Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Klenteng atau Kelenteng, adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya.
Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu.
1. Asal mula kata “Klenteng” di Indonesia
Tidak ada catatan resmi bagaimana istilah “Klenteng” ini muncul, tetapi yang pasti istilah ini hanya terdapat di Indonesia karenanya dapat dipastikan kata ini muncul hanya dari Indonesia.
Sampai saat ini, yang lebih dipercaya orang sebagai asal mula kata Klenteng adalah bunyi teng-teng-teng dari lonceng di dalam klenteng, sebagai bagian ritual ibadah. Awalnya, istilah klenteng sebagai tempat ibadah orang Tionghoa juga tidak dikenal di berbagai tempat lain selain di pulau Jawa.
Di Sumatera, mereka menyebutnya bio; di Sumatera Timur mereka menyebutnya am, dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio. Sementara di Kalimantan, etnis Hakka disana sering menyebutnya dengan istilah thai Pakkung, pakkung miau, shinmiau.
Tapi seiring berjalannya waktu, istilah “klenteng‟ menjadi umum dan mulai meluas penggunaannya di masyarakat.
Asal-usul penggunaan kata “klenteng” untuk tempat ibadah orang Tionghoa tidak diketahui sejak kapan mulai dipakai. Namun ada beberapa penjelasan yang coba dipakai untuk menjelaskan asal muasal kata “klenteng” itu.
♦ Pertama menurut Nio Joelan, dimana klenteng berasal dari kata Guanyin ting (觀音亭) atau “gazebo Guanyin”. Jika menggunakan dialek Hokian, maka ejaan bunyinya “kwan im teng”.
♦ Kedua adalah menurut pendapat Li Zhuohui 李卓輝, yang mengatakan kata klenteng berasal dari tempat pembelajaran atau sekolah, yang dalam bahasa mandarinnya disebut Jiaorentang (教人堂) atau “kaulangtang”.
♦ Sedangkan yang ketiga, klenteng berasal dari bunyi lonceng atau genta yang ada di dalam tempat ibadah (klenteng) tersebut.
Klenteng juga disebut sebagai “bio”, yang merupakan dialek Hokkian dari karakter 廟 (miao). Ini adalah sebutan umum bagi klenteng di China.
Pada mulanya 廟 “Miao” adalah tempat penghormatan pada leluhur 祠 “Ci” (rumah abu), dimana pada jaman dulu masing2 marga membuat “Ci” untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abu. Para Dewa-Dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga/famili/klan mereka.
Seiring perjalanan waktu, maka timbullah penghormatan terhadap Dewa-Dewi, yang kemudian dibuatkan ruangan khusus untuk para Dewa-Dewi, hingga sekarang ini kita kenal sebagai Miao, yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, dan suku.
Saat ini, di dalam “Miao” masih bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) atau di khususkan untuk tempat menaruh abu leluhur, yang masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga/marga/klan masing2.
Di dalam “Miao” juga disediakan tempat untuk mempelajari ajaran/agama leluhur Tionghoa, seperti ajaran Konghucu, Lao Tze, dan Buddha.
Miao, atau Klenteng (dalam bahasa Jawa) dapat membuktikan selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, tempat para Suci (Dewa-Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran; juga adalah tempat yang damai untuk semua golongan, tidak memandang dari suku dan agama apa orang itu berasal.
Secara umum istilah2 tempat ibadah Tionghoa dalam bahasa mandarin atau juga dalam dialek Minnan itu beragam, berdasarkan fungsi maupun afiliasinya pada agama mainstream yang ada di Tiongkok. Adapun agama mainstream ini adalah : Buddhisme, Taoisme. dan Konfusianisme.
Contoh beberapa nama tempat ibadah di Indonesia : Dajue si 大覺寺 (Taikak Sie), Xihe gong 西河宮 (See Hoo Kiong), Lingfu miao 靈福廟 (Linghok Bio), Sanbao dong 三寶洞 (Sampo Kong), Jinde Yuan 金德院 (Kimtek Ie), dan lain sebagainya.
Dari beberapa istilah, seperti si 寺, gong 宮, miao 廟, dong 洞, yuan 院, menunjukkan adanya perbedaan2 istilah yang digunakan oleh orang Tionghoa dalam menyebut tempat ibadahnya.
2. Kategori/Jenis2 Klenteng di Indonesia
Klenteng adalah sebutan umum, sehingga klenteng sendiri terbagi atas beberapa kategori, yakni :
A. Konghucu, kepercayaan rakyat, secara umum disebut “Miao” (廟) :
1. Miao (廟) : Artinya adalah tempat penghormatan leluhur. Miao juga digunakan sebagai tempat penghormatan tokoh Konghucu yang berjasa. Contohnya seperti misalnya Kong Miao 孔廟, klenteng untuk menghormati Kong Zi, Wenmiao 文廟 dan wumiao 武廟.
2. Ci (祠) : Secara umum diartikan sebagai “rumah abu” (sisa kremasi), dimana bisa menjadi rumah abu umum, baik rumah abu yang se-marga, atau rumah abu untuk tokoh2 yang dihormati. Contohnya seperti Gongde ci 功德祠 ( Kongtek Siu ) Semarang.
3. Li Tang (禮堂) : Secara umum artinya adalah aula penghormatan, penggunaan kata li tang sebagai tempat ibadat Ruism ini belum saya temui di negara lain kecuali di Indonesia.
B. Taoisme, secara umum disebut “Gong Guan” (宮觀) :
1. Gong (宮) : Artinya adalah “istana”. Xihe gong 西河宮 (See Hoo Kiong) adalah salah satu contoh yang berada di kota Semarang.
2. Guan (觀) : Artinya adalah “mengamati”, penyebutan ini terkait dengan panggung obervasi langit 觀臺 (guān tái) pada jaman pra dinasti Tang. Fungsinya mirip dengan yuan 院 .
3. Dong (洞) : Artinya adalah “goa”. Biasanya adalah tempat tinggalnya para pertapa. Salah satu contohnya adalah Sampokong.
4. Dian (殿) : Artinya “ruang aula”. Statusnya lebih rendah dari gong 宮.
C. Buddhisme, secara umum disebut “Siyuan” (寺院) :
1. Yuan (院) : Yuan merupakan kompleks bangunan yang lebih luas dari pada Vihara, karena mencakup tempat pendidikan, tempat pelatihan diri untuk para biksu, dan biara. Contohnya seperti Jinde yuan 金德院 (Kimtek Ie) di Jakarta.
2. An (庵) : Banyak masyarakat Tionghoa yang beranggapan bahwa bangunan “An” ini khusus untuk biksuni saja. Namun secara umum bisa diartikan bahwa “an” adalah tempat kaum perempuan melatih diri, bisa bhiksuni 尼姑, bisa daogu 道姑, bisa juga zhai jie 齋姐.
Khusus zhaijie, atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan “caici” ini adalah pendoa perempuan khas etnis Hakka, dan di Semarang terdapat 2 tempat para caici tinggal dan melakukan aktifitasnya, yaitu di jalan Kenanga, Semarang.
3. Ta (塔 ) : Bangunan berbentuk Pagoda ini bernuansakan Buddhisme, dimana pagoda ini adalah tempat untuk penyimpanan relik Buddha, kitab suci, atau abu para biksu & biksuni yang sudah parinibbana (meninggal, dikremasi).
Di Bandung kita bisa melihat klenteng Ling Guang Si yang memiliki 2 pagoda untuk mengenang suhu (bhiksu & bhiksuni ) yang sudah meninggal. Contoh Pagoda di Tiongkok, seperti pagoda Lei Feng Ta 雷峰塔 di Hangzhou.
3. Klenteng, Vihara dan Orde Baru
Banyak umat awam yang tidak mengerti perbedaan dari Klenteng dan Vihara. Klenteng dan Vihara pada dasarnya berbeda dalam hal arsitektur, umat dan fungsi. Klenteng pada dasarnya berarsitektur tradisional Tionghoa, dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat, selain dari pada fungsi spiritual.
Vihara berarsitektur lokal, dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, Vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa, seperti pada Vihara Buddhis aliran Mahayana, yang memang berasal dari China.
Perbedaan antara Klenteng dan Vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru.
Klenteng2 yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa, dan diambil alih kepemilikan tanah dan bangunannya oleh pemerintah.
Pada waktu itu, muncullah sosok Kwee Tek Hoay yang mendirikan Sam Kauw Hwee (Tridharma), agar aset2 budaya Tionghoa itu (Klenteng) tidak ditutup oleh pemerintah.
Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi nama Sansekerta atau Pali, mengubah namanya sebagai “Vihara” dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam sulit membedakan, mana Klenteng, dan mana Vihara, sehingga semua dianggap satu.
Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak Vihara yang kemudian mengganti namanya kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa, dan lebih berani menyatakan diri sebagai Klenteng daripada Vihara.
Jika anda memiliki informasi seputar klenteng yang berada di tanah air (sejarah, foto bangunan klenteng, alamat dan telepon) boleh mengirimkan infonya langsung ke situs www.kelenteng.com. Dengan demikian, anda telah berpartisipasi dalam menyebarluaskan informasi tentang keberadaan suatu klenteng agar dapat dikenal luas oleh masyarakat.
Selamat pagi/siang/sore/malam, saya sangat tertarik dengan artikel ini, terutama pada bagian “Kategori/Jenis-jenis Kelenteng di Indonesia”. Bisakah penulis memberitahukan referensi yang digunakan pada bagian tersebut? dan/atau bisakah penulis memberikan referensi atau rekomendasi buku/jurnal/artikel ilmiah lainnya yang membahas tentang kategori/jenis-jenis kelenteng? Terima kasih.
Artikel ini tidak ada referensi. Murni atas pengetahuan yg penulis dapatkan, selama mendalami ajaran Tridharma, serta menjelajahi berbagai klenteng, vihara, lithang, dan daoguan yg ada di nusantara.
Baik, terima kasih atas respon yang diberikan. Salam.
Oke thanks Pak Eddy Setiawan atas tambahan informasinya.
Jin De Yuan adalah Klenteng Buddhis, asal namanya adalah Kuan Im Teng waktu berdiri tahun 1650. Nama inilah yang diserap masyarakat lokal menjadi klenteng. Kerusuhan 1740 membuat Kuan Im Teng rusak, sehingga direnovasi dan diganti namanya menjadi Jin De Yuan.
Perubahan nama adalah akibat sikap pemerintah yang sinophobia, alias alergi terhadap segala hal berbau China terkait kondisi perang dingin antara kapitalis dan komunis kala itu, sehingga apapun yang terkait China dicurigai komunis. Untuk menyelamatkan dan melestarikan klenteng maka para sesepuh kita terdahulu yang jadi pengurus klenteng memakai nama vihara.
Klenteng-klenteng tertua di Indonesia kebanyakan memang berorientasi Buddhis, sementara yang berorientasi Taois hadir belakangan. Sedangkan pemujaan terhadap Konghucu adalah hal baru yang muncul awal 1900an pasca upaya kebangkitan kembali ajaran Konghucu di RRT. Pertama kali muncul di Surabaya 1906, kemudian di Jakarta dan Cirebon 1930an. Di Jakarta pun diberi tempat oleh Klenteng Buddhis Jin De Yuan, demikian juga di Cirebon oleh Klenteng Buddhis yang bernama Guan Yin Ting.