Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Beberapa gereja sekarang telah mengadopsi budaya Tionghoa di dalam ritual keagamaannya. Bahkan ada gereja yang sudah mengundang barongsai dalam kegiatan acaranya di gereja, seperti pada acara misa tahunan, pernikahan, dan sebagainya.
Sebenarnya banyak yang masih berbeda pandangan mengenai tradisi budaya dalam suatu ritual keagamaan. Biasanya disinilah timbul salah paham dari orang Tionghoa sendiri yang kebetulan berbeda agama. Padahal, banyak dari tradisi budaya yang lumrah dalam kebudayaan Tionghoa bukan merupakan ritual agama itu sendiri.
Sekarang, kita dituntut untuk berpikir secara bijak, apakah suatu tradisi budaya yang diadopsi dari sebuah agama lantas otomatis menjadi ritual keagamaan dan menjadi monopoli dari agama tersebut?
Kebudayaan dan agama memang saling mempengaruhi, namun tidak langsung berarti bila ada kesamaan antara tradisi budaya dan ritual suatu agama, maka seluruh aksi budaya tersebut menjadi bernilai agama. Tanggalkanlah sebentar kacamata dan perspektif agama untuk melihat segalanya (budaya dan agama) secara objektif.
Banyak yang bertanya mengenai bolehkah orang Tionghoa yang telah pindah keyakinan untuk tetap memegang hio/dupa? Ada jawaban menarik dari seorang suster yang tinggal di sebuah gereja yang terletak di daerah China Town di Jakarta.
Oleh suster tersebut dijawab bahwa selama hio tersebut digunakan bukan untuk menyembah setan dan berbuat yang tidak-tidak, tentu tidak masalah karena hio itu sendiri boleh dibilang hanya sebagai alat saja.
Apalagi kalau digunakan untuk tujuan menghormati leluhur kita, itu baik karena kita memang harus selalu menghormati orang tua dan juga leluhur kita.
Kalau mengenai ada beberapa orang Tionghoa sendiri yang masih enggan memegang hio, jangan memaksa mereka, yang penting kita jelaskan apa kegunaan dan tujuannya. Selanjutnya kembali kepada mereka sendiri untuk mau mengikuti atau tidak.
Orang Tionghoa yang pantang memegang hio/dupa mungkin adalah orang yang kurang membaca kitab sucinya. Mungkin juga karena hanya mendengar kotbah dari beberapa pendeta yang ekstrim saja. Pada kitab Wahyu sendiri dijelaskan bahwa dupa (xiang/hio) dan tempat dupa (xianglu/hiolo) digunakan untuk berdoa.
Wahyu 8 ayat 4 “Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah”Wahyu 8 ayat 5 “Lalu malaikat itu mengambil pedupaan itu, mengisinya dengan api dari mezbah, dan melemparkannya ke bumi”
Sekarang semuanya kembali ke individunya masing-masing, apakah masih mau menghargai budayanya sendiri atau tidak, karena darah Tionghoa akan selamanya mengalir dalam diri kita, bahkan sampai ciri fisik seperti berwajah oriental, itu tidak dapat diubah.
Kalau bukan orang Tionghoa sendiri yang melestarikan budayanya, terus siapa lagi yang akan melestarikannya karena pengaruh budaya luar atau terkena akulturasi budaya?
terima kasih atas tulisan2 Saudara. Dalam iman kepercayaan saya sekarang, saya tetap damai sejahtera mengikuti tradisi2 Tionghoa yang saya tahu pasti sama sekali tidak bertentangan dengan iman saya.
Susahnya.. seperti yang kita lihat, budaya seringkali disatukan dengan agama.. sehingga saat menganut salah satu agama, otomatis budaya yg menyertai agama tsb yang diadopsi.
Maksud saya.. kita ga harus menjadi seperti orang Barat dalam cara beribadah, bentuk rumah ibadah, dsb, saat percaya pada Kristus.. Tks.. cmiiw
Tarian Barongsay dan Liong maknanya adalah aktivitas ritual orang Tionghoa untuk mengusir roh-roh jahat & setan agar tidak menggangu manusia.
Itulah sebabnya mengapa tarian Barongsay dan Liong selalu di iringi dengan suara bedug tambur & petasan. Belum pernah ada kabarnya apabila tarian Barongsay & Liong dilakukan secara sunyi & senyap tanpa ada suara apapun.
Apabila tarian Barongsay dan Liong dimainkan di Gereja / Mesjid maka itu artinya di tempat tersebut banyak roh-roh jahat & setan gentayangan sehingga perlu di usir.
Ada begitu banyak falsafah hidup Tionghoa yang hanya dapat dipahami maknanya hanya oleh orang Tionghoa sendiri.
Apabila orang Tionghoa sudah tidak lagi mengakui & menganut Agama Tionghoa lalu mau dikemanakan Agama Tionghoa ?
Apakah mau dibiarkan punah atau justru orang-orang Non-Tionghoa yang mau menganut Agama Tionghoa ? Sementara orang-orang Tionghoa menganut Agama Non-Tionghoa ?
Bukankah itu sebagai suatu bentuk penyangkalan dan kemunafikan yang nyata apabila orang-orang Tionghoa sudah tidak mau lagi mengakui & menganut agama Tionghoa tetapi masih mengaku-ngaku sebagai orang Tionghoa ?
Semoga penjelasan singkat ini bisa menjawab banyak pertanyaan dari orang-orang Tionghoa yang sedang kebingungan akan identitasnya sendiri.
=Tan=
Tradisi diibaratkan Badan Kita , yg tidak dapat dirubah , sudah punya rupa dan darah begini mau dirubah jadi apa , terlahir jadi Chinese / China / Cina / Tionghoa ya tetap begini .
Agama diibaratkan Pakaian , yg dapat dirubah rubah , pakaian yg terbaik adalah yg cocok dengan tubuh sendiri , walau mahal dan bagus kalau tidak pas dibadan apalah gunanya .
Sakyamuni Budha menyampaikan : cepat datang dan pelajari Dharma ini dan bila cocok pergunakan , bila tidak cocok cepat cari Dharma yg lebih baik / cocok karena waktu kehidupan sangat sedikit tersisa .
Semoga cuplikan ini masih dapat diterima .
Salam bahagia selalu .
Perlu dipahami, budaya dan ritual ibadah itu jelas beda. Kalo disamakan akan terjadi kekacauan. Semisal: patung yesus jadi salah satu kim sin di klenteng dan disembahyangkan di sana? Klenteng mengadakan sembahyang ulang tahun Yesus (Natal) dengan mengarak patung Yesus yang di letakan di tandu, diarak sepanjang jalan kota. Saat itu kekacauan akan terjadi. Bila masih mempertahankan budaya, lebih baik menganut agama yg sesuai dng budaya yang tidak bisa ditinggalkan itu. Lbh bijak begitu…daripd mengacaukan tatanan ibadah
Numpang tanya, Kelenteng mana yang ada sembahyang patung Yesus, dan mengarak nya di atas tandu? Kasih contoh yang masuk akal. Anda berpikir terlalu jauh.