Last Updated on 23 July 2023 by Herman Tan Manado
Pada umumnya sebagian besar masyarakat Tionghoa dan juga para penganut kepercayaan Tionghoa tidak mengetahui secara jelas apa yang dimaksud dengan Ciamsi (籤詩; Qiān shī) atau Kiuciam (求籤; Qiúqiān).
Ciam, artinya adalah batang bambu yang digunakan untuk meramal. Kiu ciam adalah ‘memohon ciam’ dan ciamsi adalah kertas hasil ciuciam yang isinya berupa syair-syair.
Baik Ciamsi maupun Poapoe (擲筊; Zhì xiáo) berasal dari peramalan jaman dulu Tiongkok. Pada jaman dahulu, di Tiongkok terdapat 3 metode dan alat peramalan.
Pertama adalah metode mengamati langit dan perubahan alam maupun manusia. Kedua adalah dengan bahan-bahan yang berasal dari binatang¹; dan yang Ketiga dengan menggunakan bahan dari tumbuhan.
Poapoe awalnya adalah peramalan dengan menggunakan kerang, yang kemudian dilempar untuk mendapat jawaban ya, tidak, atau ragu-ragu ( terserah). Sedangkan ciamsi berasal dari metode yang menggunakan tumbuhan atau batang rumput².
Ilmu ramal yang pertama itu berkembang menjadi ilmu bentuk xiangshu (相術). Ciamsi dan Poapoe dipercaya berasal dari yijing, dan mengalami proses perubahan (penyesuaian) yang panjang.
Dari sekedar melempar dan memisahkan kemudian berkembang menjadi suatu metode peramalan seperti yang kita kenal sekarang ini.
Dengan kata lain, Poapoe maupun Ciamsi adalah penyederhanaan metode peramalan (卜卦; Bo guà). Poapoe dan Ciamsi ini selain ada di kelenteng-kelenteng Taoisme, juga ada di banyak vihara Buddha Mahayana Tiongkok dan berkembang di berbagai negara di Asia Timur.
A. Poapoe, Cara Bertanya Dengan Menggunakan 2 Bilah Kayu Berbentuk Hati
Poapoe (Zhì xiáo; 擲筊) adalah dialek Minnan, dimana sebenarnya dalam aksara mandarin adalah babei (跋貝) yang berarti memutar atau menarik kerang. Awalnya alat poapoe terbuat dari kerang, dan saat ini bahan yang dipakai adalah yang terbuat dari kuningan atau kayu, berbentuk menyerupai hati.
Dalam catatan 荊楚歲時記³ (Jīngchǔ suì shí jì), sudah mencatat setelah panen para petani menggunaan poapoe untuk meramalkan hasil panen tahun depan. Juga dalam 太平禦覽 (Tàipíng yù lǎn) yang ditulis pada jaman dinasti Song, sudah mencatat penggunaan poapoe.
Dengan ini, maka poapoe dipastikan sudah berkembang dan dipakai selama ribuan tahun. Selain digunakan untuk peramalan, poapoe juga digunakan untuk berkomunikasi dengan alam lain.
Jika melempar poapoe, maka akan terjadi beberapa kemungkinan. Probilitas itu berdasarkan konsep Yinyang dan He (和; harmonis) dalam falsafah Tiongkok.
A-1. Posisi Poapoe dan Maknanya :
1. Dua telungkup berarti Tidak disetujui.
2. Dua terlentang berarti Bisa ya atau bisa tidak. Tidak memberikan jawaban yang pasti.
3. Satu terlentang satu tertutup berarti Ya, pasti disetujui.
4. Salah satu atau dua-duanya berdiri (tanpa bersandar pada apapun) berarti akan terjadi hal yang mengejutkan (umumnya mujizat).
A-2. Cara Melakukan Poapoe :
1. Pakai pakaian yang sopan dan pantas karena Anda hendak menghadap Dewa-Dewi yang Anda hormati.
2. Sembahyang terlebih dahulu; lalu tenangkan diri selama beberapa menit sebelum bertanya.
3. Sebut nama diri, diikuti dengan maksud/pertanyaan yang jelas.
4. Beberapa orang mengasapi kayu poapoe di tempat pendupaan/hiolo sebelum digunakan. Tujuannya adalah sebagai purifikasi/penyucian, dan asap dupa dipercaya sebagai alat untuk menyampaikan keinginan.
A-3. Beberapa hal penting yang harus diingat atau hindari :
1. Mulut yang kotor saat mau bertanya, misalnya sehabis merokok. Jika merokok maka harus kumur terlebih dahulu.
2. Jangan memaksa jawaban yang sesuai dengan keinginan kita.
3. Saat memasuki area altar, jangan bercakap-cakap yang tidak perlu pada orang lain; fokus pada tujuan.
4. Jangan gunakan pwee yang terbuat dari plastik dan yang cacat.
5. Jangan meminta orang lain yang melemparkan (mewakili), kecuali berhalangan untuk datang sendiri, misalnya lumpuh total.
6. Tidak boleh lebih dari tiga kali poapoe untuk satu pertanyaan.
7. Jangan bertanya hal-hal yang tidak perlu atau tidak penting.
Catatan :
Poapoe sendiri tidak hanya digunakan untuk mendapat jawaban atas permasalahan dari Dewa-Dewi, tapi bisa juga digunakan sebagai alat “komunikasi” dengan alam lain.
Sebagian masyarakat Tionghoa masih menggunakan cara ini pada saat melakukan sembahyang leluhur; yakni misalnya menanyakan apakah proses sembahyang sudah boleh diakhiri atau belum.
Jangan gunakan kayu/pwee untuk komunikasi dengan alam leluhur, tapi gunakan koin uang. Hal ini terkait dengan konsep energi manusia yang mengandung unsur ‘yang’.
B. Ciamsi, Cara Bertanya Dengan Menggunakan Media Bilah Kayu
Ciamsi (籤詩; Qiān shī) tidak serta merta lahir begitu saja, tapi melalui proses yang amat panjang. Awal mulanya adalah metode Yizhan yang menggunakan batang-batang rumput.
Kemudian pada masa dinasti Qin Mugong, ada ramalan tentang nasib kerajaan Qin (秦讖; Qín chèn). Awal dinasti Han populer ramalan yang berdasarkan kitab-kitab klasik (讖緯; Chènwěi).
Menurut Li Zhonghua, wei itu meliputi hou (侯), tu (圖) dan chen (讖); dimana ‘hou’ membahas metode divination, ‘tu’ terkait ilmu perhitungan dan ‘chen’ terkait dengan nubuat.
Chen pada umumnya mengatas-namakan Dewata. Salah satu contoh chen yang dicatat dalam catatan sejarah agung Sima Qian (catatan Shiji) adalah ramalan Lu Sheng (盧生) yang isinya :“dinasti Qin akan hancur oleh Hu ( 亡秦者胡也; Wáng qín zhě hú yě)”.
Ramalan ini membuat Qin Shihuang menghabiskan sumber daya militer dan ekonomi untuk menghancurkan bangsa Xiongnu (匈奴), serta membangun tembok raksasa (yang saat ini masih dapat kita lihat di bagian utara Tiongkok) untuk mencegah invasinya.
Namun akhirnya dinasti Qin runtuh oleh kebodohan pewaris Qin Shihuang itu sendiri (anaknya; putra mahkota) yang bernama Hu Hai (胡亥).
Semua itu pada umumnya menggunakan syair, tapi ada juga yang menggunakan diagram maupun gambar. Salah satu yang terkenal adalah cara meramal dengan “gambar menggosok punggung” 推背圖 (Tuī bèi tú) yang ditulis oleh Yuan Tiangang (袁天罡) dan Li Chunfeng (李淳風) pada dinasti Tang.
Ramalan ini sampai sekarang masih beredar dan banyak yang percaya keakuratannya. Ramalan yang berbentuk syair lainnya yang terkenal adalah “Nyanyian memanggang kue” (燒餅歌; Shāobǐng gē) yang dibuat oleh Liu Bowen (劉伯溫) pada dinasti Ming.
Kedua ramalan itu adalah ramalan masa depan dunia dan Tiongkok, dan hingga kini masih memberikan pengaruh yang cukup mendalam.
Pada masa dinasti Han, Dongfang Shuo (東方朔) membuat satu kitab “metode catur sakti” (靈棋經; Líng qí jīng). Metode peramalan ini jauh lebih sederhana dibandingkan dengan metode yizhan.
Caranya adalah dengan menulis kata ‘atas’, ‘tengah’ dan ‘bawah’ (上, 中, 下) masing-masing 4 buah pada kayu cendana atau kayu zhao, yang dibuat seperti biji catur pada satu sisi; sedangkan sisi yang tidak ditulis disebut man (鏝) dan memiliki 125 kemungkinan jawaban. Setelah itu dikocok dan dibariskan.
Setelah itu, dari hasil yang didapat, dicari padanannya pada kitab tersebut. Jawaban yang muncul semua adalah untaian syair yang harus ditafsir. Metode ini yang menjadi dasar perkembangan ciamsi yang digunakan pada kelenteng-kelenteng, sebagai sarana untuk menjawab pertanyaan dan permasalahan umat-umatnya oleh Dewa-Dewi.
Diperkirakan pada masa akhir dinasti Tang mulai berkembang, kemudian meluas pada periode selanjutnya. Salah satu catatannya adalah Perdana Menteri Lu Duo Sun (盧多遜; 934-985) yang meminta ciamsi di Yunyang Daoguan (雲陽道觀) di kota Zhuzhou.
Selain itu, pada dinasti Song, pejabat bernama Zhang Tangying (張唐英) juga menulis tentang ciamsi kelenteng Yuaxia Laoren (月下老人) di kota Hangzhou.
Ciamsi menggunakan beberapa pakem terutama dalam segi jumlah. Tulisan di atas menulis bahwa Dongfang Shuo membagi 3 tulisan yang diukir yaitu : tengah, atas dan bawah. Hal ini kemudian juga digunakan pada ciamsi tapi dengan pengulangan.
Misalnya : atas atas (上上), bawah bawah (下下), dan tengah datar (中平). Kadang kata kedua diganti dengan kata keberuntungan (吉; Jí). Ini terkait juga dengan konsep yinyang atau keseimbangan.
Jika Chenwei mengutip kitab-kitab klasik, maka ciamsi juga mengutip berbagai kisah-kisah sejarah, mitos, tokoh, atau ajaran-ajaran agama Tao maupun Buddhisme, yang pada umumnya terdiri dari 7 atau 5 kata, dan 4 baris kalimat.
Syair-syair ini mengandung unsur pengajaran tentang sejarah, tokoh maupun ajaran agama; sehingga ciamsi tidak hanya dipandang sebagai alat untuk menjawab pertanyaan atau permasalahan, tetapi juga mengandung unsur pendidikan moral, sejarah, budaya, dan sastra bagi mereka yang meminta ciamsi.
Ini adalah poin penting yang harus diingat, namun sayangnya seringkali yang dibaca orang hanyalah penjelasan dari ciamsi itu sendiri, bukan ajaran moral atau sejarahnya. Beberapa pakem dan kaitannya dalam menentukan jumlah ciamsi :
• 28 – 28 : Berkaitan dengan jumlah rasi bintang.
• 36 – 36 : Berkaitan dengan lapisan langit.
• 49 (7 x 7) : Berkaitan dengan rasi bintang utara.
• 60 – 60 jiazi : Berkaitan dengan pergerakan cabang langit dan ranting bumi (干支; Gānzhī).
• 100 : Berkaitan dengan nilai kesempurnaan/sukses (圓滿; Yuánmǎn).
• 108 – 36 : Berkaitan dengan 36 lapisan langit dan 72 lapisan bumi.
• 120 : Berkaitan dengan perkalian ganzhi (干支).
Umumnya ciamsi itu memiliki 1 atau 3 ciamsi tambahan yang isinya adalah ‘denda’. Bisa berupa minyak, lilin atau denda lainnya. Jadi jika jumlahnya 49, maka memiliki 1 atau 3 ciamsi tambahan, sehingga totalnya bisa 50 atau 52 jumlahnya.
Ada 2 cara untuk Kiuciam (qiuqian). Yang pertama adalah Chouqian (抽籤) dan yang kedua adalah Yaoqian (搖籤). Perbedaannya adalah, Chouqian digunakan dengan cara menarik batang bambu dari tempat ciamsi; sementara Yaoqian digunakan cara dengan menggoyang tempat ciamsi.
Contoh penggunaan Chouqian dapat dilihat di kelenteng Xingtian gong (行天宮) Taiwan. Selain menggunakan batang bambu, di Meizhou tempat kelahiran Tianshang Shengmu (天上聖母), metodenya dikombinasikan dengan menggunakan poapoe sebanyak 3 kali lemparan, dan dilihat apakah yinyang dan sheng.
Setelah itu mengambil kertas ciamsi untuk mendapat jawabannya. Warna kertas ciamsi yang digunakan pada umumnya adalah 3, yaitu warna merah, putih dan kuning.
Di sebagian propinsi Fujian Tiongkok dan Taiwan umumnya menggunakan warna putih, sedangkan di propinsi Guangdong Tiongkok dan di berbagai daerah lainnya (termasuk Indonesia) menggunakan warna merah maupun kuning.
B-1. Cara Untuk Meminta Ciamsi :
1. Pakai pakaian yang sopan dan pantas karena Anda hendak menghadap Dewa-Dewi yang Anda hormati.
2. Sembahyang terlebih dahulu; lalu tenangkan diri selama beberapa menit sebelum bertanya.
3. Sebut nama diri, diikuti dengan maksud/pertanyaan yang jelas.
4. Beberapa orang mengasapi tabung ciamsi di tempat pendupaan/hiolo sebelum digunakan. Tujuannya adalah purifikasi/penyucian, dan asap dupa dipercaya sebagai alat untuk menyampaikan keinginan.
B-2. Beberapa hal penting yang harus diingat atau hindari :
1. Mulut yang kotor saat mau bertanya, misalnya sehabis merokok. Jika merokok maka harus kumur terlebih dahulu.
2. Jangan memaksa jawaban yang sesuai dengan keinginan kita.
3. Saat memasuki area altar, jangan bercakap-cakap yang tidak perlu pada orang lain; fokus pada tujuan.
4. Jangan meminta orang lain yang melemparkan (mewakili), kecuali berhalangan untuk datang sendiri, misalnya lumpuh total.
5. Tidak boleh lebih dari tiga kali ciamsi untuk satu pertanyaan.
6. Jika mendapat ciamsi buruk, sembahyang lagi mohon perlindungan, dan kertas ramalannya jangan dibawa pulang.
7. Jika mendapat ciamsi baik, kertas ciamsi baik boleh dibawa pulang atau disimpan di dompet.
8. Jangan bertanya hal-hal yang tidak perlu atau tidak penting.
Banyak orang bertanya melalui poapoe atau ciamsi untuk hal-hal yang remeh dan terkadang kita sudah tahu jawabannya. Contoh : Jangan bertanya apakah lulus ujian sekolah jika malas belajar. Jangan pula bertanya, apakah perempuan ini suka atau tidak pada kita, tapi kita sendiri tidak berani mendekati perempuan itu 🙂
Ciamsi lainnya yang cukup populer di Tiongkok adalah Ciamsi Obat (Yào qiān). Ciamsi jenis ini kemudian menyebar hingga ke berbagai kelenteng di luar Tiongkok. Dalam kumpulan buku Dao (道藏; Dàozàng) terdapat daftar ciamsi obat; dimana hal ini menunjukkan ciamsi obat berkaitan dengan Taoisme.
Jaman dahulu, pengobatan adalah hal yang langka dan sulit. Sebagai contoh, menurut catatan sejarah, sejak dinasti Han hingga Tang akhir, jumlah tabib di provinsi Fujian tidak pernah lebih dari 20 orang, sehingga masyarakat di provinsi Fujian dan Guangdong cenderung mendewakan tabib-tabib.
Awalnya adalah altar untuk Dewa-Dewa pengobatan seperti Shennong (神農), Huatuo (華佗) dan Sun Simiao (孫思). Kemudian meluas hingga tokoh-tokoh pengobatan lain seperti Wu Tao (吳夲), Zhang Zhongjing (張仲景), Bian Que (扁鵲), dsb.
Para daoshi, baik dari sekte Fulu (符錄) maupun Danding (丹鼎) kemudian mencari cara jitu untuk memberikan pengobatan pada masyarakat luas, terutama kepada masyarakat yang tidak mampu. Cara itu adalah menggabungkan ciamsi dengan resep obat.
Ciamsi obat berkembang dan bertahan sejak ribuan tahun lalu hingga kini. Salah satunya yang masih bertahan adalah ciamsi obat di Kelenteng Ciji (慈濟宮), Zhangzhou (漳州).
Kelenteng Ciji adalah kelenteng induk dari berbagai kelenteng yang menghormati Dewa pengobatan Baosheng Dadi (保生大帝) di berbagai wilayah Minnan (Guangdong), Taiwan, dan penyebarannya meluas hingga ke Asia Tenggara.
Di Indonesia sendiri, tepatnya di kota Semarang, ciamsi obat di kelenteng Grajen maupun Welahan terkenal manjur.
Dari ciamsi Baosheng Dadi dan Sanping zushi ( 三平祖師), berkembang menjadi berbagai resep ciamsi berbagai Dewa lainnya; yang kadang dalam sejarah hidupnya Dewa itu bukanlah seorang tabib. Misalnya resep obat Guan Gong, Xuantian Shangdi, Guan Yin, Lu Dongbin dsb.
Banyak orang yang tidak paham, bahkan sinis memandang resep-resep ciamsi obat. Banyak penelitian mengenai ciamsi obat di Taiwan, dan belakangan Tiongkok juga meneliti ciamsi obat, baik dari segi antropologi, medis barat, pengobatan sinse, dan sosial budaya.
Penelitian terhadap resep ciamsi obat Baosheng Dadi dan Sanping zushi dilakukan oleh Akademi Pengobatan Tiongkok Fujian (福建中醫學院), menyatakan bahwa resep-resep tersebut tidak berbahaya.
Hal ini disebabkan karena sistem pengobatan Tiongkok adalah holistik dan sifatnya berkorelasi, serta takaran resepnya juga tidak membahayakan kesehatan tubuh karena terbuat dari bahan-bahan herbal. Selain itu, dari sisi psikologis membantu penyembuhan, obatnya pun murah dan mudah didapat.
Bagi umat yang percaya, semua itu adalah jawaban dari para Dewa-Dewi yang dipercayainya, dan ini adalah suatu sistem kepercayaan yang tidak bisa dilihat dari sudut ilmu pengetahuan belaka! Sudah melampaui dunia nyata dan memasuki ranah spiritual, menguatkan kepercayaan akan mujizat para Dewa-Dewi.
Kesimpulan
Ciamsi dan poapoe berakar dari falsafah Tiongkok tentang Yinyang, kemudian berkembang dan mempengaruhi berbagai aspek budaya Tiongkok. Seperti ciamsim yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sastra, sistem kepercayaan, ajaran moral, tradisi, budaya, dan sebagainya.
Ciamsi tidak hanya sekedar alat komunikasi atau sarana menjawab pertanyaan saja, tapi sudah melampaui fungsinya dan memiliki makna yang meluas dari fungsi awalnya.
Poapoe sendiri juga membuat umat bisa ‘berkomunikasi’ langsung dan mendapat jawaban yang bisa dilihat dengan alat indra manusia. Kedua sarana ini adalah hal yang unik dan khas, hanya dapat dijumpai dalam kelenteng-kelenteng saja.
Ciamsi dan poapoe bisa dianggap sebagai suatu bentuk mujizat yang diberikan oleh Dewa-Dewi yang ada di dalam kelenteng.
Hal ini menjadi satu sistem dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, YANG TIDAK PERLU DIKRITISI OLEH PENGANUT KEPERCAYAAN LAIN! Dan sistem ini tidak bisa dilihat berdasarkan LOGIKA BARAT, yang bersifat empiris dan absolut.
Awalnya ciamsi obat bertujuan melayani masyarakat yang tidak mampu, sehingga bisa mendapatkan pengobatan yang layak dan murah. Ciamsi dan poapoe juga adalah bagian dari mujizat para Dewa-Dewi, serta tidak dibatasi hanya boleh digunakan oleh umat kelenteng saja.
Komunikasi dengan Thian akan menjadi baik, kalau tingkat purity (kemurnian) dari batin kita mendekati 100. Hiruk-pikuk kehidupan ini, menjadikan kita sudah pasti tidak murni.
Makanya bagaimana kita bisa komunikasi dengan Shen Xian, dengan Thian ini, akan menjadi makin sulit, terutama kalau kita ini cuma sembahyang, sembahyang dan sembahyang saja. Makanya, komunikasi yang paling sederhana, adalah dengan menggunakan Poa poe (Sio poe) ini, antara “ya” atau “tidak”.
Ini sebenarnya menghilangkan semua koneksitas/ketidakmurnian manusia yang berhubungan dengan Thian, itu diwakilkan dgn Sio poe ini.
Catatan :
1. Jaman dinasti Xia maupun Shang sering menggunakan tulang binatang maupun tempurung kura-kura untuk meramal atau berkomunikasi dengan leluhur. Caranya dengan membakarnya, kemudian menafsirnya lewat retakan yang ditimbulkan. Selain itu, kerang juga digunakan sebagai alat ramal maupun komunikasi, namun kurang populer.
2. Metode peramalan dengan batang-batang itu disebut juga yizhan (易占) atau peramalan dengan metode yijing (易經).
3. Buku catatan kebiasaan di Jing dan Chu adalah buku yang mencatat tradisi suku Han pada abad ke 4.
Ciamsi dibaca melalui prinsip kosmologi Ba Zi, mengenai takdir manusia itu akan bagaimana kedepannya.
Kalo ciamsi itu bilah kayu yang ada nomornya. Tiap nomor ada ramalan. Mitologinya itu ditulis sewaktu Dewa masih di alam alam manusia dulu, atau ada juga yg menyebut suhu yg menulis ketika berkomunikasi dengan Dewa. Ramalan ciamsi biasanya ditulis dalam bentuk syair. Suhu kemudian mengartikan syair itu menjadi suatu kalimat, misalnya syair “burung phoenix terbang ke selatan, nelayan sulit mendapat ikan”. Artinya kira2, yang pergi belum kembali dan rezeki sulit. Syair dan artiannya biasanya ditulis di kertas yang sama. Jadi umat tidak perlu repot2 bertanya ke penjaga kelenteng. Tinggal dicocokkan/dimaknai saja dengan permasalahan yg sedang dialami.
Selain ciamsi, adapula cara bertanya terhadap Dewa yg lain, yaitu poak poe, siok poe, atau seng poi. Ini hanya berupa mencari persetujuan Dewa, lewat jawaban Ya atau Tidak. Jika terbuka semua dalam kondisi yang datar menghadap atas, artinya “Dewa tertawa”, antara cara bertanyanya yang salah, atau pertanyaan memang tidak dijawab, karena Dewa BERHAK memilih untuk menjawab atau tidak.
Jika sampai 3x mendapat jawaban tertawa, kemungkinan Dewa memang tidak mau menjawab pertanyaan. Bisa jadi kalo Beliau menjawab, nanti manusianya menjadi anxiety dan kepikiran terus, atau malah jadi tambah kacau.
Mohon ijin bertanya. Saya sempat membawa pulang kerumah Kertas Ciamsi yang hasilnya buruk (sudah 3 hari). Sebaiknya bagaimana, apakah secepatnya di kembalikan ke Wihara tersebut untuk di bakar di Tungku Pagoda depan Wihara atau bagaimana.
Apakah boleh dikembalikan ke Wihara lain untuk di bakar di Tungku Pagoda depan Wihara lain(karena Wihara terakhir cukup jauh).
Terima kasih atas informasinya.
Kalau boleh tau, apa ramalan yg tertulis di kertas ciamsi anda, sehingga anda menafsirkan itu buruk?
Menurut saya pribadi, ciamsi yg buruk tidak perlu dikuatirkan. Itu adalah petunjuk dari Dewa-Dewi, apa yg harus dikuatirkan?
Simpanlah kertas ciamsi tersebut, tidak perlu dibakar. Dibakar pun, nasib anda juga tidak akan serta merta berubah menjadi baik.
Setiap orang pasti akan mennjumpai batu kerikil dalam kehidupannya. Tiap orang punya kesulitan/masalah masing2. Tidak mungkin lancar2 slalu sampai tua.
Kelak, banyak2lah berbuat kungtek/amal, sering2lah pergi ke kelenteng untuk bersembahyang, mohon perlindungan kepada Shen Xian agar mau melindungi.
Kira2 demikian, semoga membantu!
Mau tanya semisal ya bertanya kepada Dewa untuk apa yang saya utarakan dan keluar nomor bambu y 61, tetapi di dlm kotak nomor ya tidak ada nomor 61, hanya sampai nomor 60 lalu bertanya kepada petugas vihara ya saya harus menyumbang minyak dan menuangkan minyak itu kira” pa artinya.
Saya mau tanya… Kalau poapoe, kemudian dewa mengatakan Tidak sebanyak dua kali Dan tertawa satu kali, kira-kira apakah pertanyaan yang saya tanyakan jawabannya Tidak atau kemungkinan sikap saya yang ragu pada apa yang saya tanyakan?
Bisa jadi pertanyaannya kurang spesifik atau jelas.
Saya mau tanya, setelah kita ambil kertas ciamsi dan telah membacanya, lalu kita sebaiknya bakar kertas itu, bawa pulang, atau di taro kembali?
Jawabannya sudah ada pada artikel diatas. Silahkan dibaca baik2 dengan teliti.
Namun di era yang modern ini, sudah ada “Ciamsi modern” yang dapat Anda temukan di beberapa Taokwan2 di Indonesia (tempat ibadah umat Tao), dimana nomor ramalan ciamsi akan di-print pada selembar kertas kecil, yang bisa dibawa pulang sebagai kenang2-an, atau bisa juga dibakar jika hasil ramalannya buruk.
Jaman sekarang penjaga bio akan minta kita foto saja kertasnya 😀
MAu tanya mengapa dibeberapa tempat jumlah ciamsi kuan yim bisa beda ya. ada yg 60 ada yg 100.
Kebanyakkan di kelenteng2 tua jumlah ciamsi totalnya 60.
Klo di vihara jumlah ciamsi 100.
Bedanya apa ya?
Mana yg lebih tepat. Terima kasih
Setahu saya, 60 itu menyimbolkan 60 tahun siklus Thaysui, dimana 12 shio x 5 unsur = 60. Angka 60 inilah yg dijadikan patokan sebagai ramalan, yg dipakai di batangan2 ciamsi di kelenteng2. Jika ada yang 100, mungkin itu sudah kena pengaruh unsur Buddhisme.
Demikian info, semoga membantu!
hallo saya mahasiswi yang sedang mengerjakan skripsi, dan ciamsi adalah topik dari skripsi saya.
saya meminta izin kepada penulis,untuk mengizikan saya mengambil informasi, karena saya memerlukan beberapa informasi dari web ini.
terima kasih