Last Updated on 2 November 2024 by Herman Tan Manado
Ceng Beng atau Festival Qingming (清明节; Qing Ming Jie) adalah ritual sembahyang dan ziarah kubur tahunan masyarakat Tionghoa yang dilakukan di berbagai Negara, termasuk di Indonesia. Tidak jauh berbeda dengan Imlek, seluruh masyarakat Tionghoa pun turut menghormati perayaan ini, sebagai bagian dari kultur tradisi yang harus dilestarikan.
Perlu diketahui bahwa hari sembahyang Ceng Beng memiliki beberapa nama istilah lain, seperti “Festival Ziarah Kubur”, “Hari Menyapu Kuburan”, ataupun “Hari Arwah”. Hari Ceng Beng sendiri akan berlangsung pada tanggal 5 April setiap tahunnya.
Bagi kalangan Tionghoa, perayaan Hari Ceng Beng dilakukan untuk mengenang dan memberi penghormatan pada leluhur/nenek moyang. Kegiatan utamanya adalah bersih2/menyapu kuburan, dilanjutkan dengan mengatur persembahan, seperti makanan, bunga, lilin, dupa, lalu dilanjutkan dengan sembahyang bersama.
Bagi masyarakat Tionghoa, Hari Ceng Beng merupakan hari terpenting ke-2 setelah Imlek, untuk berkumpul bersama keluarga besar. Bahkan sampai ada celetukan di masyarakat, “Lebih baik tidak pulang Imlek, daripada tidak pulang Ceng Beng“, menandakan bagaimana pentingnya perayaan ini dibanding perayaan lainnya.
Baca juga : Makna Hari Ceng Beng (Festival Ching Ming)
1. Membersihkan Makam : Pay Respect!
Agenda utama dari Hari Cengbeng adalah datang berziarah ke makam keluarga atau leluhur, serta membersihkan makam, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Tak heran jika banyak keluarga masyarakat Tionghoa yang datang berbondong2 ke makam kuburan, sambil membawa berbagai perlengkapan kebersihan, seperti sapu, kain pel, cat, kuas, air galon, dan tak lupa kertas perak untuk ditaburkan diatas kubur, sebagai pertanda kubur sudah dibersihkan.
Rumput liar yang tumbuh menutupi batu nisan dan karapas makam pun harus dipotong, kemudian barulah menaruh persembahan dan membakar dupa (pay respect).
2. Fakta di Balik Makam Tionghoa : Ukuran Makam Jumbo
Bagi masyarakat awam, ukuran makam tidak akan jauh berbeda dengan ukuran tubuh seseorang. Hal tersebut berbeda dengan makam kuburan ala masyarakat Tionghoa, yang cenderung memiliki ukuran besar (berukuran 4×6 meter atau lebih). Mengapa bisa demikian?
Karena makam masyarakat Tionghoa umumnya dibuat untuk sepasang suami-istri.
Meski baru si istri, atau si suami yang meninggal, tapi lubang makam telah dipersiapkan untuk berdua. Nama pasangan dan anak2 pun sudah diukir di batu nisannya. Hanya saja, tinta nama untuk pasangan yang belum meninggal dibedakan, dengan warna merah. Sementara pasangan yang sudah meninggal diberi warna kuning emas.
Di sudut kiri dan kanan belakang makam disediakan 2 tempat untuk bakar kertas kimcoa : sebelah kiri untuk arwah, sebelah kanan untuk Tu Di Gong (土地公; Dewa Bumi). Sementara dibagian samping depan makam, juga dibuat altar kecil untuk persembahyangan Tu Di Gong.
Faktor lain yang menentukan ukuran makam biasanya dilihat dari status seseorang. Konon pada jaman dahulu, masyarakat kalangan menengah ke bawah tidak bisa memiliki makam dengan ukuran besar, apalagi berhiaskan banyak motif seperti makam2 keturunan Kaisar.
Baca juga : Ceng Beng : Inilah 6 Hal Yang Perlu Anda Lakukan Pada Saat Ziarah Kubur
3. Menghabiskan Waktu Bersama Keluarga Besar
Sama seperti Imlek, momen ziarah ke makam leluhur pun merupakan waktu dimana keluarga besar berkumpul. Tidak sedikit masyarakat Tionghoa yang rela datang dari jauh, beli tiket pesawat PP, hanya untuk menghadiri sembahyang Cengbeng bersama keluarga besarnya.
Biasanya rentang waktu untuk pergi berziarah kubur adalah 10 hari sebelum hari Cengbeng (Hari H), sampai dengan 10 hari sesudahnya. Namun saat ini, masyarakat Tionghoa umumnya mencari tanggal merah/hari minggu terdekat dari Cengbeng, agar tidak mengganggu rutinitas pekerjaan.
Baca juga : 8 Hal Tentang Festival Qingming Yang Perlu Pembaca Ketahui
Momen sembahyang Cengbeng dilakukan bersama keluarga untuk menghormati leluhur yang telah tiada. Tradisi tersebut akan terus berlanjut sampai ke generasi penerus kita kelak.