Last Updated on 20 February 2023 by Herman Tan Manado

Perlu diketahui bahwa budaya Tionghoa memiliki kekayaan budaya tersendiri, termasuk perihal soal makam. Makam Tionghoa ternyata memiliki simbol dan arti tersendiri, tidak hanya untuk mereka yang telah meninggal, tapi juga bagi keturunannya yang masih hidup.

Oleh karena itu, Cengbeng atau ritual sembahyang ziarah kubur tahunan masyarakat Tionghoa, menjadi perayaan terpenting kedua setelah Imlek. Lalu, apa sajakah fakta-fakta menarik seputar makam Tionghoa? Simak ulasan berikut ini :

A. Ukuran Makam yang Besar

Kubur Tionghoa yang berukuran besar umumnya diisi sepasang suami istri. Tinta merah bagi pasangan yang belum meninggal, sementara tinta emas bagi yang sudah meninggal. Jika sudah mulai terlihat luntur, harus cepat2 dilapisi cat kembali!

Besar makam Tionghoa biasanya menandakan status orang yang dimakamkan. Semakin besar makam, maka semakin tinggi pula status sosialnya.

Konon pada jaman dahulu, masyarakat kelas menengah ke bawah tidak bisa memiliki makam besar, apalagi berhiaskan berbagai motif, seperti macan, Naga dan burung hong, laiknya makam-makam keturunan Kaisar / pejabat kerajaan.

Namun tak hanya itu, alasan makam Tionghoa memiliki ukuran yang besar juga karena pada umumnya itu dibuat untuk sepasang suami-istri. Misalnya yang meninggal baru salah satu dari pasangan (suami/istri), lubang makam sudah dipersiapkan untuk berdua.

Jadi nama pasangan, dan daftar nama anak serta menantu (walau masih hidup) pun tetap akan diukir pada batu nisan. Namun bedanya, bagi mendiang yang telah meninggal, namanya ditulis dengan tinta warna emas, sementara pasangannya yang masih hidup ditulis dengan tinta warna merah. Jangan kebalik!

Sementara bagi anak-anak dan cucunya, bisa dicantumkan dibagian dibawah nama mendiang, dengan warna netral, seperti warna perak, atau warna emas, mengikuti warna tinta mendiang.

Namun pada masa sekarang, kebanyakan nama anak dan cucu ikut diberi warna merah juga (selama masih hidup), dengan alasan takut bisa ikutan meninggal. Padahal hal ini sebenarnya tidak diperlukan, karena mereka tidak ikut dimakamkan di lubang tersebut apabila meninggal kelak.

Tahukah kamu?

Bahwa sebagian orang menganggap ini seperti menyumpahi diri sendiri. Menyiapkan liang kubur, dan menulis nama di batu nisan dianggap pantang untuk dilakukan, karena bertentangan dengan prinsip2 kepercayaannya. Apakah kamu termasuk salah satunya? Berikan pendapatmu di kolom komentar 😊

Baca juga : 8 Hal Tentang Festival Cengbeng Yang Perlu Pembaca Ketahui

B. Fengshui Makam : Teori Ilmu Titik Kubur (墓箱学; Mù Xiāng Xué)

Konon keadaan makam seorang leluhur bisa mempengaruhi nasib keturunannya.

Ziarah kubur tahunan ke makam orang tua/leluhurnya, merupakan KEWAJIBAN bagi setiap orang tionghoa!

Ada 3 hal yang perlu diperhatikan untuk melihat baik tidaknya fengshui makam. Yakni : 1. Apakah ada retakan pada bagian makam? 2. Lalu apakah ada perubahan warna menjadi kusam pada bongpainya? 3. dan apakah ada tumbuhan yang mulai tumbuh disekitar makam?

Batu nisan melambangkan kepala. Jika bagian atas nisan terdapat retakan, maka bagian kepala para keturunannya mungkin akan terkena masalah.

Bagian tepi kubur melambangkan anggota badan keturunannya, jika terdapat retakan, maka anggota badan keturunannya mungkin bisa terpengaruh.

Begitu juga jika ada perubahan warna makam, dan tumbuhnya rumput2 liar disekitar, semuanya akan mempengaruhi keturunannya, sehingga pada hari Cengbeng, keturunannya akan datang untuk membersihkan dan memperbaiki makam orang tua / leluhurnya.

Baca juga : 3 Fakta Hari Cengbeng (Ziarah Kubur) di Indonesia

C. 5 Elemen yang Mempengaruhi Makam

Tampak seorang ahli Fengshui makam sedang melakukan ritual pembukaan

Fengshui pemakaman adalah dasar dari ilmu fengshui, dan kondisi fengshui makam dipercaya akan mempengaruhi nasib keturunan hingga 3 generasi dibawahnya. Selain itu juga dikatakan bahwa ada 5 faktor elemen yang mempengaruhi makam.

Pertama yaitu naga (; Lóng), ini melambangkan bukit yang terdapat di belakang makam. Bukit yang dipilih harus tampak solid, dengan banyak tumbuhan hijau.

Kedua, yakni pasir (; Shā), makam yang baik harus mempunyai ‘bukit pasir,’ di sebelah kiri yang melambangkan harimau hijau, dan di disebelah kanan yang melambangkan harimau putih.

Ketiga, adalah air (; Shuǐ), ini merujuk pada tumbuhan yang melambangkan kekayaan, asal tumbuh di tempat yang sesuai.

Keempat, yakni goa (; Dòng) (tanah perkuburan), jika tanah perkuburan tidak menyerap aura naga, meski sudah terdapat elemen naga, pasir dan air tak akan berguna.

Kelima yakni arah batu nisan (; Mù), untuk bisa menyerap aura naga, kedudukan dari arah batu nisan juga harus tepat, agar tuah dan kekayaan bisa datang.

Baca juga : Cara Membaca Penulisan Bongpay di Makam Tionghoa

D. 8 Bagian Utama Dari Makam Tionghoa

Makam ini adalah contoh yang tepat dalam memvisualisasikan bagian-bagian makam

Secara umum, makam Tionghoa terdiri dari 8 komponen, yakni :

Mu Gui (bukit makam; karapas kura-kura), Mu An Qian Kao (tembok pembatas dalam), Mu Cheng (tembok pembatas luar), Mu Bei (bongpai; batu nisan), Altar (meja batu kecil depan bongpai), Mu Shou (lekukan tangan di kedua sisi), Altar untuk Dewa Bumi (Hou Tu/Tu Di Gong, diletakkan disisi kanan makam), dan tempat untuk bakar kertas sembahyang.

Kompleks makam Tionghoa biasanya terletak di lokasi daratan tinggi, seperti perbukitan (terutama sisi perbukitan yang menghadap arah kota/pemukiman, karena diumpamakan leluhur selalu melihat keturunannya dari jauh). Menurut Fengshui, ini dilakukan untuk mendatangkan keberuntungan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Sedangkan jika di logika, daratan tinggi umumnya bebas banjir, dimana sudah tentu menjadi tempat yang bagus untuk peristirahatan terakhir bagi para leluhur/mendiang.

Dari ke-delapan bagian tersebut, yang terpenting merupakan bagian Mu Bei (bongpai). Batu nisan menjadi penting, karena menyangkut identitas yang dimakamkan.

Baca juga : Kubur Cina : Inilah 8 Bagian Yang Terdapat di Makam Cina

E. Pilih Mana : Dikremasi atau Dikubur?

Di Singapore memiliki ‘jalan tengah’ mengenai persoalan ini. Jasad seseorang bisa dikubur, namun setelah 10 tahun harus dibongkar, dan sisa tulangnya dikremasi. Setelah itu liang makamnya akan diisi jasad baru. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan sisi fengshuinya, karena disana sudah kehabisan lahan.

Ada 2 cara memperlakukan jasad orang Tionghoa yang sudah meninggal, yakni dengan cara dikremasi (dibakar) atau dikubur. Mengubur adalah cara tradisional etnis Tionghoa (Tiongkok), namun sejak agama Buddha tersebar di Tiongkok, kremasi menjadi cara baru yang lazim dilakukan.

Dari aspek fengshui, dikubur adalah cara yang lebih baik. Hal ini lantaran orang tua telah membawa kita ke dunia, sehingga setelah meninggal dan dikuburkan, maka jasadnya akan membusuk secara alami dan masuk ke dalam tanah, sementara tulangnya akan menerima aura/hawa Bumi.

Sementara bagi yang memilih mengkremasi jenazah, maka abu sisa kremasi akan dilarung (dilepas) ke laut, dan disisakan sedikit untuk tempatkan dalam guci, dan disimpan dirumah abu. Fengshui dari rumah abu ini juga dapat mempengaruhi nasib keturunannya, sehingga tata letaknya (penomoran loker) harus dipilih dengan baik.

Yakni dengan memperhatikan bazi dari si mendiang sendiri, yang terdiri dari 8 angka : 2 angka tanggal, 2 angka bulan, 2 angka tahun, dan 2 angka jam kelahiran. Setelah itu baru ditentukan arah (hadap) menara guci abu atau papan nisan kecil.

Catatan : Jangan menyimpan abu jenazah dalam rumah! Karena menyimpan abu jenazah tidak ada bedanya dengan menyimpan peti mati 棺材 (Guāncai) dalam rumah! Seisi keluarga dipercaya akan dirudung duka sepanjang tahun, dan akan sakit-sakitan.

Banyak pembaca yang  bertanya, apakah abu orang meninggal yang hanya dititipkan di rumah abu (tidak dilarung, atau hanya dilarung sebagian) apakah baik?

Sebenarnya, rumah abu adalah tempat penitipan sementara, sampai pihak keluarga memperoleh kesempatan atau waktu yang baik untuk proses pelarungan abu ybs di laut. Kalau hanya dititipkan di rumah abu, roh/arwah ybs seperti terkurung.

Adapula yang berpendapat, tidak baik “memecah/menyebar” abu seseorang. Misalnya (1) sebagian dilarung ke laut, (2) sebagian disimpan di rumah abu, (3) sebagian lagi dibawa pulang ke rumah, dan (4) sebagian lagi dibawa ke kampung halamannya untuk disebar ke laut atau disimpan di rumah leluhurnya.

Itu sama saja menyiksa roh/arwah ybs. Roh mendiang akan menjadi sulit untuk reinkarnasi di alam sana, karena bagian2 tubuhnya dipecah2. Itu yang kira2 pernah saya dengar.

Ada pepatah kuno yang berbunyi : 人死后入土为安 (Ren si hou rutu wei an), yang artinya kira2 “Manusia setelah meninggal sebaiknya dikembalikan ke tanah”. Dalam agama Taoisme, orang yang sudah meninggal (jasadnya) sebaiknya dikembalikan ke tanah/bumi lagi.

Karena itu, abu orang meninggal sebaiknya dilarung saja. Carilah hari yang baik (cuacanya bagus) dan lokasi yang baik (air lautnya tenang dan jernih). Jangan pula setelah dikremasi, lantas dibuatkan makam besar laiknya orang2 yang dikubur. Itu namanya kerja 2x.

Jangan menyimpan abu jenazah dalam rumah! Karena menyimpan abu jenazah tidak ada bedanya dengan menyimpan peti mati 棺材 (Guāncai) dalam rumah! Seisi keluarga dipercaya akan dirudung duka sepanjang tahun, dan akan sakit-sakitan.

Di Singapura sudah tidak punya kuburan baru lagi, kecuali perkuburan untuk orang2 Islam. Undang2 di Singapura melarang orang mati untuk dikubur, melainkan harus dibakar, atau dikremasi. Sementara abunya disimpan di rumah2 ibadah, seperti du Wihara atau di Gereja.

Proses penutupan kompleks perkuburan ini sudah dilakukan sejak awal2 pemerintahan Lee Kuan Yew (1960-an). Awalnya tidak boleh lagi ada orang mati dimakamkan di situ.

Lama kelamaan, keluarga orang yang dimakamkan di situ harus membongkar kuburan leluhur mereka, sisa tulangnya dikremasi, lalu abunya disimpan. Sampai batas waktu tertentu, pemerintah akan membongkar kuburan yang tanpa pemilik.

Sejak saat itu, tidak ada lagi kuburan Tionghoa yang baru di Singapura. Di area2 bekas perkuburan itu lantas didirikan gedung2 apertemen pencakar langit untuk masyarakat.

Kuburan orang Islam pun ditata ulang untuk menghemat tanah. Caranya, kuburan 8 turunan (generasi) harus dijadikan 1 lubang. 1 ”bani” 1 kuburan. Kuburan 8 generasi itu digali. Tulang2nya lantas dijadikan satu, lalu dibungkus kain putih, diikat, dan di shotlatkan. Setelah itu kembali dikubur di satu lubang, lengkap dengan riwayat keluarga tersebut.

Tidak seperti di Singapura, di Tiongkok masih diperbolehkan ada kuburan. Tapi hanya di kota, kabupaten, atau desa yang penduduknya sedikit. Di kota2 besar, seperti Beijing, Chongqing, Shanghai, Hangzhou, Guangzhou, Shenzen, bahkan Hongkong, tidak boleh lagi ada kuburan, kecuali untuk orang Islam.

Baca juga : Fengshui Kuburan : Dikremasi vs Dikubur; Mana Yang Lebih Baik?

F. Cengbeng; Ritual Piknik Tahunan ke Makam Leluhur!

Dalam ritual sembahyang pada momen Cengbeng, tak luput disertakan kegiatan untuk membersihkan makam, sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.

Di saat seperti ini, biasanya mereka membawa perlengkapan kebersihan, termasuk sapu, cat, kertas perak & emas. Kertas2 itu sendiri nantinya akan ditaburkan di atas makam, sebagai pertanda bahwa makam telah dibersihkan.

Setelah selesai, barulah anggota keluarga bisa menaruh persembahan dan membakar dupa (pay respect).

Tahukah kamu, dari mana tradisi meletakkan kertas diatas kubur ini mulai berlangsung? Tulis jawabanmu di kolom komentar. Komentar dengan penjelasan terbaik akan mendapat lencana pembaca terbaik di Tionghoa.INFO 😊

Baca juga : Ceng Beng : Inilah 6 Hal Yang Perlu Anda Lakukan Pada Saat Ziarah Kubur

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?