Last Updated on 16 March 2021 by Herman Tan Manado
Dewa Tua Pek Kong (Hanzi : 大伯公; pinyin : Dàbó Gōng) merupakan salah satu Dewa Taoisme dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa perantauan di Malaysia dan Indonesia.
Namanya sendiri memiliki beragam sebutan. Orang Hakka menyebutnya Thai phak kong, orang Hokkian memanggilnya Tua peh kong, sementara orang Kanton mengejanya Daai baak gung.
Di Indonesia sendiri, masyarakat Tionghoa sering disebutnya sebagai Toa Pekong, Toapekong, atau Topekong, yang secara harafiah berarti “Paman Agung”).
Dalam dialek Hokkian, Toa/Tua sendiri memiliki arti “yang paling besar, atau yang tertua”. Sementara Pek sendiri memiliki arti “paman, atau kakak“. Lalu Gong sendiri memiliki arti “kakek”.
Jadi, pengertian Da Bo Gong (atau Toa Pek Kong) secara keseluruhan adalah “Kakak Tertua dari Kakek, atau Paman Buyut”. Sebutan tersebut merupakan sebutan paling terhormat, karena kultur masyarakat Tiongkok sangat menghormati orang2 yang lebih tua.
Tua Pek Kong sendiri dianggap sebagai “Dewa Kemakmuran”. Menurut kisah hidupnya, beliau merupakan seorang pelaut dari wilayah Fujian Tiongkok, yang mengorbankan dirinya untuk umat manusia.
Beliau juga dipercaya sebagai reinkarnasi Dewa “Fu” dari trio Dewa Fu Lu Shou 福祿壽, yang mewakili “Kemakmuran, Keberuntungan, dan Umur Panjang”.
Berikut riwayat hidup Toa Pek Kong :
Terdapat beberapa versi sejarah tentang kehidupan Toa Pek Kong sebelum diangkat menjadi Dewa.
Versi pertama menyebutkan bahwa Beliau adalah seorang pelaut dari propinsi Fujian, yang memperoleh mimpi bahwa suatu ketika di tengah laut terdapat seseorang yang mengapung dalam kondisi keracunan. Ia menemukan orang tersebut, lalu menyedot racun dari mulut korban sehingga selamat, namun dirinya sendiri meninggal.
Masyarakat kemudian memujanya, untuk mengenang keberanian serta pengorbanannya.
Versi kedua menyebutkan bahwa Beliau adalah seorang pelajar Fujian yang lari ke wilayah Malaya (saat ini Malaysia) pada masa dinasti Qing, tepatnya pada pemerintahan Kaisar Qianlong 乾隆帝 (1736-1790). Ia digambarkan sebagai pria yang jujur, berbudi, ramah, dan memiliki jenggot yang panjang.
Tua Pek Kong adalah seorang pria bernama Zhang Li (张理) yang berasal dari suku Hakka. Suatu ketika hendak menuju wilayah Sumatra, perahunya dilanda angin yang kuat, dan secara tidak sengaja mendarat di pulau Penang di Malaysia, yang ketika itu baru dihuni sekitar puluhan penduduk saja.
Beliau diyakini telah tiba di pulau itu 40 tahun lebih awal dari Francis Light (seorang penjelajah dan pendiri koloni Inggris di Penang, pada tahun 1746). Pasca kematiannya, penduduk setempat mulai memujanya dan membangun Kuil Tua Pek Kong di sana.
Ia dimakamkan di belakang pulau Mutiara kuil Tua Pek Kong (Sea Pearl Island) di Tanjung Tokong. Kisah Tua Pek Kong pertama di Penang menunjukkan tradisi persaudaraan tersumpah, diantara sesama perantauan orang2 Tiongkok :
Zhang Li (张理) tinggal di komunitas nelayan kecil sebagai guru. Dia dikenal karena kebaikan dan keramahannya, sehingga penduduk desa setempat selalu mencarinya untuk meminta bantuan dan bimbingan ketika mereka memiliki masalah.
Menurut catatan, 2 orang yang menjadi saudara lelakinya yang disumpah, yakni Chiu Hsiao Ching, pembuat arang, dan Ma Fu Choon, seorang pandai besi.
Karena Ia adalah anak tertua, Ia biasa dipanggil oleh anak-anak muda di desa itu dengan sebutan Tua Pek (dialek Hokkian). Dalam dialek Hokkian, Toa/Tua sendiri memiliki arti “yang paling besar, atau yang tertua”. Sementara Pek sendiri memiliki arti “paman, atau kakak“.
Sebutan tersebut merupakan sebutan paling terhormat, karena kultur masyarakat Tiongkok menghormati orang2 yang lebih tua. Mereka ber-3 tampak sangat dekat satu sama lain. Ketika pekerjaan di hari itu selesai, mereka selalu bertemu satu sama lain di satu tempat favorit mereka di desa.
Suatu hari, Chiu dan Ma, seperti biasa pergi menemui saudara tertua yang mereka segani, tetapi terkejut ketika menemukan dia duduk tidak bergerak di samping batu besar. Mereka mencoba membangunkannya, tetapi kemudian segera menyadari, bahwa sesepuh yang mereka hormati itu telah meninggal dunia.
Perasaan sedih membanjiri seisi penghuni desa, yang kemudian ikut membantu menguburnya tak jauh dari batu besar itu. Lalu ketika Chiu dan Ma meninggal, mereka juga dimakamkan di sana, di samping saudara tertua mereka yang disumpah.
Saat ini, kuburan ketiganya masih dapat ditemukan tepat di belakang kuil Sea Pearl Island Tua Pek Kong, Penang, Malaysia.
Sejak saat itu, masyarakat kemudian membangun sebuah kuil untuknya, dan menyembahnya sebagai seorang Dewa oleh masyarakat Tionghoa peranakan di Malaysia. Kepercayaannya kemudian menyebar hingga ke wilayah timur Malaysia, Singapore dan Indonesia.
Beliau dipercaya sebagai Dewa yang melindungi keselamatan para pelaut dalam pelayaran, yang dikenal luas di wilayah Malaya dan Indonesia.
Beliau juga dipuja oleh para buruh imigran Tiongkok (dinasti Qing) yang bekerja di perkebunan lada di Semenanjung Malaya, sekitar awal tahun 1800-an, dikarenakan banyak yang meninggal akibat malaria serta penyakit iklim tropis lainnya.
Namun masyarakat Tionghoa sendiri juga menganggap Toa Pek Kong sebagai Dewa perdagangan dan kekayaan (rezeki). karena melindungi para pekerja dari sakit dan kecelakaan, sehingga mereka dapat fokus untuk bekerja mencari kekayaan; serta akan memberkahi orang2 yang berhati baik.
Di Sarawak – Malaysia Timur, ada sekitar 76 kuil Tua Pek Kong yang tersebar disana. Di Batam, Indonesia, Kuil Tua Pek Kong yang paling terkenal terletak di Nagoya (Lubuk Baja).
Menurut penulis, Dewa Tua Pek Kong sendiri dapat dianggap seperti “Dewa Lokalnya” masyarakat Tionghoa di wilayah Malaya (Malaysia). Ini halnya seperti Dewa Wong Tai Sin (黄大仙; Huang Daxian) di Hongkong.
Karena kesamaan fisiknya juga (visualisasi), masyarakat Tionghoa sendiri sering keliru dalam membedakan, antara Tua Pek Kong dan Tu Di Gong.