Last Updated on 16 September 2021 by Herman Tan Manado
Manchuria (Hanzi : 滿州, pinyin : Mǎn zhōu) adalah sebuah wilayah kuno di sebelah timur laut Tiongkok dekat perbatasan dengan Korea Utara dan Rusia. Manchuria sekarang ini meliputi provinsi-provinsi Republik Rakyat Tiongkok seperti Liaoning, Jilin dan Heilongjiang.
Populasinya sekitar 10 juta, dan mayoritas berlokasi di Tiongkok bagian utara. Suku Manchu memiliki sejarah panjang lebih dari 2.000 tahun. Kebanyakan saat ini bertempat tinggal di sekitar Liaoning.
Orang Manchu termasuk dalam golongan etnis Tungusic dan berasal dari Manchuria, sekarang ada di sekitar timur laut Tiongkok. Orang Manchu berkuasa di Tiongkok kurang lebih sekitar 300 tahun. Dengan runtuhnya Dinasti Ming di tahun 1644, Dinasti Qing mulai berkuasa di dataran Tiongkok.
Cikal bakal Dinasti Qing sudah dimulai jauh sebelum tahun 1644. Di tahun 1616 seorang pemimpin Manchu bernama Nurhaci (1559-1626) membelot dari Dinasti Ming dan membangun Dinasti Jin (1115-1234).
Nurhaci terus memupuk kekuatan, menyatukan bangsa Manchu yang nomaden dan kemudian menaklukkan Mukden (sekarang disebut Shenyang).
Pada tahun 1636, anak laki-laki Nurhaci yang bernama Huang Taiji mengoordinasikan bangsa Manchu, sekelompok orang Han yang tidak puas dengan bobroknya Dinasti Ming, dan juga kelompok orang Mongol, kemudian mengganti nama Dinasti Jin menjadi Dinasti Qing dan seterusnya secara resmi menjadi nama dinasti terakhir yang berkuasa di Tiongkok.
Setelah Kaisar terakhir Dinasti Ming yang bernama Chongzhen bunuh diri; Beijing kemudian menjadi ibukota yang baru dataran Tiongkok dari yang sebelumnya berada di Nanjiing.
Di masa-masa awal kekuasaannya, bahasa Manchu secara luas dipergunakan dalam pemerintahan dan keseharian. Tapi secara pelahan tapi pasti, bahasa Manchu mulai menghilang dan digantikan dengan bahasa Mandarin yang menjadi bahasa percakapan sehari-hari.
Bahasa Manchu hanya dipergunakan di dalam strata tinggi pemerintahan saja. Sekarang bahasa Manchu hampir punah dan hanya segelintir kecil orang yang masih sanggup berbicara dan menulis dalam bahasa Manchu. Bahasa lisan hanya dipergunakan oleh para orang usia lanjut di pedalaman timur laut Tiongkok.
Dari sekitar 10 juta orang penduduk Manchu saat ini, diperkirakan hanya sekitar 100 orang saja yang masih bisa bercakap-cakap dalam bahasa Manchu, dan hanya sekitar 20-60 orang saja yang masih bisa menulis dan membaca aksara Manchu (berdasarkan data penelitian tahun 2007).
Sebelum kemudian dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah setempat kembali menggalakkan pembelajaran bahasa Manchu dalam lingkup pendidikan.
Bahasa Manchu termasuk dalam kelompok Tungusic dalam grup lebih besar rumpun bahasa Altaic. Di daerah Xinjiang ada sekitar 10.000 orang yang dikenal sebagai kelompok Sibe atau Xibo yang bahasanya mirip dengan bahasa Manchu.
Dinasti Qing mencapai puncak kejayaannya di bawah 3 kaisar yang berturutan memerintah Kekaisaran Tiongkok pada waktu itu. Dimulai dengan rintisan Kaisar Kangxi, kemudian berlanjut ke Kaisar Yongzheng, dan kemudian Kaisar Qianlong.
Secara ilmiah, jejak langkah ke 3 kaisar tercatat lengkap dalam sejarah. Namun demikian, di dalam dunia sastra silat serial, ke 3 kaisar ini juga mencatatkan namanya.
Qianlong menjadi pelakon utama bersama tokoh rekaan novelis Jin Yong yaitu Chen Jia Luo dalam kisah ternama yang sudah difilmkan berkali-kali, Shu Jian En Chou Lu (Pedang dan Kitab Suci).
Satu kisah apik antara kedua tokoh utama tsb, diselingi roman, kesemuanya dikemas dengan latar belakang sejarah yang apik. Asal usul Provinsi Xinjiang dikisahkan dengan indah di sini. Kehidupan kaum Muslim digambarkan dengan ciamik di karya yang satu ini.
Sementara itu Kaisar Yongzheng dikisahkan sebagai tokoh jahat yang berseteru dengan kelompok pejuang yang ingin mengembalikan Tiongkok ke pangkuan orang Han. Dikisahkan dengan apik oleh Liang Yu Sheng, dalam karyanya Jiang Hu San Nu Xia (Tiga Dara Pendekar).
Dengan tokoh utama si kembar Pang Ing dan Pang Lin serta Lu Si Nio yang berhasil membunuh Kaisar Yongzheng setelah pertarungan sengit di Kota Raja. Dalam sejarah memang ada kontroversi apakah Yongzheng meninggal wajar atau dibunuh.
Peninggalan dari jaman Dinasti Qing termasuk yang paling banyak mewarnai Tiongkok, bahkan dunia, sampai saat ini. Karya ilmiah dalam matematika, ilmu perbintangan, astronomi, mesiu, dsb. Karya sastra yang melegenda selamanya adalah A Dream of Red Mansions (Hong Lou Meng) yang ditulis di abad 18 oleh Cao Xueqin.
Yang paling mencolok adalah tata busana wanita yang sampai sekarang masih saja dipakai oleh banyak wanita modern, baik di dunia timur ataupun dunia barat. Baju cheongsam atau Mǎn zhōu atau shanghai dress.
Model baju ini mendunia dan menembus lintas jaman sampai sekarang. Dikenakan oleh para wanita di berbagai negeri dan dalam berbagai kesempatan.
Kalau warisan tata busana untuk wanita bermetamorfosis sampai zaman modern, tidak demikian dengan tata busana dan tata rias pria zaman itu. Sangat gampang dikenali dan diingat, penampilan pria di masa itu adalah dengan kucir panjang dan bagian depan kepala dicukur klimis.
Ini dimaksudkan untuk menghormati kuda yang merupakan teman sejati Suku Manchu. Contoh model yang paling gampang diingat adalah penampilan Jet Li sebagai Wong Fei Hung di film Once Upon A Time in China.
Dengan tuntutan zaman dan kondisi, membuat Dinasti Qing menyerah kepada waktu dan menjadikannya sebagai sebuah kehormatan menjadi dinasti terakhir kekaisaran Tiongkok. Imperialisme Barat yang tidak memandang bulu, mengakibatkan terjadinya Perang Boxer dan Perang Candu mendera Tiongkok di penghujung Dinasti Qing.
Dengan kekalahan Tiongkok dari Sekutu, maka “dibagilah” Tiongkok ibarat sebuah kue kepada negara-negara sekutu yang menang pada saat itu. Kepingan terakhir yang kembali adalah Macau (ex.Portugal) pada tahun 1999 sesaat setelah Hong Kong (ex.Inggris) pada tahun 1997 .
Peninggalan Dinasti Qing untuk Tiongkok modern sekarang sungguh berarti. Banyak sekali fondasi tata negara, peraturan, ilmu pengetahuan, berasal dari warisan Dinasti Qing ini.
Sebagai salah satu suku minoritas di Tiongkok dan berkuasa sebagai dinasti terakhir selama 300 tahun, warisan asimilasi budaya dari Suku Manchu ini sungguh bermakna.
Secara politis, Dinasti Qing memelihara kelanggengan kekuasaan dengan melakukan asimilasi secara total. Para istri kaisar Dinasti Qing kebanyakan berasal dari orang Mongol dan orang Han.
Dengan demikian, legitimasi garis keturunan diharapkan akan langgeng. Bahkan di dalam cerita silat Pedang & Kitab Suci, Kaisar Kangxi ‘dicurigai’ bukan dari keturunan murni Manchu dan masih saudara kandung dari Chen Jia Luo tokoh baik dalam cerita itu, yang juga tokoh pemberontak kekaisaran Qing.
Jadi, ada beberapa suku yg pernah berkuasa di Tiongkok…
Suku Mongol dan Manchuria adalah suku diluar Suku Asli China.
Suku Asli China yg pernah berkuasa tidak pernah berekspansi politik keluar wilayah China.
Suku non China, Mongol dan Manchuria lah yg berekspansi…
Tolong koreksi tulisan saya diatas…
Katanya orang Tionghoa Benteng, terutama marga Wangsa Mulya masih keturunan suku Manchu, bahkan ada yang dipercaya keturunan Kaisar Qianlong. Apa ini penyebab mengapa Tionghoa Benteng terasa “beda” dengan suku Tionghoa di Indonesia pada umumnya? Apalagi pakaian tradisional mereka, berikut upacara pernikahan tradisional (Ciu Tao) mereka sangat kental aroma Manchunya, terutama dengan caping merahnya.
Namun terlepas dari Tionghoa Benteng, sepertinya legacy suku Manchu dan Dynasty Qing cukup masih terasa di masyarakat Tionghoa Indonesia. Selain Cheongsam/Changsan/Qipao yang masih lebih populer ketimbang Hanfu (termasuk baju Koko orang Islampun juga pengaruh dari Changsan) ataupun upacara Ciu Tao Tionghoa Benteng, perhatikan tiap perayaan Imlek pasti sering muncul aksesori berupa topi bulat ala Manchu, lengkap dengan kepang-kepangan, seolah rekonstruksi gaya rambut Tauchang/Sonchoho dari orang Manchu. Ini masih sering dikenakan petugas di beberapa mall setiap Imlek seolah biar terlihat Tionghoa. Lalu grafiti Imlek seperti gambar anak berbusana Changsan warna merah yang sering ada saat Imlekpun juga seringkali digambarkan bertopi bulat dan bergaya rambut Tauchang/Sonchoho.
Iya betul. Dulu sy pernah menghadiri upacara pernikahan teman dari suku Cina di Tangerang, rasanya seperti sedang menonton film klasik dari jaman dinasti Qing.
Saya setuju dengan sdr.Chen Bing, jaman itu ada istilah pilih kepala atau rambut yang menyebabkan banyak nya pembantaian yang di lakukan oleh pemerintahan Qing saat awal memasuki China,lalu sedikit koreksi,dalam cerita pedang dan kitab suci kaisar yang dimaksud penulis mungkin kaisar Qian Long dan bukan kaisar Kang Xi.
Terima kasih
Terima kasih koreksinya Suryadi Zhan,
Sudah kita perbaiki. Kaisar Kangxi ternyata muncul pada novel Jin Yong yang satunya; The Deer and the Cauldron (Wei Xiaobao).
Sebagai tambahan bisa ambil contoh juga tentang tulisan asli Manchuria lewat budaya Mandailing di Indonesia. Kebetulan suku kami juga merupakan keturunan ataupun peranakan asli suku Manchuria (Xinjiang, Tibet).
Terima kasih karena sudah membagikan sejarah dari suku Manchuria yang pernah ada di Tiongkok. Semoga ini manambah pengetahuan kita dan mempererat hubungan kemanusiaan dimasa depan. Terima kasih banyak.
Saya keturunan mandailing, dan sangat tertarik dengan sejarah dan budaya China. Tapi saya baru tau bahwa mandailing keturunan asli suku manchuria. Jika tidak keberatan, bisa saya minta referensi tentang sejarah mandailing sebgaai keturunan manchuria? Saya akan sangat senang mempelajarinya. Terimakasih 🙂
Saya sangat tidak bangga sama dinasti Qing, artikel ini lupa menuliskan bahwa pakaian manchuria dan gaya rambut kuncir itu dipaksakan ke bangsa Han, yang melawan akan dihukum mati, penghapusan budaya Han itu menimbulkan korban puluhan juta orang.
Budaya-budaya dan tradisi tionghoa yang indah dari dinasti-dinasti sebelumnya banyak yang terhapus di dinasti ini.
Misalnya, baju Hanfu, sekarang mana ada orang tionghoa indonesia yang tau Hanfu itu apa?
Yang paling miris adalah budaya-budaya tionghoa yang diimpor sama jepang dan korea sekarang malah dianggap sebagai budaya asli mereka sedangkan budaya manchuria dianggap budaya tionghoa.
Hong Taiji, Kangxi, dan Qianlong merupakan Kaisar-Kaisar Dinasti Qing yang cakap dalam sejarah. Harus diakui Dinasti Qing memang memaksa masyarakat untuk mengikuti adat busana dan gaya rambut Manchu. Namun Dinasti Qing sendiri juga membaurkan diri mereka dengan adat Han, memasukkan pejabat-pejabat Han dalam pemerintahan, hingga mengadopsi bahasa Mandarin yang membuat bahasa Manchu kini terancam punah, bahkan Kaisar-Kaisar Qing periode akhir sudah tak bisa lagi berbahasa Manchu.