Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan

Perantauan orang Tionghoa di Indonesia umumnya berasal dari 2 propinsi besar di Tiongkok; yaitu Propinsi Fujian dan Propinsi Guangdong. 2 Propinsi ini secara geografis terletak di sebelah tenggara Tiongkok yang dekat dengan wilayah perairan laut. Para perantauan tersebut mulai datang dan tersebar ke Indonesia mulai abad ke-16 hingga abad ke-19.

Setiap perantau yang datang ke Indonesia umumnya membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri; yang didalamnya termasuk bahasa. Selain bahasa Mandarin, ternyata masih ada 4 dialek bahasa daerah Tiongkok di Indonesia yang cukup banyak penggunanya, yakni :

♦ dialek Hokkian
♦ dialek Teochiu
♦ dialek Hakka
♦ dialek Kanton

dialek tionghoa
Persebaran bahasa daerah di Tiongkok

Baca juga : Inilah 5 Suku Tionghoa yang tersebar di Indonesia

Kepandaian dalam berdagang bangsa Tiongkok setelah berabad-abad lamanya ternyata masih tampak jelas pada keturunannya saat ini menetap di Indonesia.

Mereka disebut etnis Tionghoa. Rata-rata dari mereka sangat ulet, rajin dan tahan ujian. Perantauan orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagian besar tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Barat Sumatra.

Perantauan Tionghoa yang lain adalah orang Teochiu, yang berasal dari pantai Selatan Tiongkok daerah pedalaman Shantou, bagian timur propinsi Guangdong. Tempat tinggal mereka berada di pedalaman propinsi Guangdong yang terdiri dari daerah yang bergunung kapur dan tandus.

sejarah tambang etnis tionghoa
Sejarah Hakka Indonesia Bangka Belitung : Sejarah Bangka Tionghoa Hakka dan Timah

Selama berlangsungnya gelombang imigrasi mulai tahun 1850 sampai tahun 1930, orang Hakka adalah yang paling miskin diantara para perantau asal Tiongkok lainnya.

Mereka bersama-sama orang Teochiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Saat ini orang Hakka mendominasi masyarakat Tionghoa di wilayah-wilayah tambang, seperti di Kalimantan, Sumatra, dan Bangka dan Belitung.

Baca jugaSejarah Hakka Indonesia Bangka Belitung : Sejarah Bangka Tionghoa Hakka (Khek) dan Timah

Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di propinsi Guangdong tinggallah orang Kanton (Konghu). Orang Kanton terkenal di Asia Tenggara sebagai kuli pertambangan.

Mereka datang merantau ke Indonesia secara berkelompok pada waktu yang sama dengan orang Hakka, namun keadaan mereka berlainan. Umumnya mereka datang dengan modal yang lebih besar, dan mereka datang dengan ketrampilan teknis dan pertukangan yang tinggi.

Walaupun para perantauan Tiongkok terdiri dari berbagai asal, namun dalam pandangan orang Indonesia mereka hanya dikategorikan ke dalam dua golongan :

♦ Tionghoa – Peranakan : Hasil perkawinan campur antara orang Tionghoa dan orang asli Indonesia (pribumi) yang sudah beranak-pinak, lahir, besar dan tinggal di Indonsia.
♦ Tionghoa – Totok : Orang Tiongkok yang lahir di Negara asalnya.

Awalnya daerah yang pertama didatangi oleh para perantau Hokkian pada abad ke 16 adalah wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin laki-laki; dan karena hanya ada sedikit wanita Tiongkok yang ikut pada waktu itu, maka perkawinan campur dengan wanita pribumi banyak terjadi setelahnya.

Baca juga : Sejarah Migrasi dan Populasi Kelompok Etnis Tionghoa

peta jalur migrasi bangsa cina tiongkok ke indonesia
Peta jalur migrasi bangsa Tiongkok ke kawasan Asia Tenggara dan Indonesia (Ilustrasi : russiancouncil.ru)

Awalnya migrasi perantauan Tiongkok ke wilayah Asia Tenggara terjadi karena keadaan tekanan di negeri sendiri, yang pada waktu itu sedang mengalami masa pergolakan dan revolusi.

Pada masa kolonial Belanda, semua orang Tiongkok di Indonesia secara yuridis (hukum) diperlakukan sebagai golongan yang dikenakan sistem hukum perdata yang berbeda dengan orang Indonesia pribumi. Hukum yang diberlakukan bagi para perantauan tersebut adalah hukum yang mengatur bagi orang timur asing.

Pada tahun 1910 pernah ada suatu perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Tiongkok (waktu itu masih bersistem dinasti Qing) yang menetapkan Dwi kewarganegaraan bagi orang Tionghoa di Indonesia, agar mereka dapat dikenakan aturan-aturan hukum pemerintah Hindia-Belanda.

Keadaan ini kemudian terus berlanjut sampai Merdekanya Indonesia pada tahun 1945. Pada tahun 1949 pemerintah Belanda akhirnya mengakui dan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah Indonesia secara penuh.

Dengan demikian semua orang Tiongkok di Indonesia yang masih mempunyai status Dwiwarganegaraan pada waktu itu akan berubah menjadi warga Negara Tiongkok merangkap Warga Negara Indonesia.

Saat Konferensi Asia Afrika (KAA) yang Pertama di Bandung pada tahun 1955, Pemerintah Republik Indonesia mengadakan perjanjian dengan pemerintah Tiongkok untuk mengakhiri keadaan ini, sehingga semua orang Tionghoa di Indonesia pada saat itu harus memilih salah satu :

indonesia atau china
Pilih warga negara Indonesia atau Tiongkok? (Ilustrasi : 123rf.com)

Antara warga Negara Tiongkok (RRC) atau warga Negara Indonesia (WNI)?

Untuk menjadi WNI, para perantauan ini harus bisa membuktikan dan bersumpah di pengadilan bahwa ia lahir di Indonesia, dan kemudian menyatakan juga di pengadilan bahwa ia melepaskan kewarganegaraan RRC nya. Ratifikasi atau pengesahan dari perjanjian tersebut baru selesai pada tahun 1960, sedangkan untuk implementasinya dilakukan 2 tahun setelahnya.

“Pada tahun 1959 terbit Peraturan daerah dengan nomor No.20/1959 yaitu tentang Peraturan Pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dengan RRT, yang ditetapkan berlaku mulai 20 Januari 1960-20 Januari 1962.

Setelah 2 tahun perjanjian berakhir, mulai terjadi tindakan “pengusiran” terhadap etnis Tionghoa dari daerah kecamatan dan Desa dengan dalih pelaksanaan PP No.10/1959 tentang larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing diluar ibukota daerah tingkat 1 & 2 serta kerasidenan.

Dalam situasi demikian, pemerintah RRT mengirimkan kapal penumpang ke Indonesia dengan tujuan “membantu Huaqiao” kembali ke Tiongkok. Namun baru 4 trip (±40.000 jiwa) yang terangkut, sisanya ±100.000 KK tidak sempat terangkut.” – Tionghoa.INFO

Setelah puluhan tahun kemudian mulai terdapat beberapa sebutan bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang umumnya lebih disebabkan karena asal daerah. Beberapa istilah sebutan tersebut sampai sekarang masih sering digunakan.

Yang menggunakan sebutan istilah-istilah tersebut, selain orang pribumi, juga oleh mereka sendiri (yang mempunyai keturunan Tionghoa) yang digunakan sebagai identitas.

Berikut 9 Sebutan dan Tipe Keturunan Tionghoa di Indonesia :

1. Tionghoa Totok (atau disebut Cina Totok)

Biasanya bermukim di daerah perkotaan. Aktivitas pekerjaan utama mereka ada pedagang. Orang yang disebut Cina totok adalah orang yang mempunyai garis keturunan Tionghoa MURNI, dimana kedua orang tuanya lahir di Tiongkok, yang merupakan tanah leluhur mereka. Umumnya generasi pertama dan kedua di Indonesia masih bisa digolongkan sebagai ‘Cina Totok’.

Dari fisik mereka cukup mudah dikenali, seperi bermata sipit, berwajah oriental, berkulit putih, masih memegang teguh adat istiadat dan tradisi leluhurnya dari daratan Tiongkok, serta menggunakan bahasa daerahnya untuk percakapan sehari-hari.

“Totok adalah istilah dari bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Jawa yang berarti “baru” atau “murni”, dan digunakan untuk mendeskripsikan para pendatang yang lahir di luar negeri serta berdarah murni.

Pada masa Hindia Belanda, istilah ini dipakai untuk menunjuk orang Belanda (atau Eropa) yang lahir di luar Hindia Belanda.Istilah lain, yaitu Peranakan, memiliki arti yang berkebalikan dan digunakan untuk menyebut penduduk yang telah bercampur dengan warga pribumi di Indonesia.” – Wikipedia.org

Istilah totok juga dipakai untuk menyebut warga Tionghoa yang tinggal di Indonesia yang berdarah murni (totok tionghoa), terutama untuk membedakannya dengan Babah (“Baba” adalah istilah sebutan untuk laki-lakinya dan “Nyonya” istilah untuk wanitanya) atau Peranakan.

Catatan : Mereka umumnya merupakan generasi imigran tionghoa yang telah hidup turun-temurun, yang sebagian besar tersebar di wilayah Kalimantan, baik yang bersifat stateless (tidak memiliki status kewarganegaraan), maupun yang tela beralih kewarganegaraan menjadi WNI.

Sebagian dari mereka dikenal masih fanatik dengan menggantungkan loyalitas kepada leluhurnya di negara asal.

2. Tionghoa Peranakan (atau disebut Cina Peranakan)

Tionghoa peranakan adalah orang yang tidak memiliki garis keturunan murni. Hanya salah satu dari orang tuanya saja yang mempunyai keturunan Tionghoa, baik dari sisi Ibu atau dari sisi Ayahnya. Mereka adalah generasi imigran Tiongkok yang hidup turun-temurun serta telah beranak pinak / kawin campur dengan pribumi di indonesia.

Selanjutnya, peranakan inilah yang disebut sebagai etnis Tionghoa – Indonesia.

Tempat kelahiran pun tidak lagi di tanah leluhur, jadi bisa dibilang mereka memiliki darah campuran. Keturunan Tionghoa peranakan umumnya mempunyai fisik yang agak berbeda dari Tionghoa. Misalnya seorang Tionghoa yang berpasangan dengan orang Jawa, kelak anaknya memiliki kemungkinan tidak berkulit putih.

Warga keturunan Tionghoa peranakan umumnya tidak lagi menggunakan bahasa Mandarin (atau dialek daerah Tiongkok) sebagai bahasa pergaulan, bahkan dari sisi kultural mereka telah mengalami proses akulturasi budaya dengan budaya lokal setempat dimana mereka tinggal.

Contohnya adalah Masyarakat Tionghoa Benteng yang berakulturasi dengan warga lokal Tangerang, dan melahirkan sebuah perpaduan budaya baru.

3. Tionghoa Benteng (atau disebut Cina Benteng)

museum tionghoa benteng
Musem Tionghoa Benteng Indonesia

Umumnya perawakan warga Tionghoa Benteng mirip dengan orang pribumi Indonesia. Kebanyakan dari mereka berdomisili di Tangerang. Tionghoa benteng adalah bentuk spesifik dari Tionghoa peranakan. Hanya saja tempat kelahiran berada di Tangerang.  Bila dilihat, keturunan etnis Tionghoa Benteng rata-rata memiliki kulit lebih gelap dari etnis tionghoa pada umumnya.

Mereka disisebut Tionghoa Benteng (Cina Benteng) karena mereka adalah warga Tionghoa yang melarikan diri dari peristiwa pembantaian etnis Tionghoa yang terjadi di Batavia sekitar tahun 1740.

Tionghoa Batavia tersebut berlindung di sekitar benteng yang banyak tersebar di daerah Tangerang, dimana salah satunya adalah Benteng Makasar yang saat ini telah berubah menjadi kompleks pertokoan Robinson.

Selain itu, warga Tionghoa Benteng juga berasal dari daerah Banten yang masuk ke kawasan Tangerang dan bermukim di daerah sekitar kawasan teluk Naga.

Baca juga : Inilah 8 Hal Yang Belum Anda Ketahui Tentang Tionghoa Benteng

4. Tionghoa Medan (atau disebut Cina Medan)

Sebutan ini umumnya disematkan kepada mereka-mereka yang berasal dari kota Medan yang kemudian merantau di kota-kota besar, seperti Jakarta. D

i Ibukota, mereka biasanya bermukim di daerah Pluit, Muara Karang dan sekitarnya. Warga Tionghoa Medan ‘dipercaya’ memiliki mental wirausaha yang tinggi. Mereka bisa segera bangkit dari keterpurukan setelah terjatuh habis-habisan.

Meski tata bahasa mereka agak kasar layaknya orang Batak (versi Indonesianya), tetapi masi lebih sopan dibandingkan dengan Tionghoa Bangka (Cina Bangka).

Kebanyakan dari mereka berkulit putih, konon katanya karena menghindari keluar pada siang hari. Tionghoa Medan adalah salah satu golongan masyarakat perantauan yang cukup sukses menaklukan Ibukota Jakarta.

5. Tionghoa Bangka (atau disebut Cina Bangka)

sejarah tambang etnis tionghoa
Tionghoa Bangka dulunya adalah penambang timah di daerah Bangka, Indonesia

Sejarah Hakka Indonesia di Bangka Belitung tidak akan bisa lepas dari  Sejarah Bangka Tionghoa Hakka (Khek) dan Timah (Hanzi : 印尼客家邦加勿里洞历史 – 客家邦加錫採礦; Pinyin : Yìnní kèjiā bāng jiā wù lǐ dòng lìshǐ – kèjiā bāng jiā xī cǎikuàng), yakni oleh orang-orang Tionghoa suku Hakka.

Berdasarkan sensus di tahun 1920, Total populasi orang Tionghoa Bangka mencapai 44% dari keseluruhan 154.141 jiwa. Awal sejarahnya dimulai sekitar abad ke-17, Sekitar tahun 1700-1800.

Berawal dari tambang timah di bangka 邦加錫矿(Bāng jiā xī kuàng). Orang-orang Hakka/Khek (Hanzi : 客家; Pinyin : Kèjiā) dari Moi Jan (梅縣; Mei Xian), Hoi Nam (海南; Hai Nan), Kong Si (廣西; Guang Xi) dan beberapa daerah lain di propinsi Kong Tung (廣東; Guang Dong) datang secara berkelompok menjadi tenaga penambang timah di Pulau Bangka (邦加岛; Bāng jiā dǎo), Pulau Belitung (勿里洞岛; Wù lǐ dòng dǎo) dan Pulau Singkep 新及岛; Xīn jí dǎo).

Di masyarakat, warga Tionghoa Bangka dikenal memiliki etika kesopanan yang rendah (kasar). Bagi yang masih tinggal di kampung pedalaman, etika dalam makan kurang diperhatikan, seperti makan dengan menggunakan piring dan sendok secara beramai-ramai.

Namun mereka memiliki rasa kekeluargaan dan persaudaraan (solidaritas) yang sangat tinggi apabila jika dibanding dengan suku etnis Tionghoa lainnya.

Baca juga : Orang Tionghoa dalam Sejarah Pertambangan Indonesia

6. Tionghoa Jawa (atau disebut Cina Jawa)

Awalnya daerah yang pertama didatangi oleh para perantauan asal Hokkian pada abad ke 16 adalah wilayah sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin laki-laki; dan karena hanya ada sedikit wanita Tiongkok yang ikut pada waktu itu, maka perkawinan campur dengan wanita pribumi banyak terjadi setelahnya.

Pembawaan sikap mereka umumnya sangat sopan seperti kebanyakan orang Jawa pada umumnya. Mereka juga cukup teliti soal penggunaan uang. Ini karena kepandaian dalam berdagang bangsa Tiongkok setelah berabad-abad lamanya ternyata masih tampak jelas pada keturunannya saat ini menetap di Indonesia.

Perantauan orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagian besar tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Barat Sumatra.

7. Tionghoa Jakarta (atau disebut Cina Jakarta)

ahok tionghoa jakarta
Siapa sangka 16 tahun pasca peristiwa Mei 1998, kini Ibukota justru dipimpin oleh seorang etnis Tionghoa Bangka? (Foto : Ahok.org)

Jauh sebelum Belanda membangun Batavia (kini Jakarta) pada tahun 1619, orang-orang Tionghoa sudah tinggal di sebelah Timur Sungai Ciliwung yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan itu. Mereka menjual arak, beras dan kebutuhan lainnya termasuk air minum bagi para pendatang yang singgah di pelabuhan.

Namun, ketika Belanda membangun loji (bangunan bersejarah peninggalan Belanda) di tempat itu, mereka pun kemudian diusir. Setelah muncul peristiwa Pembantaian Orang Tionghoa di Batavia (tanggal 9 Oktober 1740), orang-orang Tionghoa ditempatkan di kawasan Glodok yang tidak jauh dari Stadhuisa (kini Museum Fatahillah).

Kawasan pecinan yang bisa kita temui di Jakarta saat ini adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat. Kawasan ini konon disebut-sebut sebagai kawasan pecinan (Chinatown) terbesar di Indonesia bahkan dunia!

Di daerah Pecinan umumnya terdiri dari ruko (singkatan dari rumah toko) dan terdapat klenteng (dulunya disebut kuil) yang merupakan tempat bersembahyang atau tempat pemujaan Dewa-Dewi kepercayaan etnis Tionghoa.

Ruko yang ada di sepanjang Pecinan digunakan untuk tempat berdagang atau berjualan, sekaligus sebagai tempat tinggal warga Tionghoa. Bangunan dan rumah yang ada di kawasan Pecinan dapat terlihat dari ciri-ciri fisiknya yang pada umumnya berupa bangunan berlantai dua.

Lantai satu pada umumnya dipakai sebagai tempat usaha, sedangkan lantai dua digunakan sebagai tempat tinggal.

Saat ini warga Tionghoa Jakarta memiliki tingkatan gaya hidup yang lebih modern. Ini cukup wajar mengingat kota Jakarta adalah sebagai ibukota dan kiblat di Indonesia. Namun yang menarik adalah mereka ternyata cukup pedas dalam bertutur kata.

Jangan heran juga apabila sikap cuek tanpa tegur sapa akan sering Anda temui jika melihat mereka di kompleks perumahan atau di pusat perbelanjaan. Jika pembaca tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah panjang Tionghoa Jakarta, dapat membaca artikel berikut yang berjudul ‘Menelusuri Jejak Tionghoa di Jakarta.

7. Tionghoa Phanthong (atau disebut Cina Phanthong)

Tionghoa Phanthong adalah hasil dari amalgamasi biologis antara salah satu suku bangsa Tiongkok, yakni suku Hakka dengan suku Dayak di kalimantan Barat, yang tersebar di daerah Samalantan. Jumlah populasinya diperkirakan telah mencapai 1000 orang.

9. Tionghoa Udik (atau disebut Cina Udik) :

Tionghoa udik adalah masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di luar benteng Batavia (ommenlanden), seperti wilayah kawasan Tanah Abang. Mereka umumnya bekerja sebagai petani yang menyuplai kebutuhan warga yang bertempat tinggal di dalam Benteng Batavia, sekaligus menjadi penahan dari masuknya musuh VOC dari Mataram.

Pada saat terjadinya huru-hara 1740, mereka melakukan pemberontakan kepada VOC yang memeras penduduk termasuk Cina Udik. Pemberontakan berhasil ditumpas dan mereka akhirnya ditumpas pada tanggal 8-10 Oktober 1740. Sisa-sisa dari mereka melarikan diri ke wilayah Tangerang dan Surakarta.

Mereka yang melarikan diri ke  wilayah Tangerang dan kemudian menetap serta beranak cucu disebut masyarakat ‘Cina Udik’.

Catatan :

1. Pendidikan mempunyai arti yang sangat penting untuk kemajuan kecerdasan seseorang ataupun suatu bangsa. Dalam menjalankan politik Pemerintah kolonial Belanda menggunakan cara pemisahan; demikian juga dengan pemisahan sekolah Tionghoa.

2. Pada waktu itu, golongan ‘Tionghoa peranakan’ masuk ke pendidikan sekolah ‘China Belanda’, sementara sekolah golongan ‘Cina totok’ akan masuk ke sekolah China (中花学校; zhong hua xue xiao).

By Herman Tan

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

4 thoughts on “9 Sebutan dan Tipe Keturunan Tionghoa di Indonesia”
  1. saya belum jelas soal sebutan ” Nam Min ” ada yg mengatakan istilah itu untuk komunitas perantau dari Vietnam .. sementara ada yang mengatakan dari Tiongkok

    Mohon pencerahann nya Mr Herman Tan ..
    TErimakasih

  2. Menurut Ma Huan dalam lawatannya ke Indonesia pada awal abad 15, pesisir Jawa sudah banyak dihuni oleh cina muslim. Ini termasuk cina yang mana? Atau orang orang ini sudah menjadi pribumi Jawa?

    1. Menurut bukti penemuan arkeolog, orang2 Tiongkok (dulunya masih sistem dinasti) sudah datang ke wilayah Indonesia untuk berdagang sejak abad ke 8, dimana kerajaan-kerajaan Hindu Buddha tumbuh subur, seperti kerajaan Singasari, kerajaan Sriwijaya (wangsa Sailendra), dan kerajaan Majapahit (era Raden Wijaya).

      Bukti2 yang ada, seperti ditemukannya pecahan keramik bermodel ala dinasti Tiongkok (saat itu diduga berasal dari dinasti Tang), dan gulungan2 bertuliskan aksara tiongkok/hanzi kuno pada lokasi sekitar kerajaan tersebut, termasuk di daerah perkuburan.

    2. Cina peranakan bukan semata keturunan cina yang kawin campur dengan pribumi, tapi keturunan cina yang sudah turun temurun tinggal di Indonesia dan tidak menggunakan bahasa cina dalam pergaulan sehari hari bahkan antar kerabat mereka.Secara genetik mereka tetap suku Han murni namun sudah berasimilasi dengan budaya setempat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?