Last Updated on 31 October 2021 by Herman Tan Manado

24 Teladan Berbakti (Hanzi : 二十四孝; Pinyin : Ershisi xiao), atau The Twenty-four Filial Exemplars, adalah teks klasik Konfusianisme tentang Bakti (孝), yang ditulis oleh Guo Jujing (郭居敬) pada jaman Dinasti Yuan (1260-1368).

Buku teks itu sangat berpengaruh pada jaman2 setelahnya, dan digunakan untuk mengajarkan nilai2 moral Konfusianisme kepada anak-anak, agar BERBAKTI dan INGAT orang tuanya!

♦ Sejarah Karya Teks Klasik 24 Teladan Berbakti

Beberapa cerita dalam teks klasik “Ershisi Xiao” diambil dari teks lain, seperti dari Xiaozi Zhuan (孝子傳), Yiwen Leiju (艺文类聚) atau ensiklopedia Tiongkok, Taiping Yulan (太平御览) atau bacaan dari Era Taiping yang dianggap sebagai salah satu dari 4 karya sastra terbesar di jaman Dinasti Song, dan Soushen Ji (搜神記) yang merupakan kompilasi cerita legenda mengenai Dewa, hantu, dan fenomena supranatural lainnya.

Setelah Ershisi Xiao dirilis, edisi revisi dan karya2 serupa lainnya diterbitkan. Beberapa diantaranya adalah Riji Gushi Daquan Ershisi Xiao (日記 故事 大全 二十四孝; Kisah Buku Harian Lengkap dari 24 Teladan Berbakti), Nan Nu Ershisi Xiao (男女 二十四孝; 24 Teladan Pria dan Wanita Berbakti), serta Nu Ershisi Xiao (女二十四孝; 24 Teladan Wanita berbakti).

Konsep Bakti (孝) telah memainkan peran yang kuat dalam nilai2 budaya Tiongkok selama ribuan tahun!

Menjelang akhir Dinasti Qing, Zhang Zhidong 张之洞 (salah satu dari 4 pejabat paling terkenal di akhir Dinasti Qing) dan yang lainnya mengedit dan memperdalam buku2 tersebut, serta merilisnya sebagai Bai Xiao Tu Shuo (百孝圖說; Ilustrasi Ratusan Kisah Bakti Anak).

Konsep BAKTI (孝) telah memainkan peran yang kuat dalam nilai2 budaya Tiongkok sejak jaman kuno. Ada pula tradisi berbakti dalam duka, di mana seorang anak harus mengesampingkan sementara apa pun yang sedang dilakukannya, ketika orang tuanya meninggal dan harus berkabung selama 3 tahun!

Ada pepatah seperti “Ketika seorang penguasa menginginkan seseorang untuk mati, maka ia harus mati; ketika seorang ayah ingin putranya mati, maka putranya harus mati”, dan orang yang setia harus ada dalam keluarga, dalam wujud seorang putra yang berbakti.”

Beberapa kisah dalam “Ershisi Xiao” dianggap terlalu ekstrem, seperti kisah Guo Ju yang memutuskan untuk membunuh putranya, sehingga mereka memiliki satu mulut yang lebih sedikit untuk diberi makan.

Contoh lainnya seperti cerita dimana tokoh protagonis yang mencelakai dirinya sendiri demi memenuhi rasa baktinya, seperti Wu Meng yang bertelanjang membiarkan nyamuk menghisap darahnya, dengan harapan tidak agar tidak mengganggu orang tuanya. Atau Wang Xiang yang rela berbaring telanjang di atas es untuk mencairkan es, sehingga dia bisa menangkap ikan untuk ibunya.

♦ Daftar Tokoh Dalam Buku Bakti Ershishi Xiao (二十四孝)

11. Cai Shun (蔡順), Dinasti Xin s/d Han Timur : Dia Memilih Mulberry (Murbei) untuk Ibunya (拾 椹 供 亲; Shí Shèn Gòng Qīn)

Cai Shun, penduduk asli Runan (sekarang Henan), telah kehilangan ayahnya ketika dia masih muda. Jadi dia tinggal bersama ibunya, dan sangat berbakti padanya.

Selama masa pemberontakan Wang Mang, harga2 pangan tinggi dan kelaparan terjadi dimana2, sehingga Cai dan ibunya mengumpulkan buah2 murbei sebagai makanan untuk mereka sendiri.

Suatu hari ketika Cai sedang keluar mengumpulkan buah murbei, dia bertemu dengan para pemberontak Alis Merah (赤眉; Chimei), yang bertanya mengapa dia memisahkan buah murbei hitam dan merah, dan meletakkannya di keranjang yang berbeda?

Cai menjawab bahwa buah yang hitam (yang rasanya manis) untuk ibunya, sedangkan yang merah (yang terasa asam) untuk dirinya sendiri. Para pemberontak terkesan dengan kesalehannya sebagai anak, dan memberinya 3 bakul nasi dan seekor sapi.

12. Ding Lan (丁蘭), Dinasti Han Timur : Dia Mengukir Patung Kayu Orang Tua untuk Melayani Mereka (刻木事亲; Kè Mù Shì Qīn)

Menurut legenda, Ding lan adalah penduduk Henei (sekarang Henan) semasa Dinasti Han Timur. Ding telah menjadi anak yatim piatu di usia muda. Tetapi dia sangat merindukan orang tuanya, sehingga dia mengukir 2 patung kayu dalam rupa mereka, dan memperlakukan mereka seolah2 mereka masih hidup.

Setiap hari, dia selalu memberi penghormatan, dan memberi tahu kalau mau pergi keluar, tidak pernah kendur.

Suatu hari, ketika Ding sedang keluar, istrinya, yang karena penasaran, menggunakan jarum untuk menusuk salah satu patung. Yang membuatnya terkejut, patung itu mulai berdarah. Ketika Ding kembali ke rumah, dia melihat patung itu berdarah, dan air mata berlinang dari matanya. Jadi dia bertanya kepada istrinya apa yang terjadi.

Setelah mengetahui kebenarannya, dia sangat marah, sehingga menceraikan dan mengusir istrinya.

13. Lu Ji (陸績), Dinasti Han Timur : Dia Menyembunyikan Jeruk untuk Ibunya (怀橘遗亲; Huái Jú Yí Qīn)

Lu Ji merupakan penduduk asli Huating (sekarang Songjiang, Shanghai) di Negara Wu, pada jaman 3 Kerajaan. Saat Lu Ji berusia 6 tahun, ayahnya, Lu Kang, pernah mengajaknya mengunjungi Yuan Shu di Jiujiang. Yuan mentraktir mereka makan jeruk mandarin. Diam2, Lu mengambil 2 buah dan menyembunyikan di lengan bajunya.

Sementara Lu dan ayahnya bersiap untuk pergi, jeruk tiba2 keluar dari lengan bajunya. Yuan tertawa, “Kamu datang sebagai tamu. Haruskah kamu menyembunyikan jeruk tuan rumah saat kamu pergi?” Lu menjawab, “Ibuku suka jeruk mandarin ini, jadi aku ingin membawanya pulang beberapa untuk dicoba.”

Yuan Shu pun terkejut, melihat betapa berbakti kepada ibunya di usia muda. Ketika dewasa, Lu Ji menjadi seorang terpelajaryang ahli dalam bidang astronomi dan perhitungan kalender. Dia pernah menulis “Huntian Tu” (浑天图), menjelaskan kitab “Yijing” 易经), dan menulis anotasi “Taixuan Jingzhu” (太玄经注).

14. Jiang Ge (江革), Dinasti Han : Dia Bekerja untuk Mendukung Ibunya (行佣供母; Xíng Yōng Gòng Mǔ)

Jiang Ge adalah penduduk asli Linzi, Negara Bagian Qi, Dinasti Han Timur. Selama perang, Jiang dan ibunya melarikan diri. Dia menggendong ibunya di punggungnya, dan merawatnya di sepanjang jalan saat mereka melakukan perjalanan dari kota Linzi ke Xiapi.

Ketika mereka bertemu dengan perampok dalam perjalanan, Jiang sambil berlinang air mata memohon agar mereka menyelamatkan dia dan ibunya. Jiang Ge berteriak “Ibuku sudah tua, dan tidak ada yang membopongnya”.

Para perampok sangat tersentuh oleh sikap bakti Jiang, sehingga mereka menyelamatkan dia dan ibunya, dan menunjukkan rute perjalanan yang aman untuknya. Di Xiapi, Jiang bekerja keras sebagai pekerja upahan,untuk memastikan ibunya dapat hidup dengan nyaman.

15. Huang Xiang (黃香), Dinasti Han Timur : Dia Mengipasi Bantal dan Menghangatkan Selimut (扇枕温衾; Shàn Zhěn Wēn Qīn)

Huang Xiang merupakan penduduk asli Xia’anlu, Dinasti Han Timur. Huang kehilangan ibunya ketika dia berusia 9 tahun. Jadi dia tinggal bersama ayahnya dan sangat berbakti kepadanya.

Selama musim panas, Huang mengipasi alas bantal ayahnya, untuk memastikan ayahnya bisa tidur nyenyak di malam hari. Di musim dingin, dia membungkus dirinya dengan selimut ayahnya untuk menghangatkan tempat tidur ayahnya.

16. Wang Pou (王裒), Jaman Tiga Kerajaan : Dia Menangis di Makam Ibunya Saat Mendengar Guntur (闻雷泣墓; Wén Léi Qì Mù)

Wang Pao lahir di Yingling (sekarang tenggara Changle, Shandong) selama Dinasti Wei dan Jin. Dia berpengetahuan luas dan cakap. Ayahnya, Wang Yi, dibunuh oleh Sima Zhao.

Ibu Wang Pou takut dengan suara guntur ketika dia masih hidup. Setelah dia meninggal, setiap kali Wang mendengar guntur, dia bergegas ke kuburan untuk memeluk batu nisan ibunya dan menghiburnya, sambil berkata “Bao’er ada di sini, ibu jangan takut.” Dengan air mata berlinang, dia merindukan orangtuanya.

17. Wu Meng (吳猛), Dinasti Jin : Dia Memberi Makan Nyamuk dengan Darahnya (恣蚊饱血; Zī Wén Báo Xuě)

Wu Meng, penduduk asli Puyang sudah dikenal karena baktinya sebagai anak ketika dia masih berusia 8 tahun. Keluarganya miskin dan tidak mampu membeli kelambu.

Selama malam2 di musim panas, Wu menelanjangi dirinya dan duduk di dekat tempat tidur orang tuanya, membiarkan nyamuk menggigit alih-alih mengusirnya, agar nyamuk menghisap darahnya dengan harapan tidak akan mengganggu tidur orang tuanya.

18. Wang Xiang (王祥), Dinasti Han Timur s/d Jaman Tiga Kerajaan : Dia Berbaring di Es untuk Mencari Ikan Mas (卧冰求鲤; Wò Bīng Qiú Lǐ)

Wang Xiang, penduduk asli Langya, telah kehilangan ibu kandungnya ketika dia masih kecil. Ibu tirinya, Zhu Shi, tidak menyukainya dan sering berbicara buruk tentang dia di depan ayahnya, yang mengakibatkan dia kehilangan cinta ayahnya. Namun, Wang tetap berbakti kepada mereka, dan merawatnya ketika sakit.

Suatu kali, saat musim dingin, ibu tiri Wang tiba2 sangat ingin makan ikan mas. Wang pun melakukan perjalanan ke sungai yang telah membeku, lalu melepas pakaiannya dan berbaring di permukaan es. Kemudian permukaan es tiba2 mencair, dan Wang berhasil menangkap 2 ekor ikan mas untuk ibu tirinya.

Semasa dewasa, Wang Xiang pernah hidup dalam pengasingan selama lebih dari 20 tahun. Kemudian, dari hakim wilayah Kabupaten Wenxian, dia diangkat sebagai Da Si Nong, Sikong, dan Taiwei.

19. Yang Xiang (楊香), Dinasti Jin : Dia Memerangi Harimau untuk Menyelamatkan Ayahnya (扼虎救亲; È Hǔ Jìu Qīn)

Ketika Yang Xiang berusia 14 tahun, dia pernah mengikuti ayahnya untuk memanen padi. Seekor harimau tiba2 muncul dan menyerang ayahnya.

Dalam keputusasaan dan tidak bersenjata, Yang kemudian melompat ke punggung harimau itu, dan berusaha mencekik leher harimau itu dengan tangannya. Harimau itu melepaskan ayahnya dan melarikan diri.

20. Meng Zong (孟宗), Dinasti Han Timur s/d Jaman Tiga Kerajaan : Dia Menangis dan Bambu Bertunas (哭竹生笋; Kū Zhú Shēng Sǔn)

Meng Zong adalah penduduk asli Jiangxia selama periode Tiga Kerajaan. Ayah Meng meninggal ketika dia masih kecil. Jadi dia tinggal bersama ibunya. Suatu ketika, saat ibunya sakit, dokter menyarankan agar dia minum sup yang terbuat dari rebung muda. Namun, saat itu di musim dingin dan tidak ada rebung segar.

Dalam keputus-asaan, Meng pergi ke hutan bambu sendirian dan menangis. Saat itu, dia mendengar suara keras dan melihat beberapa tunas rebung tumbuh dari dalam retakan tanah. Dengan perasaan senang, dia kemudian mengumpulkannya, pulang, dan segera membuat sup untuk ibunya.

Setelah beberapa hari, ibunya sembuh dari penyakitnya setelah rutin meminum sup buatan anaknya. Setelah kematian ibunya, dia pergi merantau ke Sikong.

21. Yu Qianlou (庾黔婁), Dinasti Qi Selatan : Dia Mencicipi Kotoran Ayahnya dan Khawatir tentang Ayahnya (尝粪忧心; Cháng Fèn Yōu Xīn)

Yu Qianlou diangkat sebagai hakim di Kabupaten Chanling. Suatu hari, setelah dia menjabat kurang dari 10 hari, dia tiba2 merasa ada firasat akan terjadi sesuatu di rumah. Jadi dia mengundurkan diri dan pulang.

Ketika sampai di rumah, dia mengetahui bahwa ayahnya sudah sakit parah selama 2 hari. Dokter mengatakan kepadanya bahwa cara untuk memeriksa kondisi ayahnya adalah dengan mengecap kotorannya. Jika terasa pahit, berarti ayahnya baik-baik saja.

Yu kemudian mencicipi kotoran ayahnya dan mendapati bahwa itu terasa manis, jadi dia menjadi sangat khawatir. Di malam hari, dia berdoa kepada para Dewa, dan menyatakan kesediaannya untuk mati menggantikan ayahnya.

Namun sayang ayahnya meninggal beberapa hari kemudian. Yu menguburkan ayahnya, dan berkabung selama 3 tahun..

22. Nyonya Tang (唐夫人), Dinasti Tang : Dia Menyusui Ibu Mertuanya (乳姑不怠; Rǔ Gū Bù Dài)

Nyonya Tang adalah nenek dari jiedushi yang bernama Cui Shannan (崔山南). Jadi cerita ini mungkin terjadi di masa kecil Cui. Nenek buyut Cui, Nyonya Zhangsun, sudah sangat tua dan sudah kehilangan semua giginya.

Nyonya Tang sangat berbakti, dengan merawat ibu mertuanya dan menyusui dia selama bertahun2. Setiap pagi setelah mandi, dia pergi ke rumah untuk memberi makan ibu mertuanya dengan susu asinya.

Ketika Nyonya Zhangsun berada di ranjang kematiannya, dia memanggil semua anggota keluarganya dan mengatakan kepada mereka, “Saya tidak akan pernah bisa membalas kebaikan menantu perempuan saya.

Saya hanya berharap Anda semua akan memperlakukan dia sebagaimana dia memperlakukan saya.” Setelah Cui dewasa, dia mengikuti kata2 nenek buyutnya, dan memperlakukan neneknya dengan baik.

23. Zhu Shouchang (朱壽昌), Dinasti Song : Dia Menyerahkan Karir Resminya untuk Mencari Ibunya (弃官寻母; Qì Guān Xún Mǔ)

Ketika Zhu Shouchang berusia 7 tahun, Liu Shi, ibunya (selir ayahnya) diusir dari rumah oleh ibu tirinya (istri utama ayahnya). Ketika dewasa, dia menjadi pejabat pemerintah selama periode Shenzong, dan menjabat selama bertahun2.

Dia seringkali merindukan ibu kandungnya, dan berharap untuk dapat bertemu kembali dengannya, meskipun mereka belum pernah bertemu selama lebih dari 50 tahun.

Ketika mendapat petunjuk keberadaan ibunya di Shaanxi, dia melepaskan karirnya. Dia melakukan perjalanan jauh untuk mencarinya, serta bersumpah untuk tidak pernah menyerah sampai menemukannya. Dia akhirnya menemukan ibunya, yang saat itu sudah berusia sekitar 70-an, bersama 2 adik laki2nya di Shanzhou.

24. Huang Tingjian (黃庭堅), Dinasti Song Utara : Dia Mencuci Tempat Tidur Ibunya (涤亲溺器; Dí Qīn Nì Qì)

Huang Tingjian, lahir di Fenning (sekarang Xiushui, Jiangxi) di masa Dinasti Song Utara, adalah seorang penyair dan penulis kaligrafi terkenal.

Huang sangat berbakti kepada ibunya dan merawatnya secara pribadi. Bahkan setelah mendapat posisi tinggi sebagai pejabat pemerintah, dia masih mencuci pispot (toilet) ibunya setiap malam. Dia tidak pernah melupakan tanggung jawab sebagai anak.

Baca juga : bagian 1 nya

Referensi : Sohu.com – 绝版二十四孝图, 建议收藏!, Wikipedia – The Twenty-four Filial Exemplars

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?