Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado

Kasar, brutal. tidak bermoral, inilah kata-kata yang digu­nakan untuk menggambar­kan pejabat Tiongkok kuno terkenal, Zhou Chu, di masa mudanya.

Zhou hidup pada masa Dinasti Jin (1115 – 1234) di Yixing, Provin­si Jiangsu. Karena kurang bimbingan dari orang tua yang tepat di masa mudanya, Zhou tumbuh dengan temperamen buruk, kasar dan tak terkendali, dan secara luas terkenal sebagai “teror desa”.

Zhou segera menyadari bahwa orang-orang desa menghindarinya seperti melihat wabah. Bertekad untuk merehabilitasi hidupnya, Zhou mengetahui bahwa tidak ada cara yang lebih baik un­tuk mendapatkan kembali reputasi baik orang-orang sekampungnya dengan membantu mereka menyelesaikan masalahnya.

Setelah mengamati, ia melihat sebagian besar penduduk desa tampak tertekan dan menyimpan kekhawatiran di raut wajah mereka.

“Sekarang ada perdamaian di seluruh negeri, cuaca yang baik, panen berlimpah, dan semuanya berjalan sesuai keinginan kita, tetapi mengapa orang masih be­gitu murung?” tanya Zhou pada para tetua.

“Bagaimana orang bisa menjadi gembira ketika ada tiga teror belum ditangani dengan baik,” jawab para tetua.

“Tiga teror apa?” tanya Zhou dengan heran.

Para tetua berusaha menjelaskan, “Ada harimau putih di Pegunungan Se­latan yang sering menyerang orang. Teror lainnya, naga banjir di sungai bawah Jembatan Panjang sering melukai orang dan ternak. Adapun yang ketiga…”

Tiba-tiba mereka terdiam, setelah ragu-ragu sejenak, para tetua berdiri dan berbicara, “Kami takut pada Anda.”

Bagai disambar petir, Zhou ke­mudian berpikir panjang dan keras atas pernyataan para tetua tersebut. Akhirnya ia mengumumkan, “Saya akan menyingkirkan semua tiga teror!”

Zhou mengasah senjatanya dan berangkat sendirian ke pegunungan untuk berburu harimau putih ganas. Dia berjuang keras dan berhasil membunuh binatang itu.

Kemu­dian melanjutkan perjalanannya ke sungai. Setelah terjadi pergumulan sengit dengan naga banjir selama tiga hari tiga malam, Zhou akhirnya berhasil memenggal kepala naga. Kemudian Zhou kembali di desa.

Namun penduduk desa mengetahui bahwa Zhou pergi selama tiga hari, dan percaya bahwa ia pasti telah tewas dalam upayanya. Senang men­getahui tiga teror telah dilenyap­kan, maka penduduk desa gem­bira melompat kegirangan, saling memberi selamat, dan bersukaria. Pada saat yang tepat, Zhou kem­bali.

Menyaksikan kegembiraan dan perayaan yang berlangsung, Zhou akhirnya memahami bahwa dia sangat dibenci, malu dan sedih dengan kenyataan ini.

Jalan penebusan

Masih bertekad untuk menebus masa lalunya, Zhou memutuskan untuk dilahirkan kembali sebagai seorang sarjana dan seorang ksa­tria. Ia mulai mencari guru ter­kemuka.

Dia segera menemukan bahwa cucu Jenderal Besar Lu Xun di Wu, Lu Ji Yun dan Lu Yun, mem­buka pendidikan bagi pelajar. Maka ia berangkat untuk kunjungan khu­sus menanyakan apakah mereka bisa mengajarinya.

Zhou hanya berhasil menemui Lu Yun, meskipun begitu ia segera mengajukan pertanyaan yang paling merisaukan pikirannya. “Saya benar-benar ingin menebus kesalahan dan memulai kembali, tetapi karena usia lanjut, saya tidak tahu apakah masih ada waktu,” kata Zhou.

“Orang dahulu sangat men­junjung tinggi orang-orang yang mau berubah,” jawab Lu Yun dengan semangat.

“Masa depan Anda, cukup cerah. Selain itu, orang harus lebih peduli pada tekad seseorang daripada reputasi seseorang,” kata Lu Yun.

Saat itu Zhou menyadari ke­benaran yang mendalam tentang “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.” Zhou bekerja keras dan tekun un­tuk meningkatkan jalannya, dan menaruh perhatian besar terhadap kultivasi diri dan menyempurnakan karakter moralnya.

Dalam perjalanan setahun, reputasinya berubah begitu drastis menjadi lebih baik sehingga pejabat pemerintah daerah semuanya merekomendasikan ia memegang jabatan.

Selama 30 tahun ke depan, Zhou menjabat berbagai posisi, ia dikenal sebagai pejabat yang ra­jin dan berprestasi. Selama masa jabatan, ia melakukan tugasnya secara kompeten dan bertanggung jawab.

Sebagai seorang pejabat, Zhou memiliki banyak prestasi yang patut dicatat. Sebagai pejabat di Xinping, Zhou menjalin hubungan yang sangat baik dengan suku-suku minori­tas di sana.

Di Guanghan, ia ter­bukti bersih dari korupsi dan sangat efisien, menyelesaikan banyak kasus tersendat puluhan tahun. Ketika menjabat sebagai pegawai adminis­trasi kekaisaran, ia memberlakukan hukum tanpa memihak orang penting, dan kejujurannya membuat dia mempunyai musuh berbagai kelompok buruk.

Kemudian ketika suku minori­tas dipimpin oleh Chi Won Nien memberontak, beberapa pejabat di istana kekaisaran yang ingin me­nyakiti Zhou, mengusulkan agar Zhou berperang menumpas pembe­rontak. Mereka yang tahu niat jahat para pejabat kerajaan menyarankan agar Zhou diturunkan jabatannya.

Zhou tak tergerak. “Apa ada cara yang lebih baik bagi saya un­tuk menunjukkan bahwa saya setia dan patuh? Saya sudah mengucap­kan selamat tinggal pada orang yang saya cintai untuk melayani istana kekaisaran, jadi hari ini adalah hari bagi saya untuk men­gabdikan diri untuk negara!”

Pada akhirnya, Zhou benar-benar mengorbankan hidupnya untuk negara, jatuh dalam jebakan penjahat, dan tewas di medan perang.

Zhou terbukti cukup berani un­tuk melakukan perubahan mendasar pada karakternya, dan mengubah dari peneror jahat menjadi seorang pejabat setia dan terpuji.

Jika ada, kisah Zhou Chu mengingatkan kita bahwa seseorang dapat membuat kesalahan, tapi seseorang bersedia dan bertekad untuk memperbaiki jalannya, maka takdir masa depan seseorang akan berubah menjadi lebih baik.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?