Last Updated on 5 March 2019 by Herman Tan Manado
Pada peristiwa PGRS/Paraku (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara, North Kalimantan Communist Party, 北加里曼丹共产党, yang keanggotaannya didominasi oleh etnis Tionghoa Kalimantan) tahun 1962-1964, yang awalnya bahu-membahu bersama TNI dan sukarelawan Indonesia melawan pasukan Malaysia cs.
Indonesia yg sedari awal menolak pembentukan neo-kolonialisme Inggris di Negara Malaysia, yang meliputi wilayah Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah), yang dibantu pasukan sekutu Inggris (Gurkha), Australia, Selandia Baru, Kanada, India, dsb.
Mereka (sekutu) bertempur dengan pasukan sukarelawan (pasukan TNI yang menyawar menjadi masyarakat sipil, dan ikut melatih masyarakat sukarelawan) di sepanjang perbatasan konfrontasi, dimana wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara menjadi garis depan pertempuran.
Seorang peneliti Tionghoa, Benny Subianto, mengungkapkan kehebatan gerilyawan Paraku/PGRS ketika melawan pasukan Gurkha Inggris. dimana pasukan itu hampir berhasil menghancurkan 1/2 garnisun British Gurkha Rifles dalam sebuah serangan terhadap distrik Long Jawi pada tanggal 28 September 1963.
Selain itu, buku A Face Like A Chicken Backside-An Unconventional Soldier in Malaya and Borneo 1948-1971 karya JP Cross mencatat kehebatan serangan relawan Indonesia serta Paraku/PGRS yang berhasil menewaskan beberapa prajurit Gurkha dan anggota Border Scout.
Dari fakta-fakta sejarah tersebut, Paraku/PGRS tampak menjadi pahlawan bagi Indonesia selama era konfrontasi vs Malaysia.
Namun sayang, tak lama lantas berubah menjadi “Perang guru dan Murid” pasca peristiwa G30/SPKI. Tendensi politik anti-komunis serta keinginan untuk berdamai dengan Malaysia-Inggris, akhirnya menempatkan Paraku/PGRS sebagai musuh pemerintah Indonesia dan TNI.
Kehadiran gerakan PGRS/Paraku yang memiliki dasar ideologi komunis, dianggap sebagai ancaman sosial politik terhadap eksistensi suatu Negara.
AM Hendropriyono (saat ini ketum PKPI, terkait kasus pelanggaran HAM), ex prajurit Para Komando tahun 1969-1972 di belantara Kalimantan Barat-Sarawak, mengungkapkan :
“Kita ini (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara & PGRS di Surabaya, Bogor, dan Bandung. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, Presiden Soeharto memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata.
Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan.”
TNI akhirnya bersekutu dengan militer Malaysia dan Inggris dalam menumpas Paraku-PGRS (yang ketika itu berkekuatan ± 1 batalyon), dan memberikan julukan baru bagi Paraku-PGRS, yaitu Gerombolan Tjina Komunis (GTK). Sementara pihak Malaysia yang sudah berdamai dengan Indonesia, turut memberi label Communist Terrorist (CT) pada mereka.
Karena putusnya jalur logistik, ditambah dengan mengungsinya ribuan orang Tionghoa, menyebabkan lumpuhnya sirkulasi perdagangan di daerah pedalaman Kalimantan. Pihak PGRS/Paraku yang dipimpin Bong Kee Chok (黄紀作; menyerah 1973) dan Wen Ming Chyuan (menyerah 1990) yang keadaannya semakin terjepit pun berangsur-angsur menyerah dan menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Malaysia dan Indonesia.
Kasus Paraku/PGRS di dokumentasikan sebagai salah satu pelanggaran HAM di Indonesia. Peristiwa ini dianggap sebagai bentuk pembersihan etnis terhadap warga Tionghoa di pedalaman Kalimantan. Gerakan pembasmian PGRS/PARAKU oleh Indonesia sendiri dimulai sejak tahun 1967.
Gerakan ini kemudian menyebar luas di masyarakat lokal Dayak, hingga upacara mangkok merah diadakan. Gerakan ini dengan cepat berubah menjadi sentimen rasial, dengan mengidentikkan etnis Tionghoa Kalimantan sebagai anggota PGRS/PARAKU, dan turut menjadi korban dalam gerakan pembersihan.
Gerakan ini mengakibatkan pengungsian besar-besaran etnis Tionghoa. Dalam buku Tandjoengpoera Berdjoeng, 1977, disebutkan setidaknya ada 27.000 orang mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi di Pontianak dan 43.425 orang di antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak.
Mengapa genosida yg sangat melanggar HAM ini tidak pernah diusut? Apakah lantas etnis tertentu wajar untuk dibunuh? Sedangkan satwa saja ada asosiasi yg melindungi satwa. HAM apakah hanya berlaku bagi suku/etnis/agama tertentu?