Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Istilah Tionghoa untuk mengacu kepada orang Tionghoa secara umum, atau warga keturunan Tionghoa Indonesia secara khusus, tidaklah berasal dari orang Tionghoa, tapi dari orang Eropa yang mengaitkan dengan satu dinasti yang pernah memerintah di Tiongkok pada 225-206 SM, yaitu dinasti Qin.
Sebenarnya orang Tionghoa yang ada di Indonesia kini adalah keturunan dari orang Han, yaitu kelompok mayoritas yang membentuk 94% dari total penduduk Republik Rakyat Tiongkok;
yang secara linguistik terpecah lagi ke dalam berbagai suku-bangsa, antara lain yang terkenal di Indonesia adalah Kanton (Kwitang), Teochiu, Hoklo, Hinghua, Hokcia, Hainan, Hakka, dan Hokkian.
Sebagian ahli bahasa di Indonesia, misalnya Mely G. Tan, menyebut orang Tionghoa Indonesia ini dengan nama golongan etnis Tionghoa. Sebagian lain, misalnya George Yunus Aditjondro, menyebutnya dengan istilah masyarakat Tionghoa atau tenglang.
Slamet Martosudiro menyebutnya Tionghoa perantauan atau hoakiau, juga umum disebut non Pribumi, atau golongan etnik Tionghoa, atau ethnic Chinese, atau kelompok keturunan Tionghoa, atau Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, atau bahkan ada yang menyebut dengan istilah WNI, atau turunan, atau Orang Tionghoa saja.
Dalam literatur sosiologi, kolektivas semacam warga keturunan Tionghoa Indonesia ini biasanya disebut dengan istilah ethnic group.
Penggolongan mereka ke dalam kelompok etnik Tionghoa dalam kenyataannya dilakukan oleh mereka sendiri atas kesadaran sendiri berdasarkan persamaan ciri-ciri sosio kultural tertentu, atau oleh orang lain yang melihat mereka sebagai orang-orang yang memiliki ciri-ciri sosio-kultural yang sama.
Dalam artikel ini, cenderung mengikuti konsep umum sosiologi dan menyebut orang Tionghoa Indonesia ini sebagai kelompok etnik Tionghoa, atau disingkat jadi KET.
Istilah ini hampir sama artinya dengan istilah yang digunakan oleh ahli sosiologi Mely G. Tan, yaitu golongan etnis Tionghoa. Mereka adalah orang Indonesia keturunan Tionghoa, atau Chinese descendants.
Satu ciri umum yang melekat pada kelompok ini, dan sekaligus juga merupakan pengikat mereka, adalah perasaan sebagai satu kelompok etnik yang khas, yang berbeda dari kelompok-kelompok etnik lain di mana mereka tinggal. Apakah yang mengikat mereka sebagai satu kelompok etnik?
Ringkasnya definisi di atas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kelompok etnik Tionghoa (KET) di Indonesia adalah mereka yang memandang dirinya sebagai orang keturunan Tionghoa, karena mereka sama-sama merasa memiliki seperangkat ciri-ciri sosio-kultural yang khas. Ciri-ciri sosio-kultural tersebut adalah :
a) Sama-sama memiliki sistem kepercayaan yang khas yang mereka bawa dari daratan Tiongkok, yaitu Samkaw.
b) Sama-sama berbicara dalam bahasa atau dialek suku-bangsa yang berasal dari daratan Tiongkok.
c) Mempunyai persamaan pengalaman sejarah, yaitu sebagai migran ke Indonesia.
d) Sama-sama merasa berasal dari keturunan yang sama, yaitu keturunan Orang Tionghoa atau Orang Han.
e) Sama-sama merasa berasal dari suatu tempat yang sama, yaitu daratan Tionghoa.
Pada masa kini orang tidak dapat bicara tentang Kelompok Etnis Tionghoa dengan cara pukul rata seperti itu, khususnya setelah peristiwa pergantian Orde Lama ke Orde Baru tahun 1967. Suryadinata misalnya, sangat keras menganjurkan agar sekurang-kurangnya membedakan “Cina totok” dari “Cina peranakan”.
Yang lain, almarhum Junus Jahja, membedakan orang Tionghoa muslim dari Tionghoa non-muslim. Seorang Professor Universitas Indonesia ahli Tionghoa menyetujui keadaan heterogenitas dari warga kelompok etnik Tionghoa itu.
Karena itu dikatakannya sangat keliru jika kita memukul rata kelompok etnik Tionghoa dengan menggunakan stereotipe yang pada umumnya berkonotasi buruk.
Oleh : Amri Marzali, University of Malaya, Malaysia
Jurnal : MASYARAKAT INDONESIA, edisi XXXVII, No. 2, 2011. Jakarta: LIPI
Judul Makalah : Pemetaan Sosial Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia
Adeuuh pliss deh brother and sister cukup deh tenang smuanya. Kenapa kita gak bisa hidup Degan damai sebagai sesama makhluk hidup. Kita hidup di Alam yang sama sama2 makan nasi sama2 minum aer tuhan yang menciptakan kita smua. Maka saling mengasihilah Jangan saling benci. Atau membeda2kan diri.harta Benda gelar itu gak Akan dibawa mati lah. Lebih baik perbaiki diri sndri ajah. Gak usah terlalu sibuk urusi Dunia. Kita gak hidup selamanya perbanyak ibadah ajah lah dan berbuat baik. Aku ingin Indonesia damai dan harusnya kita smua bisa membuka mata hati kita kalau bukan kita siapa lagi? Ingatlah apa perintah tuhan kita!Kalo emang disini org pinter2 hrs nya kecerdasan anda itu dgunakan untuk hal yg berguna utk anak cucu kita. Pusing gue dimana mana perang mulu aduuuh aduuuuh ampun. Seandainya Pandora itu nyata dalem hidup ini..
Sebenarnya itu cuma istilah. Masalah cuma timbul klo anda terlalu sensitif dan mencarinya. Seperti orang2 chinese/cina/tionghoa/zhongguo yg dpt merasa diperlakukan tidak menyenangkan oleh rasisme, org pribumi juga dpt merasa tdk senang dgn kata2 yg rasis. Banyak bgt sodara2 pribumi kita yg tidak rasis. Banyak teman2 kami dari golongan pribumi juga.
Maka sudahilah perdebatan yg percuma ini. Bagaikan air mengalir saja. Masih ada perut yg hrs diisi. Thx.
Halo Liu, jika anda merasa ini hanya sebuah perdebatan yang percuma, kenapa anda ikutan nimbrung di kolom komentar?
panggilan tenglang, tionghua, han ren, cina, chinese itu semua sama saja. kan memang kita keturunannya.
harusnya bangga dung hehehe
lalu masalah yg di kemukakan oleh lim khiong, pengamat dan org dgn id pribumi diatas. cukup lah sampai di situ
nga perlu di bahas lagi, nga bakal kenyangin perut dan nga bakal akan selesai. cuma nambah masalah.
indonesia sudah banyak masalahnya.
tujuan nenek moyang kita ke indonesia untuk berdagang, cari makan, cari duit.
itu yang terpenting!
tujuan itu nga bakal mati untuk seabad lagi.
karena semua butuh makan.
kecuali uda ada yg nga mao makan lagi
hehehe
@pengamat 13 april 2015
Saya salah satu org pribumi awalnya tertarik untuk mengetahui dan mempelajari budaya tionghoa krn lingkungan tinggal dan kerja saya dekat dengan orang2 tionghoa, setiap hari saya berinteraksi dengan mereka. Dan TIDAK PERNAH RASIS dgn marga maupun kepercayaan mereka. Saya juga banyak memiliki teman etnis tionghoa dan mereka menghargai saya sbg muslim. Contohnya, ketika makan di restoran ramen, teman saya tionghoa itu dgn sigap mengatakan ke waiters untuk memesankan saya menu halal tanpa babi.
Yang saya sayangkan, internet bisa berakibat fatal apabila tanpa filter dalam memberikan komen. Anda benar2 rasis dan tidak pandai dalam memanfaatkan teknologi. Poin 1-6 anda merendahkan pribumi terutama poin 2 dan 5 anda menyebut2 islam. Di poin 5 TiDAK PERLU anda menyebut orang pribumi suka mencari masalah. Harusnya anda sadar di negara mana anda tinggal, jika ingin hidup tanpa ada org pribumi kembali saja ke cina. Harusnya anda jg sadar bisnis anda tidak akan berhasil tanpa keterbukaan org pribumi menerima anda hidup dan beranak pinak di indonesia.
Dsini saya hanya ingin anda memfilter omongan anda. Ada baiknya jangan membawa isu sensitif seputar suku dan agama jika anda hidup di indonesia.
@”Lim Khiong”. 12 April 2015.
Pernyataan:
1. “Problem terbesar kita sebagai orang Tionghoa…”
# Agak aneh membacanya. Apakah orang Tionghoa mempunyai masalah (problem)?
2.”…bagaimana kita bisa menempatkan diri kita sebagai minoritas di dalam kehidupan berbangsa. Itu yang lebih penting dibandingkan meributkan istilah Tionghoa atau Cina.”
#Mengapa masih memposisikan Tionghoa sebagai minoritas ? Mengapa anda keberatan apabila orang Tionghoa ingin disebut sebagai Tionghoa ??
2. “Kita memerlukan panutan yang bisa menjadi contoh/teladan…”
Ini seperti pola pikir orang-orang islam yang membutuhkan jungjungan nabi abad ke-7.
3. “…Hanya sayangnya memang banyak konglomerat “maling” yang berasal dari keturunan Tionghoa yang bekerjsama dengan pejabat pribumi yang korup sejak jaman Orla dan Orba…”
#Kenapa tidak disebutkan konglomerat Pribumi “Maling” yang bekerjasama dgn pejabat pribumi maling ?
4. “…bagaimana kita menghilangkan stigma kita sebagai “suku” yang tidak nasionalis dan hanya cari untung adalah PR besar kita semua yang mengaku sebagai orang Tionghoa.”
# Siapa yang menberikan cap stigma kepada Tionghoa ? Lalu apa urusannya orang Tionghoa harus meladeni & menjawab cap stigma tsb ?
5. Sebenarnya yang suka bikin masalah itu siapa ?
Tahun 1980-an TNI/BIN memenerbitkan 3 jilid Buku “Pedoman Penyelesaian Masalah Cina” setebal 1500 halaman.
Di dalam buku tsb isinya ternyata mempermasalahkan Agama, Budaya, Adat-istiadat, Tata-krama orang-orang Tionghoa. Lalu mengapa sampai-sampai orang Pribumi merasa bahwa orang Tionghoa yang ber-Agama Tionghoa adalah masalah ? Mengapa orang Tionghoa yang mempraktikan budaya Tionghoa disebut sebagai bermasalah ?
Kenapa orang-orang Pribumi harus marah-marah, benci dan berkeberatan apabila orang-orang Tionghoa ber-Agama Tionghoa ?
Apa urusan orang Pribumi mengomentari, mempermasalahkan dan meributkan agama & budaya Tionghoa ?
Apakah ada orang Tionghoa yang marah-marah,benci dan berkeberatan ketika Pribumi melaksanakan ajaran leluhurnya ?
Ternyata sejarah mencatat, yang namanya “masalah cina” itu tidak pernah ada di Indonesia.
Yang bermasalah itu justru orang-orang Pribumi sendiri yang memang suka cari-cari masalah.
Fakta dan catatan dunia mencatat aksi-aksi Teroris Islam yang menghancurkan peradaban dunia. Lalu apakah orang-orang Pribumi harus memerbitkan buku “Pedoman Penyelesaian Masalah Islam” ?
6. Menganalisa isi tulisan-tulisan “Lim Khiong”. saya yakin saudara “Lim Khion” adalah Pribumi yang mengaku-aku Tionghoa.
Halo, pak Pengamat, Apakah anda memiliki Buku “Pedoman Penyelesaian Masalah Cina” tersebut? Sedikit sekali info soal buku tua terbutan 1979 ini di media online. Kalau ada saya pribadi ingin mendapatkannya untuk menambah informasi pengetahuan.
Minimal ada 4 sebutan lain selain Tionghoa
1) Chinese (English) atau Cina (Indonesia) dari aksara Qin/Chin (Dinasti Qin/Chin)
2) Tang-ren (Mandarin) atau Teng-lang (logat Hokkien/Fujian) dari aksara Tang (Dinasti Tang).
3) Han-ren (Mandarin) atau Han-lang (logat Hokkien/Fujian) dari aksara Han (Dinasti Han)
4) Zhongguo-ren (Mandarin). Khususnya bagi mereka yang tinggal di Zhongguo/Tiongkok. Tapi lucunya dalam bahasa sehari-hari, saya lebih suka memakai istilah Zhongguo-ren, mungkin karena sudah terbiasa memakai istilah itu.
Mengenai ciri-ciri sosio-kultural orang Tionghoa menurut saya cuma ada satu: merayakan tahun baru Imlek/Yinli. Istilah kerennya Lunar Calendar New Year Celebration.
Imlek menegaskan kembali ajaran/filosofi purba Tionghoa bahwa setiap manusia harus berbakti kepada orangtuanya.
Saat Imlek atau perayaan datangnya musim semi, adalah waktu yang tepat bagi semua orang untuk beristirahat, berkumpul dengan keluarga, bersujud kepada orangtua, memberi uang yang terbungkus dalam amplop merah/angpao/hungbao kepada anak & keponakan yang belum menikah/mandiri.
Perayaan Imlek adalah satu-satunya ciri khas budaya Tionghoa. Yang mempersatukan semua orang Tionghoa yang ada di Tiongkok, Taiwan, Hongkong dan semua Chinese Diaspora di semua negara di dunia.
Tidak ada yang lain selain perayaan tahun baru Imlek. Wujud dari filosofi purba mengenai bakti yang paling dijunjung tinggi semua orang yang mengaku Tionghoa atau Chinese.
Boleh saja orang Tionghoa beragama Konghucu, Tao, Buddha, Kristen, Islam, dll tapi saat perayaan Imlek semua perbedaan agama itu harus ditinggalkan dan menjadi satu keluarga yang rukun yang merayakan kebahagiaan musim semi, mengikat tali kasih di antara saudara/i dan kerabat.
Sebutan Tionghoa/Zhonghua untuk etnis yang (leluhurnya) berasal dari Tiongkok/Zhongguo sudah tepat.
Tapi saya tidak anti bila disebut “Chinese” juga. Istilah “Chinese” atau “orang China” dalam English ini konon menurut banyak orang Tionghoa yang anti Barat adalah sebuah penghinaan. Tapi menurut saya tidak.
Chinese (etnik) dan China (negara) berakar dari aksara Chin/Qin yang merujuk pada Dinasti Chin/Qin (225-206 SM). Dua sebutan ini sudah lazim di literatur English dan bukan hinaan.
Seandainya mau tetap pakai kata Cina, gunakan intonasi “Chaina” seperti mengeja dalam bahasa inggris, bukan “Cina” dalam bahasa indonesia. Anda mau pakai atau tidak toh keppres sudah turun dan semua sudah DIWAJIBKAN untuk memakai kata TIONGHOA untuk penyebutan keturunan dan TIONGKOK untuk penyebutan negara.
Keppres itu khan hanya secara legal, tapi dalam praktek sehari-hari tetap saja sebutan “Cina” berlaku di masyarakat pribumi. Memang kita bisa melarang mereka?
Menurut saya, kita tidak usah meributkan bagaimana mereka menyebut kita. Bahkan sebenarnya “Cina” secara intonasi sudah hampir benar karena diambil dari aksara Qin (dari Dinasti Qin 235-206 SM).
Orang Inggris itu malah salah karena mengikuti kebiasaan mereka melafalkan “i” sebagai “ai” sehingga China dilafalkan “Chaina”. Anda terlalu sensitif mengenai penyebutan “Cina” ini. Kalau boleh tahu, apakah Anda punya trauma karena sebutan ini?
Kalau kita saja tidak mau menggunakan kata TIONGHOA bagaimana mereka (PRIBUMI) mau ikut? Blog TIONGHOA.INFO merujuk pada peraturan pemerintah yang terbaru soal penggunaan kata CINA menjadi TIONGHOA di Indonesia. Soal trauma, banyak orang TIONGHOA di Indonesia yang mengalami perlakuan buruk akibat kata / cap CINA ini.
Saya pribadi menghimbau anda yang (kalau merasa) orang TIONGHOA agar tidak menggunakan kata “CINA” lagi untuk penyebutan orang Tionghoa di Indonesia. Demikian info.
We agree to disagree.
Problem terbesar kita sebagai orang Tionghoa adalah bagaimana kita bisa menempatkan diri kita sebagai minoritas di dalam kehidupan berbangsa. Itu yang lebih penting dibandingkan meributkan istilah Tionghoa atau Cina. Kita memerlukan panutan yang bisa menjadi contoh/teladan yang baik yang bisa menyalurkan talenta kita masing-masing dalam mengabdi kepada negara. Saya yakin di luar sana masih banyak orang Tionghoa yang nasionalis seperti Kwik Kian Gie. Hanya sayangnya memang banyak konglomerat “maling” yang berasal dari keturunan Tionghoa yang bekerjsama dengan pejabat pribumi yang korup sejak jaman Orla dan Orba. Dan bagaimana kita menghilangkan stigma kita sebagai “suku” yang tidak nasionalis dan hanya cari untung adalah PR besar kita semua yang mengaku sebagai orang Tionghoa.
apanya yg minoritas bro
orang tionghoa itu jumlahnya banyak
Halo cece,
Kalau dilihat berdasarkan peringkat kesukuan, menurut sensus pada tahun 2000 Tionghoa menduduki peringkat 3 (3,7%) dari total penduduk Indonesia; bisa dianggap sebagai suku MAYORITAS. Namun jika semua suku lokal digabung (96,3%), kita memang MINORITAS di negeri ini. Namun secara pribadi sensus ini tidak valid karena tidak menyebutkan indikator apa yang digunakan (Agama, status sosial, penggunaan marga, dsb).
Perlu diinfokan, saat ini banyak juga orang Tionghoa di Indonesia yang sudah tidak lagi mengakui dirinya adalah seorang Tionghoa. Namun anehnya mereka masih menjalankan sebagian tradisi Tionghoa pada moment tertentu.
Sumber data : https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia