Last Updated on 21 April 2021 by Herman Tan Manado
Raden Ajeng Kartini (lahir 21 April 1879, wafat 17 September 1904) pernah mengaku sebagai anak Budha setelah minum abu hio dari Kelenteng Hian Thian Siang Tee, Welahan, Jepara, Jawa Tengah. Air abu hio itu menyembuhkan Kartini dari sakit demam.
Pengakuan sebagai anak Budha ini dimuat dalam kumpulan Surat Kartini, tertanggal 27 Oktober 1902, kepada Rosa Abendanon-Mandri. Kartini menuliskan kalimat2 dalam surat itu dengan tulus. Ia adalah seorang Budha, dan pantang makan daging.
“Saja ada satoe botjah Buddha, maka itoe ada mendjadi satoe alesan mengapa saja kini tiada memakan barang berdjiwa,” tulis Kartini.
Beliau pun pernah bercerita mengenai awal kepercayaannya ini. Semasa kecil, Kartini pernah sakit demam. Seorang Tionghoa kemudian menawarkan bantuan pengobatan alternatif. Hal ini karena pengobatan dokter yang didatangkan ayahnya,Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara), tidak manjur.
Orang Tionghoa itu pun menawarkan obat, berupa air yang diberi abu hio dari Kelenteng Hian Thian Siang Tee, atau dikenal dengan Kelenteng Welahan. Hasilnya mujarab! Obat dari tabib itu justru menyembuhkan Kartini yang masih belia.
“Lantaran minoem obat itoe, saja djadi anaknja orang soetjie itoe, Santikkong Welahan,” terang Kartini.
Kartini pun kemudian mengunjungi Kelenteng itu setahun kemudian, untuk bertemu dengan orang yang telah menyembuhkannya. Belakangan, orang itu kemudian dianggap sebagai orang suci, yang sering diziarahi orang2 di sekitar kelenteng itu.
Orang suci itu kemudian divisualisasikan dalam bentuk patung emas kecil, yang selalu dipenuhi oleh asap hio. Setiap kali ada yang sakit, patungnya selalu dibawa berkeliling untuk mengusir roh jahat.
Benny G. Setiono dalam bukunya yang berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik”, orang Soetji (orang suci) yang dimaksud adalah “Hian Thiang Siang Tee” (Hanzi : 玄天上帝; Pinyin : Xuan Tian Shang Di) atau “Siang Teekong”. Masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan sebutan “Kongco Welahan”.
Sosok ini disebut Budha, tetapi bukan/tidak sama dengan Budha Gautama; kemudian menjadi tokoh di daerah Welahan.
“Tetapi pada umumnya, segala toapekong itu berasal dari Tionghoa, yang pada masa hidupnya menganut agama Budha atau agama Tao (tridharma),” jelasnya.
Sejarawan JJ Rizal menyebutkan, surat Kartini ini menunjukkan keterbukaan pemikirannya mengenai agama kepercayaan yang ada di sekitarnya jaman itu. Kartini tidak membatasi dirinya sebagai seorang yang berasal dari keluarga Islam ningrat, tetapi menerima kepercayaan2 lain yang ada di sekitarnya.
“Ia seorang muslim, terkesan dengan Budha, dan bergaul dengan orang Kristen. Makanya pemikirannya terbiasa dengan berbagai perbedaan dan terbuka,” ujarnya.
Lebih lanjut, dalam surat tertanggal 27 Oktober 1902 itu, Kartini menjelaskan bahwa sikap (menjadi seorang) vegetarian ini bermula ketika Ia masih berusia 14 atau 15 tahun.
Namun Kartini tidak memiliki keberanian mengumumkan sikap ini sampai beberapa tahun kemudian. Sebelum menulis surat, Ia memberitahu ibunya, dan ditanggapi dengan gembira.
Seorang anggota komunitas vegetarian yang tidak mau disebutkan namanya, menyebutkan bahwa sikap vegetarian semacam itulah yang juga membentuk kepribadian Kartini dengan kasih. Tak ada jejak siksaan kepada hewan di piring makannya.
Kartini pun kian peka terhadap keadaan lingkungan sekitarnya. “Vegetarian itu doa tanpa kata kepada Yang Maha Tinggi,” ucapnya ketika membacakan isi penggalan surat Kartini.
Menurut dia, rasa iba inilah yang menuntun Kartini dalam menyikapi kesenjangan dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan dalam surat yang sama, Kartini juga pernah menolak untuk dicium kakinya oleh rakyat biasa (referensi : detik.com).
Ternyata, banyak hal seperti ini yang dulunya di tutup-tutupi oleh Orde Baru …
Selamat Hari Kartini, 21 April 2021, pembaca!