Last Updated on 18 April 2021 by Herman Tan Manado
Menanggapi vonis atas Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Ketua YLBHI, Asfinawati, menilai vonis akan membuat kelompok minoritas, khususnya warga Tionghoa Indonesia, takut bersuara dan ikut terlibat dalam proses politik.
BBC Indonesia pun berbicara dengan sejumlah warga Tionghoa Indonesia, baik yang tinggal di Jakarta, di luar Jakarta, maupun di luar Indonesia, terkait pendapat mereka tentang vonis Ahok dan masa depan demokrasi Indonesia.
1. Seperti orang (yang) diputus cinta
“Waktu mendengar vonis, saya merasa sangat pesimistis. Rasanya seperti tidak ada harapan lagi, sedih sekali. Rasanya seperti orang diputusin (cinta),” ungkap Aline Djayasukmana kepada BBC Indonesia.
Penulis berdarah Tionghoa dan berdomisili di Jakarta itu mengungkapkan, vonis dua tahun terhadap Ahok seakan menjadi legitimasi bahwa “tidak apa membully orang, tidak apa kalau membully kelompok minoritas.”
Meskipun begitu, Aline menilai “Ahok juga tidak bijak menyebut ayat (Al-Maidah) itu. Tapi apakah layak dia dipenjara? sama sekali tidak.”
Dia mengungkapkan sejak semula kasus Ahok telah dieksploitasi secara berlebihan oleh kelompok intoleran.
“Kalau yang melakukan itu (menyebut Al-Maidah) bukan Ahok, bukan orang Tionghoa dan bukan Kristen, pasti tidak akan begini.
Orang-orang yang berteriak di luar itu tidak hanya menyalahkan Ahok, tetapi menyalahkan etnisnya… Mereka teriak-teriak “Cina bangsat”. Berarti selama ini di bangsa ini, orang setanah air ini punya kebencian yang mendalam dengan etnis saya, yang tidak bisa saya pilih saat lahir.”
Meskipun begitu, momen vonis dan berbagai unjuk rasa yang mengelilingi persidangan Ahok, dinilai Aline “sudah mengeluarkan seluruh borok mereka (pihak intoleran). Justru ini jadi titik balik bagi masa depan Jakarta.
Kemungkinannya dua; hancur atau membaik. Dan entah mengapa, menurut saya ini akan membuat minoritas akan semakin berani bersuara.”
2. Batal pulang ke Indonesia
Priscillia Indrajaya, warga Indonesia yang tinggal di San Francisco, Amerika Serikat, sudah meniatkan pulang ke Indonesia ketika mendengar kinerja Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta.
“Ingin bekerja sama dia. Setidaknya belajar, magang di balai kota lah,” kata perempuan yang sudah empat tahun tinggal di negara bagian California itu, kepada BBC Indonesia.
Namun, ketika mendengar vonis hakim terhadap kasus yang menimpa Ahok, serta gagalnya Ahok dalam kancah Pilkada DKI, “jadinya (saya) kehilangan harapan. Teman-teman saya malah banyak yang mau keluar dari Indonesia.”
Priscillia mengungkapkan perasaannya campur aduk ketika mendengar vonis Ahok. “Marah iya, sedih iya, gregetan iya. Rasanya sedih sekali, depresi sekali.”
Perasaan itu dirasanya sangat mendalam karena dia merasa Indonesia baru saja melangkah kepada kemajuan ketika seorang warga Tionghoa Indonesia memimpin Jakarta. “Baru ada harapan, eh sekarang begini lagi, balik lagi ke zaman dulu, ke masa orde baru.”
3. ‘Ahok pimpin Medan saja’
Kasus Ahok tidak hanya menjadi perhatian warga Jakarta, tetapi juga berbagai penjuru Indonesia. Misalnya Iwan Tandoko, asal Medan, Sumatera Utara.
“Saya lahir di Indonesia, besar di Indonesia. Kalau saya tidak bersuara, berarti saya membiarkan Indonesia tertinggal selangkah lagi,” katanya dengan suara bergetar lewat sambungan telepon.
Dia menyatakan dukungan kepada Ahok karena “dia bersih, memperhatikan orang yang tidak mampu tanpa melihat Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya; dan saya tidak bisa menerima, orang hebat seperti beliau divonis bersalah.”
Meskipun begitu, Iwan menyatakan hukum tetap harus ditegakkan. Namun, dia tidak memungkiri bahwa dirinya merindukan Indonesia yang plural dan mendukung keberagaman.
“Mengapa saat pahlawan olahraga keturunan Tionghoa Indonesia sedang bertanding, para pendukung, apapun agamanya mendukung mereka, mau mengeluarkan tenaga memberi dukungan? Tetapi mengapa ketika ada pemimpin yang berdedikasi penuh untuk Jakarta, tidak bisa?”
“Kami berharap kalau Ahok tidak diterima di Jakarta, Ahok memimpin medan saja. Soalnya Gubernur dan walikota di sini berkali-kali masuk penjara KPK karena kasus korupsi. Kami ini memimpikan seorang pemimpin yang bisa memimpin Medan, dan itu ada di diri Ahok.”
4. Akan takutkah berpolitik?
Pengamat kemasyarakatan dan kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Thung Ju Lan, menyatakan bahwa kondisi masyarakat Tionghoa Indonesia saat ini berbeda dengan pada tahun 1998 atau 1965.
“Ketakutan dan kekhawatiran warga Tionghoa yang ditimbulkan (karena vonis Ahok), berbeda dengan peristiwa 1965 atau 1998. Kalau 1965, ketakutannya karena dikaitkan dengan komunisme, ketakutannya sangat menakutkan pada masa itu. Ketakutan 1998 dipahami sebagai kerusuhan sosial.”
Thung mengungkapkan, usai kerusuhan sosial pada 1998, warga Tionghoa Indonesia kemudian “diberi harapan untuk masuk ke dalam politik Indonesia. Tetapi setelah vonis ini, kita tahu kalau ternyata sistemnya masih diskriminatif. Ini cuma mengecilkan harapan,” ungkapnya kepada BBC Indonesia.
Lalu akan takutkah warga Tionghoa Indonesia nantinya untuk bersuara dan berpolitik?
“Tidak. Konsepnya beda-beda. Bagi mereka yang rajin bergaul, harapannya (tetap) banyak. Bagi mereka yang tak pernah bergaul, yang biasanya takut-takut dan ragu, kalau dulu banyak harapan, ya sekarang akan mundur lagi.” (sumber : bbc.com/indonesia)