Last Updated on 14 December 2020 by Herman Tan Manado
Jika Anda menilik jalannya sejarah, hampir dipastikan bahwa pemuda selalu menjadi pelopor perubahan bagi bangsa ini.
Mulai dari Sumpah Pemuda 1928 yang menjadi cikal bakal nasionalisme bangsa, penculikan Bung Karno ke Rengasdengklok oleh pemuda yang mendesaknya untuk memproklamirkan kemerdekaan, hingga jatuhnya Orde Lama dan Orde Baru pun juga dipelopori oleh para pemuda serta aktivis yang memperjuangkan idealismenya demi bangsa Indonesia.
Salah satu pemuda ini ialah Soe Hok Gie (Hanzi 蘇福義; Su Fuyi), mahasiswa jurusan sejarah UI ini bersama kawan-kawan aktivis angkatan ’66 adalah yang paling vokal menentang dan menumbangkan Orde Lama.
Berikut 5 peran Soe Hok Gie dalam membela demokrasi dan selalu berada di pihak rakyat :
1. Mengkritisi Demokrasi Terpimpin Soekarno
Demokrasi Terpimpin yang dijalankan oleh Soekarno dianggap sebagai sebagai sebuah kemunafikan dan kepicikan. Saat itu kondisi ekonomi seakan-akan dipersulit dan dampaknya sangat dirasakan oleh mahasiswa. Kesulitan ekonomi itu terwujud dalam kenaikan harga buku, transportasi, tarif pengobatan, sewa empat tinggal, biaya kuliah, dan biaya hidup.
Kesulitan itu dibarengi dengan meledaknya jumlah mahasiswa di tahun-tahun ’50 dan ’60-an, membuat partai politik memanjangkan tangannya ke universitas. Penyimpangan2 pola pemerintah ini menjadi awal keinginan Gie ingin menjatuhkan Soekarno.
2. Bekerjasama dengan Militer
Strategi menjatuhkan Soekarno sudah dilakukan sejak 1961. Soe Hok Gie melakukan kerja sama dengan Prof. Soemitro Djoyokusumo dengan ‘Gerakan Pembaharuan Indonesia.’
Gie juga kemudian bekerjasama dengan pihak militer melalui hubungannya dengan Nugroho Notosusanto. Kedekatannya dengan pemimpin SSKD inilah salah satu cikal bakal hubungan militer dengan aksi mahasiswa tahun 1966.
3. Pelopor Aksi Long March dan Unjuk Rasa
Pada Januari 1966, Gie mendengar rencana menentang kenaikan tarif bus dari temannya, Ismi Hadad, namun rencana itu ditentang oleh Komando Daerah Militer Jakarta.
Gie kemudian mendukung rencana itu dan mendiskusikan dengan teman-temannya di Rawamangun. Pertemuan itu berujung pada rencana long march dari kampus pusat UI Salemba ke kampus UI Rawamangun.
Aksi itu tak lain sebagai usaha menarik perhatian terhadap kenaikan tarif bus dan harga minyak.
4. Demonstrasi Besar-besaran
Pada 10 Januari 1966, ribuan mahasiswa berdemonstrasi ke Sekretariat Negara untuk memprotes kenaikan harga dan meminta kebijakan moneter ditinjau kembali.
Protes ditentang oleh pemerintah sehingga mahasiswa enggan pulang hingga pada pukul 16.00, Chaerul Saeh keluar dan membacakan pidato pendek. Mahasiwa bubar dan setelah itu meletuslah serangkaian demonstrasi2 selanjutya.
Pada 11 Januari, Soe Hok Gie memimpin 50 mahasiswa dari Fakultas Sastra menuju Rawamangun sejauh 4 kilometer. Mereka mengacaukan lalu lintas disepanjang jalan yang dilaluinya. Pertemuan mahasiswa besar-besaran pun terjadi dan demonstrasi selama sepekan kemudian telah didengungkan.
Tanggal 11 Maret menjadi puncak kerusuhan. Bung Karno mengadakan Rapat Komando Ganyang Malaysia (KOGAM) dan sidang paripurna Kabinet Dwikora di Istana Merdeka. Para mahasiswa kembali memblokir jalan dan membuat onar untuk mencegah para menteri menuju istana, namun mereka lolos setelah diangkut dengan helikopter.
Di tengah sidang, Bung Karno mendengar bahwa istana dikepung 6 Batalyon Siliwangi dan 3 kompi pasukan tak dikenal. Mereka pun segera ‘kabur’ menuju Istana Bogor menggunakan helikopter.
Tanggal 18 Maret 1966, Letjend Soeharto merespon tuntutan mahasiswa, dengan menahan 15 menteri yang terindikasi gerakan Gestapu yang sekiranya dianggap punya niatan buruk terhadap pemerintah.
Orde Lama pun tumbang dan bersama Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto muncul sebagai penguasa baru menggantikan Bung Karno sebagai presiden.
5. Mengawal Awal Orde Baru
Usai tumbangnya Orde Lama dan seiring Orde Baru berkuasa, Soe Hok Gie merasa kecewa kepada beberapa kawannya sesama aktivis yang kemudian dianggapnya ‘berkhianat.’ Orde Baru sempat menawarkan kepada Gie kursi DPR namun ditolaknya. Sementara itu ada 13 kawan aktivis yang menerima jabatan itu.
Kekecewaan Gie terekspresikan dengan mengirimi mereka bedak, gincu, dan cermin. Gie berharap teman-temannya itu bisa berdandan ‘cantik’ di hadapan penguasa. Gie menganggap mereka sudah melupakan rakyat dan mementingkan kedudukan serta keuntungan priadi.
Akhir tahun 1967, Soe Hok Gie melihat ketidak seriusan Soeharto dalam melakukan reformasi politik, terbukti dengan banyaknya tokoh Orde Lama yang masih bertahan dalam pemerintahan.
Baca juga : Soe Hok Gie, ‘Si China Kecil’ Yang Bahagia Mati Muda
Selain itu juga terjadi tanda-tanda intoleransi dan penindasan terhadap masyarakat. Sayangnya, usaha Gie mengkawal pemerintahan tak dapat berlanjut karena kematian menjemputnya di Gunung Semeru pada 16 Desember 1969, pada usia 27 tahun, yang kurang sehari.