Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Secara umum hubungan sosial antara Pribumi dengan Kelompok Etnis Tionghoa di Indonesia memperlihatkan perkembangan yang positif, khususnya setelah peristiwa Mei Kelabu 1998.
Integrasi dan asimilasi berkembang secara sejajar. Kesadaran orang Tionghoa sebagai satu kelompok etnik yang khas, yang berbeda dari etnik lain, makin terlihat dalam perilaku sehari-hari.
Gejala ini adalah tanda-tanda dari proses integrasi. Sebaliknya perkawinan campuran Pribumi dengan Non Pribumi, dalam pengamatan umum, makin berkembang.
Hambatan-hambatan kultural dari orang tua yang beraliran tradisional terhadap perkawinan seperti ini makin lemah. Gejala ini adalah tanda-tanda dari proses asimilasi.
Masing-masing pihak, baik Pribumi dan Kelompok Etnis Tionghoa mulai berpikir kembali tentang kedudukan masing-masing di negara Indonesia ini. Kedua pihak pun menilai ulang praduga-praduga (prejudice) yang selama ini berkembang dalam diri masing-masing.
Dalam memandang dan menilai hubungan sosial Pribumi dengan Non-Pribumi, orang Indonesia secara umum terasa lebih dewasa dan rasional. Makin terlihat sikap saling menghargai. Setelah pemerintahan Gus Dur (tahun 2000an), penghargaan pemerintah dan masyarakat atas kultur budaya Tionghoa kembali baik.
Olahraga permainan Barongsai sudah kembali diperbolehkan, bahkan kini disertai oleh Non-Pribumi dan Pribumi sebagai pelakunya. Agama Konghucu sudah diakui sebagai sebuah agama resmi di Indonesia. Sebaliknya, isu kronisme antara Penguasa dengan pengusaha Tionghoa sudah tidak terdengar lagi.
Sikap angkuh Kelompok Etnis Tionghoa terhadap Pribumi, sebagai peninggalan zaman kolonial, pun sudah semakin menghilang.
Meskipun tidak ada larangan bagi Kelompok Etnis Tionghoa untuk berbicara dalam bahasa mandarin dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam kenyataan kita jarang menjumpai Kelompok Etnis Tionghoa Indonesia yang berbicara dalam bahasa mandarin di tempat umum.
Di samping tidak ada lagi sekolah-sekolah khusus Tionghoa, tempat bahasa ini diajarkan pada zaman sebelum G30S 1965, hal ini mungkin juga terjadi karena penghargaan Kelompok Etnis Tionghoa terhadap masyarakat dan kultur budaya Indonesia sudah lebih baik.