Last Updated on 28 February 2023 by Herman Tan Manado

Dari orang-orang suku Hua perantauan yang tersebar di seluruh penjuru dunia, tidak banyak yang berasal dari Beijing. Tetapi, sejak menjadi ibukota Tiongkok, kota Beijing telah memikat sejumlah besar orang dari luar untuk masuk ke dalam pangkuannya.

Pada musim panas  tahun 1949, menjelang beridirinya RRT, orang Tiongkok perantauan yang pulang (seterusnya disebut guiqiao*) yang ada di Beijing berjumlah beberapa ratus jiwa.

Pada tanggal 3 Oktober 1950, untuk pertama kalinya beridiri organisasi orang-orang guijiao dan kerabatnya di tingkat propinsi, dengan nama “Asosiasi Kekerabatan Orang-orang Guijiao Beijing”.

Pada masa antara tahun 1950-1960 an, salah satu tugas utama asosiasi ini adalah membantu pemerintah menyambut dan menempatkan orang-orang guiqiao untuk ikut berpartisipasi membangun sosialisme di tanah leluhur. Namun karena kurangnya data, maka jumlah orang-orang guijiao pada saat itu tidak diketahui dengan jelas.

Meski kebijaksanaan Partai terhadap guiqiao dan kerabatnya mendapatkan dukungan luas, orang-orang berhaluan kiri tak henti-hentinya mengacau kebijakan kebijakan partai mengenai urusan huaqiao*.

Terlebih lagi pada masa Revolusi Kebudayaan, orang-orang guiqiao tidak mendapatkan perlakuan yang adil; hak dan kepentingannya dirampas dan tidak sedikit orang-orang  guijiao ini kembali pergi ke luar negeri atau ke Hongkong yang pada saat itu lebih terbuka kepada para migran ini.

Setelah memasuki era 1970-an,  departemen terkait mengeluarkan beberapa kebijakan yang relatif menguntungkan orang-orang guijiao dan kerabatnya pada saat itu, yaitu memberikan kelonggaran izin kepada orang-orang guijiao dan kerabatnya yang ingin keluar negeri ataupun ke luar wilayah.

Maka jumlah orang yang ke luar negeri atau wilayah mengalami peningkatan yang cukup tajam.

Setelah Sidang Pleno Ketiga, Kongres ke-XI (1978), kebijakan partai mengenai huaqiao dan guiqiao dapat terlaksana. Guijiao dan kerabatnya bebas keluar mausk Tiongkok, bahkan sejumlah guijiao dan kerabatnya pindah ke luar negeri.

Sejak tahun 1972 sampai akhir tahun 1980, guijiao dan kerabatnya yang keluar negeri mencapai 60% dari total jumlah guijiao dan kerabatnya yang ada di Beijing.

Maka pertanyaannya, bagaimana guijiao yang di Beijing menghadapi lingkungan sosial baru yang jauh berbeda dengan latar belakang budaya mereka? Sejauh mana kebudayaan mereka telah berubah dan sejauh mana tetap berlanjut?

Puluhan tahun setelah mereka pulang, setelah melewati pengalaman hidup yang penuh gejolak, bagaimana kehidupan mereka sekarang? Bagaimana pula mereka mengurus diri mereka dalam beberapa puluh tahun ini dan usaha mereka? Bagaimana mereka dulu mengambil keputusan untuk pulang?

Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada bulan Juni-Juli 1998, seorang peneliti yang bernama Huang Jing* yang bekerja pada Lembaga Penelitian Sejarah Orang Hua di Perantauan Beijing.

Dia mengadakan penelitian mengenai permasalahan penyesuaian guijiao terhadap budaya di Tiongkok daratan dan mengadakan suatu survei berupa kuisioner terhadap guijiao yang tinggal di daerah Beijing.

Kuisioner ini dibagikan kepada 9 ikatan alumni guijuao dari Indonesia; diantaranya adalah Ikatan Alumni Bazhong, Ikatan Alumni Huazhong, Ikatan Alumni Surabaya, Ikatan Alumni Bandung, Ikatan Alumni Medan, Ikatan Alumni Palembang, Ikatan Alumni Pontianak, Ikatan Alumni Bangka, dan Ikatan Alumni Lombok.

Seluruh kuisioner berjumlah 1020 lembar, sedangkan yang diterima kembali hanya 359 lembar (hanya 35,2% dari total yang dibagikan).

Isi kuisioner mencakup karateristik penduduk yang di survei, kondisi sebelum kembali ke Tiongkok, situasi pada masa-masa awal pulang ke Tiongkok, situasi penyesuaian terhadap budaya Tiongkok, dan kondisi hidup sampai masalah pada identitas diri. Survei hanya melibatkan guijiao yang berada di daerah Beijing.

Berikut beberapa video cerita dari Guijiao (warga Tionghoa Indonesia yang kembali pulang ke Tiongkok)

Karateristik Penduduk Yang Disurvei

Jumlah responden : 359; Laki-laki : 181 orang (50,4%); Perempuan 178 orang (49,6%)
Usia paling tua : 87 tahun; Usia paling muda : 38 tahun
Kelompok umur terbanyak : 60-69 tahun (62,7%); 50-59 tahun (30,4%); >70 tahun (5,3%); < 50 tahun 1,6%)

Tingkat pendidikan : Lulusan S1/sederajat (85,5%); SMA/sederajat (13,1%); SMP/sederajat (1,4%)
Asal daerah : Jawa (187 orang); Sumatera (64 orang); Pulau lain (81 orang); Tiongkok (25 orang); Negara lain (2 orang)
Ancestry/asal leluhur : Propinsi Guangdong (177 orang); Propinsi Fujian (158 orang); Propinsi lain (24 orang)
Bahasa : Khek (121 orang); Minnan (96 orang); Kanton (46 orang)

Kondisi Sebelum Pulang ke Tiongkok Daratan

Latar belakang keluarga : Dari semua responden, pekerjaan ayah adalah pengusaha industri dan perdagangan; pemilik toko kelontong dan pedagang kecil, pegawai pemerintahan dan swasta, guru, buruh, dokter, petani, wartawan, staf, dll. Pekerjaan ibu adalah IRT, guru, pemilik toko kelontong/toko kecil, petani, perawat, buruh, dll. Keadaan ekonomi terlihat pada tabel berikut :

Tabel 1 : Kondisi ekonomi di kalangan Huaqiao

• Makmur/sejahtera : 7,8%
• Menengah : 53,8%
• Menengah ke bawah : 38,4%

Kondisi generasi orang-orang huaqiao adalah sebagai berikut : Generasi kedua dan ketiga (85%); Generasi keempat dan kelima (12%); Generasi pertama (3%)

Tabel 2  : Kurun waktu kepulangan

• Tahun 1940-1949 : 10 orang
• Tahun 1950-1959 : 253 orang
• Tahun 1960-1969 : 95 orang
• Tahun 1980 : 1 orang

Masa paling awal kepulangan responden adalah bulan Juni 1946, paling akhir adalah Agustus 1969, dan seorang Tiongkok perantauan asal Indonesia yang pulang ke Tiongkok dari Amerika tahun 1980. Dengan kata lain, mereka sudah berada di Tiongkok daratan selama puluhan tahun.

Sementara usia responden ketika pulang ke Tiongkok mayoritas pemuda/pemudi yang berusia 17-22 tahun (250 orang). Kelompok umur ini merupakan fase terbentuknya pandangan hidup dan nilai sehingga mudah menerima  pemikiran baru, mendambakan revolusi dan merupakan kelompok migran yang aktif.

Bagaimana dengan identitas dan pekerjaan responden ini sebelum pulang ke Tiongkok? Mayoritas adalah pelajar (175 orang atau 76,6%) dan guru (65 orang atau 17,8%).

Pelajar dan guru itu memiliki pemikiran yang aktif serta jaringan komunikasi yang luas. Kedua hal ini agaknya mempengaruhi mereka ketika memutuskan untuk pulang ke Tiongkok daratan.

Tabel 3 : Tingkat pemahaman responden terhadap negara asal sebelum pulang

• Paham : 17,3%
• Agak paham : 57,4%
• Tidak terlalu paham : 7,9%
• Tidak paham : 12%

Mengenai pertanyaan tingkat pemahaman responden terhadap tanah leluhur, responden meminta 4 tingkatan untuk menggambarkan tingkatan pemahaman dan dinyatakan dalam tabel diatas. Dalam tabel terlihat bahwa hanya sebesar 17,3% saja responden yang paham betul tentang kondisi tanah leluhur mereka.

Artinya 77,3% responden tidak terlalu paham bahkan tidak paham sama sekali. Berikut urutan media pemahaman mereka akan tanah leluhur serta orang-orang yang paling berpengaruh bagi mereka ketika memutuskan untuk pulang ke tanah leluhur :

Tabel 4 : Orang-orang yang paling berpengaruh ketika memutuskan untuk pulang ke tanah leluhur (Jawaban bisa lebih dari 1)

• Guru : 144 orang
• Teman : 139 orang
• Orang tua : 107 orang
• Saudara : 83 orang
• Lainnya : 40 orang

Tabel 5 : Hal-hal yang sangat mempengaruhi anda untuk pulang ke tanah leluhur

• Berdirinya Cina (Tiongkok) yang baru : 299 orang
• Terusir dari negara tempat tinggal : 44 orang
• Mengikuti orang tua sejak masih kecil : 18 orang
• Lainnya : 49 orang

Selain jawaban diatas, sering disebutkan juga perhimpunan sekolah dan surat kabar huaqiao juga termasuk yang mempengaruhi mereka untuk pulang ke tanah leluhur. Nampak bahwa sekolah, perhimpunan dan surat kabar tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam hal pengaruhnya terhadap orang Hua di luar negeri.

Lalu faktor-faktor apa saja yang mendorong mereka untuk memutuskan pulang ke tanah leluhur mereka pada saat itu?

Tabel 6 : Alasan pulang ke tanah leluhur

• Belajar : 321 orang
• Berpartisipasi dalam membangun Cina (Tiongkok) yang baru : 216 orang
• Ikut revolusi : 34 orang
• Ikut keluarga : 21 orang
• Kembali ke kampung halaman di hari tua : 8 orang
• Karena paksaan pemerintah : 1 orang
• Lain-lain : 35 orang

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa menuntut ilmu (pulang ke tanah leluhur untuk melanjutkan studi) dan berpartisipasi dalam pembangunan Cina baru merupakan dua faktor utama kepulangan ke tanah leluhur.

Mengenai bagaimana sikap keluarga terhadap orang yang pulang ke tanah leluhur; umumnya anggota keluarga responden menunjukkan sikap positif atau mendukung tindakan responden untuk pulang ke tanah leluhur (74,4%), sementara yang menentang sebesar 18,1% dan sisanya sebanyak 7,5% menunjukkan tingkatan kekhawatiran yang berbeda-beda.

Mereka pulang dengan berbagai cara; sebanyak 63% pulang ke Tiongkok daratan bersama dengan teman sekolahnya, pulang sendiri sebanyak 16,7%, pulang bersama keluarga dan kerabat sebanyak 12,5% dan sisanya sebanyak 7,8% termasuk cara lainnya.

Kondisi Pada Masa-Masa Awal Kepulangan ke Tanah Leluhur

Dalam hal ini dapat kita ketahui bahwa pada kenyataannya, 83% responden mengatakan bahwa pengetahuan mereka tentang tanag leluhur cukup jauh berbeda dari kenyataan.

Karena hampir 83% responden sebenarnya tidak terlal paham akan situasi tanah leluhurnya, dengan kata lain, orang-orang guiqiao ini tidak cukup persiapan dalam memikirkan hal ini sebelum mereka pulang ke tanah leluhur.

Akibatnya, sesampainya mereka di Tiongkok daratan, mereka harus melewati proses penyesuaian.

Seperti telah diuraikan sebelumya, umur responden ketika pulang ke tanah leluhur sebagian besar tergolong kelompok umur pelajar. Maksud kepulangan mereka tentu saja untuk melanjutkan studi dan meneruskan sekolah mereka.

Oleh karena itu, masuk sekolah untuk meneruskan studi menjadi tujuan utama sebagian responden, yaitu 96,1% dari seluruh responden. Diantaranya sebanyak 47% dari responden telah masuk kursus untuk orang Tiongkok perantauan terlebih dahulu.

Tabel 7 : Situasi paling awal setelah pulang ke tanah leluhur

• Belajar : 96,1% (dengan mengikuti kursus2, masuk sekolah umum atau universitas)
• Bekerja : 2,8%% (menjadi kader, guru, teknisi, proyek, buruh, artis, tentara)
• Pengangguran : 0,6% (tidak bekerja apa-apa)

Responden ditempatkan di beberapa tempat. Paling awal, 88,9% diantaranya ditempatkan di kota-kota besar, 10% ditempatkan di kota-kota menengah dan kecil, sedangkan di pedesaan hanya 1,1%. Tanggapan mereka terhadap penempatan ini adalah 69,4% menyatakan puas; 27,3% menyatakan biasa saja; dan 2,8% menyatakan tidak puas.

Tabel 8 : Pekerjaan pertama responden setelah kepulangan mereka ke tanah leluhur

• Guru, ilmuan, teknisi proyek : 67,4%
• Dokter, perawat dan petugas medis lain : 5,6%
• Kader : 13,6%
• Buruh dan karyawan : 8,4%
• Petani : 2,2%
• Seniman dan pendidik : 1,4%
• Masuk tentara : 0,84%
• Lain-lain : 0,56%

Mereka  yang merasa puas akan pekerjaan yang mereka geluti sebesar 52,6%, yang merasa biasa saja sebesar 41,8% dan yang merasa tidak puas sebesar 5,6%.

Kegiatan Sosial Pada Masyarakat

Tabel 9 : Siapa teman-teman akrab Anda

• Mayoritas sesama/orang guijiao : 18,1%
• Mayoritas penduduk setempat : 28,1%
• Jumlah keduanya relatif sama : 50,4%
• Tidak mengisi : 3,1%

Tabel 10 : Teman yang paling akrab

• Sesama guiqiao : 56,3%
• Penduduk setempat : 25,9%
• Keduanya : 10,3%
• Tidak mengisi : 7,5%

Dari tabel 9 dan tabel 10 diatas kita dapat melihat bahwa perpindahan ini masih meninggalkan bekas dalam kehidupan mereka.

Walaupun orang-orang guijiao telah masuk suatu lingkungan yang baru, telah berusaha keras untuk mencari teman baru di lingkungan baru tersebut, namun dalam lubuk hati responden terdapat satu perasaan memiliki yang sama.

Lebih dari separuh memilih teman-teman akrab dari sesama guijiao, sedangkan yang memilih penduduk setempat hanya 1/4 dari responden. Dari hal ini terlihat bahwa di antara guijiao tersebut terdapat perasaan simpati serta perasaan akrab yang amat kuat.

Tabel 11 : Perlakuan diskriminatif penduduk setempat terhadap para Guijiao

• Mengalami perlakuan diskriminatif : 31,5%
• Tidak mengalami perlakuan diskriminatif : 68,5%

Sebanyak 31,5% responden mengalami paksaan politik, disakiti, diremehkan dan perlakuakn tidak adil lainnya selama Revolusi Kebudayaan. Sisanya sebesar 68,5% menyatakan tidak kena pengaruh terlalu besar.

Perlakuan tidak adil yang dirasakan terlihat dalam banyak hal, seperti misalnya tidak dipercaya untuk menangani tugas penting dalam pekerjaan, tidak dapat masuk partai dan tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan politik, tidak bisa naik gaji, tidak bisa masuk tentara, tidak boleh masuk perguruan tinggi, dan lain-lain.

Tabel 12 : Bagaimana pendapat Anda mengenai kebijakan pemerintah terhadap orang Guijiao sejak reformasi dan keterbukaan?

• Membela hak dan kepentingan orang-orang guijiao : 146 orang
• Tidak bermanfaat bagi kepentingan orang0orang guijiao : 6 orang
• Tidak bisa terlalu diharapkan : 159 orang
• Tidak paham : 21 orang
• Lain-lain : 23 orang
• Tidak mengisi : 4 orang

Tabel 13 : Menurut Anda bagaimana seharusnya Negara Cina (Tiongkok) menilai orang-orang Guijiao?

• Memberikan pengakuan yang cukup pasti terhadap sumbangan guijiao : 82 orang
• Memberikan pengakuan yang pasti terhadap sumbangan guijiao, tetapi tidak cukup : 199 orang
• Menilai agak rendah menilai : 27 orang
• Tidak tahu : 27 orang
• Lain-lain : 50 orang
• Tidak mengisi : 1 orang

Dari jawaban-jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas, kita dapat meilhat bahwa kesadaran diri responden muncul dalam kehidupan keluarga dan hubungan dengan teman, dan yang kedua, ketika mendapatkan perlakuan khusus dan diremehkan. Kedua hal ini nampaknya merupakan dua fenomena yang ekstrim.

Pada kenyataannya ada satu alasan yang sama, yaitu jati diri sebagai guiqiao yang menyebabkan adanya perlakuan seperti ini.

Tabel 14 : Jika Anda dapat mengganti pilihan Anda, Anda akan memilih apa?

• Tetap pulang ke tanah leluhur : 58,5%
• Tidak pulang : 29,2%
• Lain-lain : 3,9%
• Tidak menjawab : 8,4%

Sebagian besar (58,5%) menyatakan tidak akan mengganti pilihannya untuk pulang ke tanah leluhur seandainya ada kesempatan untuk memilih lagi. Angka persentase yang disebut terakhir ini memang lebih rendah daripada yang disebut permulaan.

Hal ini menjelaskan bahwa di antara responden yang tidak menyesal untuk pulang ke tanah leluhurnya, ada sebagian yang merasa “apa boleh buat”. Seandainya benar-benar ada hak untuk memilih lagi, mungkin mereka akan mempunyai pertimbangan lain.

Selain itu, masih ada satu hal lagi yang patut diperhatikan, yaitu 12,3% responden yang tidak memberikan jawaban langsung atau tidak menjawab kedua pertanyaan ini.

Sesungguhnya, tidak menjawab juga merupakan jawaban, dan hal itu mencerminkan suasana hati yang sedang kalut. Orang-orang ini, menurut penulis, dapat dikatakan mengambil sikap menyangkal, jadi seperti jawaban “sebuah penyesalan”.

Dalam menghadapi pertanyaan itu, mereka sulit untuk tegas. Ini menandakan adanya banyak yang diragukan ketika ia mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya.

Dari kedua angka ini, kita dapat melihat perasaan mereka yang sesungguhnya, dan sekaligus juga mengamati bagaimana orang-orang guijiao itu mengalami keterbatasan dalam penyesuaian diri maupun penyesuaian kebudayaan ketika mereka di Tiongkok daratan.

Kesimpulan Yang Didapat Dari Para Guijiao

Melalui survei terhadap orang-orang guijiao dan tinggal di daerah Beijing ini, kita menemukan beberapa ciri khas penyesuaian  kebudayaan orang-orang guijiao dari Indonesia. Pemuda merupakan kekuatan utama dari migran ini, namun motivasi mereka bukanlah faktor ekonomi seperti yang sering diduga orang.

Dalam hal ini, perubahan zaman dan faktor sosiallah yang menempati urutan pertama dan berdirinya yang Cina baru merupakan faktor utama yang mendorong mereka pulang ke tanah leluhur.

Selain itu, perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang bermigrasi pada dasarnya seimbang dan latar belakang pendidikan cukup baik. Jika dibandingkan, orang-orang guijiao ini lebih sulit untuk menyesuaikan lingkungan sosial dan budaya setempat daripada menyesuaikan diri terhadap kondisi alam.

Meskipun mereka telah berusaha keras menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial yang baru, namun mereka tetap saja memiliki ciri budaya yang mereka miliki sebelumnya, seperti tetap menggunakan bahasa daerah di tengah keluarga, perasaan satu identitas dengan sesama guijiao, aktif mengikuti kegiatan perhimpunan orang-orang guijiao dan lain-lain.

Meskipun konflik orang-orang guijiao dengan lingkungan sosial yang baru nampak tidak terlalu tajam, namun dari sisi self consciousness (kesadaran diri) orang-orang guijiao ini dapat melihat bagaimana penilaian negara dan masyarakat terhadap mereka;

dapat terlihat masih adanya konflik dan penolakan mereka dengan masyarakat yang baru. Masa depan komunitas guijiao di daratan Tiongkok tidak terlalu optimis.

Hal ini nampak pada usia komunitas itu sendiri dan cepatnya adaptasi setempat pada anak-anak guijiao ini. Survei ini memberi kita inspirasi : Mengembangkan penelitian terhadap masalah identitas mereka. Kita dapat membagi orang-orang guijiao dan masalah identitas mereka.

Kita dapat membagi orang-orang guijiao ke Tiongkok daratan menjadi 2 golongan; pertama yaitu orang-orang yang memilih “tidak pulang ke tanah leluhur” pada pertanyaan “jika dapat memperbarui pilihan” dan yang kedua adalah orang-orang yang memilih “pulang ke tanah leluhur”.

Hasil yang berbeda dalam memilih jawaban untuk pertanyaan ini, bukankah menunjukkan perbedaan dalam tingkatan penyesuaian budaya?

Apa yang menyebabkan perbedan ini? Bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat orang-orang guijiao? Sampai tahap mana perbedaan ini? Lantas, apakah itu dapat membentuk migrasi huaqiao yang kedua kalinya? Jabawan atas pertanyaan-pertanyaan ini masih harus menunggu penelitian yang lebih lanjut.

Keterangan* :

1. Huang Jing adalah peneliti pada Lembaga Penelitian Sejarah Orang hua di Perantauan Beijing. Penerjemah Nuraini Jafar, mahasiswa tingkat IV (1998-1999) Program Studi Cina, Fakultas Sastra UI.

2. Istilah guiqiao (归侨) harus dibedakan dari huaqiao (华侨). Huaqiao adalah orang-orang Tiongkok yang lahir di Tiongkok atau di luar negeri, yang masih berada di luar negeri. Guijiao adalah orang-orang Tiongkok yang pulang dari merantau/perantauan dari luar negeri.

3. Sumber data pada tabel pada artikel ini seluruhnya merupakan hasil survei di Kota Beijing.

4. Keluarnya Peraturan Presiden No.10 tahun 1959 tentang larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing diluar ibukota daerah tingkat 1 & 2 serta kerasidenan. Namun pada prakteknya, PP No.10/1959 ini sasarannya hanya ditujukan kepada keturunan Tionghoa.

Apalagi kemudian terbit Peraturan daerah No.20/1959 yaitu tentang Peraturan Pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dengan RRT, yang ditetapkan berlaku mulai 20 Januari 1960-20 Januari 1962. Saat itulah terjadi tindakan “pengusiran” terhadap etnis Tionghoa dari daerah kecamatan dan Desa dengan dalih pelaksanaan PP No.10/1959.

Dalam situasi demikian, pemerintah RRT mengirimkan kapal penumpang ke Indonesia dengan tujuan “membantu Huaqiao” kembali ke Tiongkok. Namun baru 4 trip (±40.000 jiwa) yang terangkut, sisanya ±100.000 KK tidak sempat terangkut.

Dirangkum dari : Harga Yang Harus Dibayar; Sketsa Pergulatan Etnis CINA di Indonesia – bab 6 (Huang Jing)

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?