Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado

Menurut catatan sejarah, etnis Tionghoa sudah berada di Indonesia sejak abad ke 4. Sejarah panjang etnis Tionghoa di Indonesia juga ada pasang surutnya, termasuk mengalami diskriminasi. Salah satu titik terkelam adalah pada saat orde baru, dimana seluruh kegiatan dan atribut yang berbau “kecinaan” wajib ditinggalkan

Meski Indonesia adalah sebuah negara yang kaya dengan aneka ragam tradisi, budaya, bahasa dan etnis; namun faktanya etnis Tionghoa pada saat itu masih sulit diterima jika dibandingkan dengan etnis Tionghoa lainnya di negara tetangga, seperti Malaysia atau Singapura yang mendapat perlakukan jauh lebih baik.

Sebagai etnis Tionghoa sudah lahir, tinggal, serta besar di Indonesia, namun kita kadang masih dianggap sebagai masyarakat kelas II.

Padahal menurut catatan situs Wikipedia, jumlah populasi etnis Tionghoa di Indonesia menduduki nomor 3 terbesar setelah etnis Jawa dan Sunda dengan total 7,7 juta jiwa!

Data ini berdasarkan sensus terakhir dengan pencantuman identas suku pada tahun 2000, dan itu belum termasuk dengan yang enggan mengakui/mencantumkan Tionghoa sebagai “leluhurnya” entah karena takut dipersulit pemerintah dan lainnya.

Akibat dibelenggu selama kurang lebih 33 tahun, dimulai sejak keluarnya Inpres Presiden Soeharto Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang pementasan kebudayaan Tionghoa, etnis Tionghoa seperti kehilangan identitas jati dirinya. Berikut 7 hal yang hanya dipahami oleh keturunan Tionghoa di Indonesia :

1. Bingung & Kurang Mengerti Makna dari Perayaan2 Tahunan Penanggalan Tionghoa

budaya_tionghoa

Hal ini terjadi pada generasi muda Tionghoa sebagai efek domino keluarnya Inpres no 14 tahun 1967. Ditambah lagi dengan gencarnya promosi agama lain dengan doktrin-doktrinnya agar masyarakat etnis Tionghoa meninggalkan segala macam bentuk tradisi dan budaya Tionghoa.

Dari semua perayaan, mungkin saat ini hanya tersisa perayaan Imlek yang merupakan perayaan Tahun Baru yang memang merupakan hari libur Nasional.

Sementara perayaan-perayaan lainnya seperti perayaan Ceng Beng sudah ditinggalkan. Selain itu, generasi muda juga sudah tak mengerti lagi apa makna dibalik perayaan festival tahunan tersebut. Semisal perayaan Imlek, yang diketahui pasti hanya soal Angpao dan makan-makan enak bersama keluarga dan teman;

sementara Cheng Beng hanya soal sembahyang dengan memakai dupa di kuburan leluhur yang cenderung dihindari.

2. Tidak Memiliki Nama Tionghoa

Nama_Tionghoa

Akibat dibelenggu selama hampir 4 dekade, sebagian orang tua dulu mungkin enggan memberikan nama Tionghoa karena dirasa sudah tidak lagi diperlukan, atau bahkan berbahaya bagi masa depan anaknya kelak. Jadi jangan heran apabila sebagian etnis Tionghoa terutama kelahiran 1970-an hingga 1990-an tidak memiliki nama Tionghoa.

Jangan heran juga ketika ada orang yang bertama “Apa nama Chinese mu?” lalu dijawab “Tidak tahu”.

Satu-satunya identitas yang tersisa di bagian nama adalah MARGA YANG ITUPUN TELAH DI-INDONESIAKAN; seperti salim, tanzil, hanjaya, wijaya, tjandra, ongko, sidharta, liman, winoto, cahyadi dsb. Seandainya ada, umumnya juga rata-rata hanya nama panggilan sehari-hari, seperti akiong, aling, asun, acun, mei-mei, titi, ahok, aseng, giok dsb.

Ketika diminta untuk menulis namanya dalam karakter mandarin pasti tidak bisa.

3. Tidak Mengerti Bahasa Mandarin

chinese teacher

Meskipun keturunan Tionghoa, namun tak bisa berbicara Mandarin. Hanya orang-orang tua dulu yang masih mengerti bahasa Mandarin, namun hanya dalam bentuk pengucapan atau pelafalannya saja.

Sementara jika disuruh tulis dalam karakter hanzi, kebanyakan pasti angkat tangan karena sudah lupa akibat sangat jarang, atau bahkan tidak pernah memakainya lagi. Namun entah mengapa, banyak orang pribumi yang justru menganggap bahwa setiap etnis Tionghoa pasti tahu bahasa Mandarin.

Sejak dicabutnya Inpres no 14 tahun 1967 oleh Presiden Gusdur, bahasa Mandarin baru boleh diajarkan kembali secara terbuka di sekolah-sekolah Swasta. Melihat perkembangan pesat dalam 15 tahun terakhir, sebagian etnis pribumi bahkan sudah mempelajari bahasa ini, bahkan sudah lancar dalam penggunaannya sehari-hari.

Salah satu contohnya adalah Bapak Dahlan Iskan yang pengucapan bahasa Mandarinnya lumayan. Beliau belajar selama masa pengobatan kanker hatinya di Beijing, Tiongkok.

4. Bagi anak-anak dan remaja, hal yang paling dinantikan pada saat moment Imlek adalah angpau; sementara bagi para orang dewasa atau yang sudah menikah, Imlek adalah hari yang paling boros karena wajib memberikan angpau-angpau tersebut

angpao amplop merah

Beda umur beda juga tujuan dan pola pikir. Anak-anak dan para remaja tentu tidak akan melewatkan moment Imlek untuk mengeruk uang yang sebanyak-banyaknya dari angpao yang diberikan saudara-saudaranya.

Dalam perayaan Imlek, semangat utama mereka sebenarnya terletak pada isi angpao alias amplop merah yang dikumpulkan, bukan pada perayaan tahun barunya. Sementara bagi yang sudah berkeluarga diwajibkan untuk memberikan angpao kepada saudara-saudara mereka yang belum menikah.

Namun naas, sebagian yang sudah pindah keyakinan berkelit bahwa dalam kepercayaan mereka tidak menganjurkan untuk memberi angpao pada momen Imlek; padahal yang menjadi alasan utama sebenarnya adalah karena takut keluar uang hehe.

Selain itu, umumnya sebagian orang Tionghoa malah cenderung menghindari tempat-tempat umum dan para kerabatnya beberapa hari sebelum hari H. Alasannya simple; mereka takut nantinya akan dimintai angpao dan jamuan makan (datang bertamu) oleh teman-temannya jika ketemu. Nah lho, kasian banget deh ya!

Kalau orang kaya sih tidak masalah, namun bagi yang pendapatannya pas-pasan tentu jadi masalah besar. Apalagi dengan cap di kalangan masyarakat pribumi bahwa semua orang Tionghoa itu kaya raya.

5. Lebih Memilih Menggunakan “Obat Tradisional Cina” Untuk Sakit dan Luka Ringan

Obat “Cina” cukup familiar di telinga kita yang tinggal di Indonesia. Salah satu yang paling terkenal adalah obat Yunnan Baiyao (hanzi : 云南白药).

Obat ini utamanya sangat bagus untuk mengobati segala jenis luka luar, dapat menghentikan perdarahan, menghilangkan nyeri, bengkak, memar, serta mengobati patah tulang yang diakibatkan luka jatuh atau luka terpukul, dan bagus bagi yang akan menjalankan operasi. Obat ini umumnya tersedia di setiap toko obat cina.

obat bao ji wan

Selain itu, jika hanya mengalami sakit ringan seperti sakit perut, pasti minum obat Po Chai, (hanzi : 保濟丸; pinyin : bao ji wan) dimana khasiatnya akan meredakan segala macam sakit perut dan diare.

Ramuan obat-obatan tradisional Cina ini kebanyakan dari herbal, jadi ini terbuat dari organik bukan kimiawi; jauh lebih aman daripada ramuan obat kimiawi.

Kebiasaan untuk lebih percaya dengan obat-obatan tradisional tionghoa ini mungkin pengaruh dari orang tua kita dulu.

6. Lebih Paham Budaya Lokal Serta Kebiasaan di Indonesia Dari Pada Tradisi Leluhurnya Sendiri

karapan sapi

Ada peribahasa yang berbunyi, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Anda perlu bersosialiasi dengan warga sekitar, menghormati nilai-nilai kebudayaan lokal, serta ikut serta dalam kegiatan bermasyarakat seperti ikut kegiatan gotong royong dan berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah.

Tradisi dan kesenian adat daerah unik seperti seni wayang, atraksi debus, kuda lumping, karapan sapi, ritual ngaben bali, dan lain sebagainya juga diketahui dengan baik.

Pasalnya, sebagai individu yang lahir dan besar di sini tentu saja secara tak langsung akan sering bersinggungan dengan berbagai tradisi kebudayaan lokal tersebut setiap waktu.

7. Konsultasikan acara lamaran dan pernikahan dengan Orangtua

tradisi pernikahan tionghoa

Kebanyakan generasi muda tidak lagi melakukan tradisi pernikahan Tionghoa karena dianggap terlalu ribet dijalankan. Saat ini, model pernikahan gaya barat yang simple menjadi pilihan utama.

Meski begitu, beberapa rangkaian tradisi dianggap masih relevan hingga saat ini dan sebaiknya dijalankan guna menandakan ciri khas kita sebagai etnis Tionghoa.

Beberapa diantaranya seperti tradisi sangjitan atau acara lamaran dan tradisi tea pai atau morning ceremony. Konsultasikan kedua acara tersebut dengan orang yang lebih tua atau minimal sudah pernah menjalankannya untuk mengetahui detail rinciannya.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

6 thoughts on “7 Hal Yang Hanya Dipahami Oleh Keturunan Tionghoa di Indonesia”
  1. g yakin keluarga lo ngak tinggal di jakarta kota glodok jd ngak ngalamin. lo banga bisa baca nulis??! lo bisa baca dan MENGERTI thung su baru g angkat jempol pke jempol kaki 😀

  2. Sama sekali gak benar, mungkin sebagian besar iya. Tapi saya umur 26 tahun, memiliki nama Tionghoa, memahami tradisi leluhur, fasih berbahasa Mandarin. Barusan kaka sepupu saya menikah juga masih melakukan tradisi Teh Pai, 吃十二碗 (tradisi makan 12 macam makanan) sebelum dimulai Teh Pai.
    Menurut saya tergantung pendidikan keluarga, pendidikan dari ORTU nya. 我父亲说,华人就要会说中文,在困难情况再不允许,也一定要学。现在连外国人,白人,黑人,印尼本地人,都要学习汉语。我们身为华人的却说,我不会汉语。真丢脸

    1. Halo ISY, Apa yang kamu dan keluargamu alami, tidak sama dengan apa yang orang lain alami.

      Kamu masih beruntung masih punya nama tionghoa, masih menjalankan budaya tradisi leluhur (ada yg karena situasi lingkungan sekitar, sudah tidak bisa lagi melakukan itu), masih bisa berbahasa mandarin, syukurin aja ya, karena diluar sana sudah banyak masy. Tionghoa yang sudah tidak punya apa2 lagi, selain tampang orientalnya, dan mungkin sepotong marga yang telah di-indonesiakan.

      Banyak baca2 sejarah peraturan diskriminasi Orde Baru (1967-1998) dulu. Jaman dulu, sekolah2 Tionghoa ditutup, penggunaaan bahasa Cina dalam keseharian dilarang (ditempat umum), peng-indonesiakan nama dan marga Tionghoa, serta pelarangan tradisi dan budaya ditampilkan didepan umum. Banyak etnis tionghoa yang putus sekolah ketika mereka masih SD atau SMP (pasca G30/S 1965, tahun 1966-1970 sekolah2 Tionghoa ditutup, dan diambil kepemilikannya oleh pemerintah).

      Jadi numpang tanya, kalau ortunya saja sudah putus sekolah di usia dini, sudah tidak lagi belajar bahasa Cina (dan sering2 memakainya dalam lingkungan), sudah tidak lagi belajar tradisi & budaya Cina (karena pengaruh kristenisasi, semenjak sekolah2 Tionghoa ditutup, sebagian besar lari ke sekolah berbasis barat/kristen), bagaimana dia bisa mendidik anak-anaknya, tentang semua yang kamu punyai itu?

      So, jangan banggain diri sendiri, karena hanya sekadar sudah bisa berbahasa mandarin; karena hari ini, diluar sana, masyarakat pribumi pun sudah banyak yang fasih, bahkan tingkat kosakatanya sudah lebih tinggi dari pada sekadar percakapan harian orang Tionghoa sendiri.

      1. Benar sekali. Saya termasuk generasi yg sdh ga bisa mandarin. Saya bangkit belajar bahasa mandarin diusia yg sdh tdk muda lagi. Kadang kala sangat sedih dan prihatin dengan fenomena ini, tetapi mau bagaimana lagi ini sdh bagian dr sejarah kebijakan masa lalu pemerintahan orde baru. Generasi anak anak tiong hoa terkini sehrsnya mulai belajar bahasa ini sejak usia dini dan intensive dari tempat kursus, hal ini dikarenakan bnyk org tua yg sdh tdk fasih.

  3. Mantap.Bahas juga dong soal dialek,kota asal,marga tionghoa Indonesia Di China.Seperti asal org hokkian ,Khek drmana.Btw sy masih bisa mandarin en hokkian.Baca tulis 20% hahaha…usia 48

  4. Bisa dibilang true banget nih. Haha. Terutama no1. Tp saya masih punya nama tionghoa 😁😁

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?