan pemerintah tentang Hari Raya No. 2/OEM-1946, dan khusus bagi Umat Khonghucu ditetapkan empat hari raya; yakni Tahun baru Imlek, Ching Bing, Hari lahir Nabi Khongcu dan Hari wafat Nabi Khongcu.
Pada zaman orde baru semua hal yang berkaitan dengan Tiongkok dilarang untuk dipertunjukkan/dilakukan dimuka umum, termasuk agama yang berasal dari Tiongkok sendiri; yakni Khonghucu.
Walaupun di diskriminasi, umat Khonghucu tetap bertahan selama 32 tahun bahkan mendapat stigma buruk. Umat Khonghucu tetap melaksanakan perayaan tahun baru Imlek dengan semua kewajiban ibadahnya.
Ritual persembahyangannya dilakukan di rumah maupun di rumah ibadat seperti Klenteng, Miao, Litang, Xuetang. Walaupun saat itu kerap diawasi oleh negara, tapi umat Khonghucu tetap melaksanakan kewajiban ibadahnya.
Setiap rezim pasti punya sejarah.
Ketika Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai Presiden pada saat itu mencabut Inpres 14/1967 melalui penerbitan Kepres 6/2000, maka Gus Dur memulai tradisi sebagai Presiden pertama yang menghadiri perayaan tahun baru Imlek Nasional yang dilakukan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) dalam perayaan hari raya keagamaan Khonghucu.
Sikap seorang Gus Dur bukannya tanpa dasar, namun tentu sudah melalui pertimbangan matang & kajian mendalam apakah Imlek termasuk tradisi budaya atau hari raya keagamaan.
Kalau ada yang protes bahwa Imlek itu bukan hari raya agama Khonghucu dengan segala teorinya, maka berarti meragukan integritas seorang Gus Dur; bahkan menghina & melecehkan sikap Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia.
Tradisi Presiden RI yang kerap menghadiri perayaan tahun baru Imlek Nasional, kemudian diikuti oleh Presiden-Presiden berikutnya, seperti Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo (walaupun Jokowi berhalangan hadir pada Imleknas 2015, tapi sambutan resmi dari Presiden Jokowi dibacakan Puan Maharani sebagai perwakilan).
Kitapun bertanya, jika para Presiden Republik Indonesia hadir dengan memberi sambutan pada perayaan tahun baru Imlek yang diselenggarakan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), apakah berarti para Presiden ini keliru?
Karena bukankah banyak teori & argumen mengatakan bahwa Imlek bukanlah perayaan tahun baru agama Khonghucu? Kenapa mereka hadir dan memberi sambutan?
Jika benar seperti argumen banyak pihak bahwa tahun baru Imlek adalah perayaan tahun baru etnis Tionghoa, (termasuk tradisi & budaya Tionghoa), maka melihat data statistik di Indonesia yang terdapat 1.340 etnis; tentu menjadi pertanyaan :
“Bagaimana jika semua etnis yang ada di Indonesia minta disamakan dengan etnis Tionghoa agar diberi hari libur?”
Bisa-bisa setiap hari adalah hari libur. Dan tentu akan ada banyak pihak bertanya, apakah etnis Tionghoa dianggap istimewa dibandingkan etnis lain, sehingga tahun baru Imlek milik etnis Tionghoa diliburkan oleh pemerintah?
Dibuku kenangan perayaan tahun baru Imlek Nasional yang setiap tahun diselenggarakan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) selalu ada sambutan tertulis dari Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua Mahkamah Konstitusi, Para Menteri termasuk Menteri Agama.
Selain itu seluruh Majelis Keagamaan, seperti MUI, Sangha Theravada Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, hingga KWI Konferensi Para Uskup & Umat Katolik Indonesia dengan menyebutkan dalam sambutan tertulis mereka ‘Bagi seluruh umat Khonghucu Indonesia kami ucapkan selamat hari raya tahun baru Imlek 2566 Kongzili’ (contoh sambutan tahun 2015 lalu).
Setiap tahun ada sambutan tertulis dari mereka-mereka yang disebutkan di atas. Apakah sambutan resmi tersebut hanya basa-basi saja? Apakah para pemimpin umat seperti Kardinal, Ulama, Pendeta, Bhikkhu, Pandita atau rohaniwan Hindu serta para Menteri dan ketua lembaga tinggi dan tertinggi negara ini juga salah kaprah?
Apakah mereka tidak melakukan kajian mendalam bahwa Imlek itu bukan hari raya agama Khonghucu karena itu merupakan budaya tradisi Tionghoa seperti banyak argumen dan teori lainnya yang terus menerus disebarkan?
Mengenai Kepres yang diterbitkan Presiden Megawati berkaitan dengan Imlek yang dikatakan bahwa legalitas tidak menunjukkan sebagai hari raya agama Khonghucu; lihatlah secara komprehensif bahwa saat memberi sambutan pada perayaan Imlek Nasional yang diselenggarakan Matakin.
Megawati mengatakan akan memberi kado istimewa kepada umat Khonghucu. Adapun isi Kepres itu sebagai keputusan hukum dan tentu berdampak politis. Tapi bacalah ini secara komprehensif.
Kebijakan pemerintah melalui Menteri Agama yang mengeluarkan kebijakan soal perayaan tahun baru Imlek sebagai hari raya Agama Khonghucu salah satunya bisa dilihat dalam sambutan resmi pada Perayaan tahun baru Imlek Nasional.
Apakah Menteri Agama juga keliru? Kemudian berkaitan dengan banyaknya perdebatan apakah bisa dirayakan oleh agama lain sebagai bagian dari tradisi budaya?
Banyak masyarakat keturunan Tionghoa yang bukan lagi beragama Khonghucu berupaya untuk merayakan Imlek sebagai bagian dari tradisi budaya semata. Termasuk saudara-saudara kita umat Kristen dan Katolik. Hal ini menurut saya biasa saja, syukur kalau mereka masih menghargai leluhur dan warisan budayanya.
Tapi tentu tidak elok & bijak jika dikaitkan dengan ritual keagamaan. Hal ini menurut saya kurang pas saja. Tapi itulah hak asasi manusia asalkan tidak melanggar hak asasi manusia lain.
Juga tidak pantas jika menghujat umat Khonghucu dengan mengatakan bahwa umat Khonghucu telah mengklaim secara sepihak mengenai tahun baru Imlek.
Sikap para pemimpin agama di berbagai daerah juga beragam. Ambil contoh saudara-saudara kita umat Katolik. Mungkin ada Uskup di berbagai daerah melaksanakan misa Imlek. Tapi ada juga sikap lain seperti Uskup Surabaya yang melarang hal ini dilakukan. Demikian juga dengan umat Buddha.
Saat Orde Baru, ada surat resmi dari Dirjen Bimas Buddha pada tahun 1990 dan 1993 yang melarang Imlek dilaksanakan di dalam Vihara. Dalam surat tersebut juga dikatakan bahwa Klenteng bukan tempat ibadat agama Buddha.
Demikian pula ada surat resmi Walubi. Jika sekarang ini pimpinan maupun umat Buddha ikut merayakannya, tentu kita hanya bisa maklum sambil tersenyum melihat hal ini karena dulu melarang kenapa sekarang merayakan?
Sebagai umat Khonghucu yang pernah merasakan tindakan diskriminatif rezim orde baru, saya belajar banyak dari berbagai peristiwa. Bagi kami (penulis) yang tinggal di daerah Manado, Sulawesi Utara dengan mayoritas penduduknya adalah Kristen dan Katolik.
Kami hidup rukun dan damai. Beberapa tahun yang lalu saya sempat menyelenggarakan ‘open house’ pada saat hari raya Imlek. Banyak teman dan sahabat yang datang, termasuk para pemimpin agama, para tokoh masyarakat hingga para pejabat.
Baca juga : Tahun Baru Imlek, Hari Raya Agama atau Budaya?
Lalu apakah ada misa Imlek di daerah saya (Manado)? Iya ada! Bahkan di salah satu Gereja yang kebanyakan umatnya merupakan mayoritas saudara-saudara kita etnis Tionghoa, belakangan turut merayakan Imlek di Gereja. Saat ini malah sudah ada pertunjukan Barongsai dalam Gereja, juga acara bagi-bagi angpao.
Padahal dulu mereka tidak mau dikaitkan dengan hal yang berkaitan dengan agama, budaya & adat istiadat China yang berasal dari Tiongkok dimana agama Khonghucu ini berasal; bahkan melarang hal tersebut dilakukan!
Kesimpulan menurut pendapat penulis pribadi :
Tahun baru Imlek adalah hari raya Khonghucu, diitinjau dari kitab suci, sejarah, landasan filosofis, budaya, hukum dan lain sebagainya.
Jika ada yang meragukan bahkan mengatakan bahwa perayaan Imlek itu hanyalah perayaan budaya atau adat & tradisi etnis Tionghoa semata, bukan hari raya agama Khonghucu, berarti tentu meragukan integritas Presiden Gus Dur, juga Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo serta para pimpinan Lembaga seperti MPR, MK, DPR, DPD, hingga para Menteri termasuk meragukan integritas para Ulama, Kardinal, Pendeta, Bhikkhu hingga Tokoh Hindu.
“Dalam setiap peribadatan terkandung unsur budaya & tradisi, namun tidak semua budaya & tradisi adalah peribadatan ritual sebagai bentuk ekspresi spiritualitas”
Soal ada saudara-saudara kita umat Katolik atau Kristen dengan alasan budaya atau tradisi merayakannya, silahkan saja.
Apakah bisa dirayakan di dalam Gereja atau Kapel? Tentu serahkan saja kepada umatnya atau pemimpin umatnya apakah tidak bertentangan dengan doktrin agamanya? Apakah tidak bertentangan dgn Kitab Sucinya?
Apakah etis dan bijak merayakan Imlek di rumah ibadat yang bukan rumah ibadat Khonghucu? Biarlah hal ini menjadi pergumulan internal saudara-saudara kita. Sebagai umat Khonghucu, kami menghormatinya.
Saya pribadi menyadari bahwa hakekat beragama bukan terletak pada simbol-simbol semata, tetapi kepada perbuatan pribadinya dan tentu saja pertanggungjawaban kepada Tuhan sebagai penciptaNya.
Salam rukun dan damai memasuki Tahun Baru Imlek 2567 Kongzili sebagai hari raya bagi umat Khonghucu!
Penulis : Sofyan Jimmy Yosadi (Yang Chuan Xian) – Advokat, Ketua Komunitas Budaya Tionghoa SULUT
Bisa minta tolong sumber tulisan han wu di memulai angka tahun yg sampai kini 2569 dari catatan yang mana?yg dimulai abad 19 adalah pnghitungan tahunnya, kalau sistem penanggalan memang sudah ribuan tahun, bahkan yang pakai tahun huangdi 4715 pun sistem penanggalannya sama, tolong dibedakan sistem penanggalan dan pnghitungan angka tahun, contohnya tahun kaisar daoguang ke 5 juga sistem tanggalnya sama, hanya angka tahunnya yg beda
Surat dari dari Departemen Agama cq Dirjen Bimas Hindu dan Buddha yang melarang Imlek dilaksanakan di Vihara diterbitkan semasa orde baru sarat muatan politis, seharusnya itu diterjemahkan sebagai larangan dari pemerintah bukan dari pimpinan agama Buddha, faktanya dilapangan pengurus Vihara tidak mengarahkan, tidak menganjurkan dan tidak melarang kami umatnya jika ingin menjalankan ritual imlek di rumah bersama keluarga atau di bahkan di Klenteng.
Kami sekeluarga dan banyak teman keluarga lain yang senasib sepenagungan pada masa orde baru melakukan persiapan perayaan imlek dan Vihara menjadi sepi pada saat itu bahkan kebaktian minggu bisa ditiadakan karena umatnya sibuk dengan persiapan imlek yang pada puncaknya melakukan sembahyang malam imlek di kelenteng karena tidak ada puja bakti imlek di Vihara saat itu, yang bahkan sampai sekarang juga seperti itu. Beberapa Vihara Buddha khususnya sekte Mahayana saat ini sudah mengadakan kebaktian malam Imlek, umat seperti saya jadi ada pilihan mau sembayang malam Imlek di Vihara atau di Klenteng. Saya rasa sekarang ini Pimpinan dan Umat Buddha tidak perlu lagi mengikuti Surat Edaran/SE tentang larangan melakukan Imlek di Vihara, kalau perlu dicabut saja tuh SE.
Entah kebeneran atau bgma, membaca bulletin psmti bulan 2 tahun 2015 yang lalu, mengenai tahun kongzili ini, setahun ke blakang saya juga sempat menelusuri bahkan sampai pada sejarah yg tercatat mengenai Huang Di. Terlepas dari pro kontra, kalo saya mau jujur, apa yang pak Sofyan sampaikan dlm artikel ini adalah memang sesuai dengan sejarah, kitab suci kong hu cu, dan pengakuan pemerintah Indonesia. Ditambah dengan perjuangan rekan2 di Kong Hu Cu yang berjuang menjadikan Hari Raya Imlek sbg hari libur pada jaman Presiden Gus Dur.
Bagaimanapun, mau dibawa kemanapun, Imlek 2567, tahun 2567 ini adalah tahun kongzili. Merayakan imlek 2567 adl mengakui (berarti) tahun lunar 2567 kongzili
Sy pikir sebagai keturunan tionghoa yg diajarkan untuk berjiwa besar oleh leluhur, kita semua wajib menerima kenyataan ini dengan pikiran yg terbuka. Menentang habis habisan dgn berbagai daya upaya hanya karehna ingin menikmati tradisi imlek tanpa mau menjalankan tradisinya itu sendiri, adalah hanya membuat malu diri sendiri.
Semoga bermanfaat.
Ya, ini benar.
Yg mengklaim imlek di agama lain pengen enaknya saja. Pengen imlek merah2 beralasan budaya tradisi, tapi budaya tradisi dlm merayakan imleknya gak mau diikuti. Terutama dlm hal tradisi sembayang malam imlek, pai hio-pai kui kepada leluhur, tidak mau. Beralasan menyembah setan. Berarti mereka keturunannya adl keturunan atau anak setan. Wkwkwk.
Itu namanya hanya mau yang menguntungkan saja. Jika tidak, tentu tidak akan diikuti.
Saat ini malah banyak masyarakat pribumi yang ingin ikut tradisi kita; bahkan tidak sedikit yang ingin minta dibuatkan nama Mandarin.
Tidak tahu apa saat ini etnis Tionghoa lagi naik daun atau karena apa; padahal sebelum tahun 2000, orang cenderung takut jika dianggap etnis Tionghoa.
Setuju.. sangat informatif