Last Updated on 9 September 2021 by Herman Tan Manado

Mendengar kata Amoy / Amoi, sebagian besar orang mungkin beranggapan negatif mengenai istilah tersebut. Di Indonesia, sebutan Amoy memang memiliki stigma yang negatif, dan cenderung melecehkan apabila ditujukan / dikatakan kepada seorang wanita Tionghoa.

Saat ini, kata Amoy diidentikkan sebagai “perempuan muda yang rela dinikahi pria asing, dengan imbalan uang sebagai timbal balik“.

Meski memiliki konotasi yang kurang baik, namun sebenarnya tidak ada yang salah dengan kata Amoy. Bahkan, arti sebenarnya dari kata Amoy pun tidak sesuai dengan penafsiran yang sudah melekat di negeri ini. Istilah Amoy sebenarnya merupakan serapan dari dialek Khek, yang apabila diartikan secara harafiah bermakna “adik perempuan“.

Dalam keseharian, sebutan amoi juga dapat diberikan kepada seorang anak gadis muda. Dan untuk lebih jelasnya, berikut ini 8 hal yang perlu kamu ketahui mengenai Amoy Singkawang :

1. Asal Mula Kata “Amoy”

Amoy berasal dari bahasa dialek Khek, yang artinya “adik perempuan”.

Baca juga : Tjhai Chui Mie : Walikota Wanita Tionghoa Pertama di Indonesia, Ahoknya Versi Wanita!

Pergeseran makna kata Amoy bermula sejak banyaknya wanita muda keturunan Tionghoa yang mau mengorbankan diri untuk di peristri oleh  pria-pria dari negara tetangga, seperti Taiwan, Hongkong, Macao, Malaysia, dan Brunei. Lewat bantuan para MAK COMBLANG, mereka melakukannya secara terpaksa, karena masalah ekonomi.

Dengan menikah, mereka berharap dapat memperbaiki kesejahteraan hidup diri sendiri dan keluarga.

Fenomena ini terjadi di salah satu kota di Kalimantan Barat, yaitu Singkawang. Nama kota Singkawang sendiri berasal dari bahasa Khek (Hakka), yaitu San Khew Jong ((hanzi : 山口洋; pinyin : Shānkou Yáng), yang secara harafiah berarti “daerah yang dikelilingi oleh lautan dan gunung-gunung”.

Demografi Kota Singkawang :

Nama Mandarin : San Keuw Jong (hanzi: 山口洋; pinyin: Shānkou Yáng)
Walikota : Tjhai Chui Mie
Jumlah penduduk : 246.306 (sensus 2011)

Luas wilayah : 504 km²
Agama : Islam (53,8%), Buddha (29,69%), Khatolik (7,97%), Protestan (5,21%), Konghucu (2,68%), lainnya (sisanya).
Etnis : Tionghoa (71,15%), Melayu (15,2%), Dayak (7,25%), Jawa (5,4%), lainnya (sisanya).
Bahasa : Khek (orang hakka, bahasa kesehariannya), Indonesia, Dayak, Melayu.

Peta Kalimantan Barat. Kota Singkawang sendiri terletak di barat laut.

Di sini, sekitar 62% penduduknya merupakan keturunan Tionghoa. Oleh karena itulah, kota Singkawang juga kerap dinamai sebagai kota Amoy.

Selain Kota Amoy, Singkawang juga dikenal sebagai Kota Seribu Kelenteng. Hal ini karena mayoritas masyarakat keturunan Tionghoa yang hidup di sana beragama Budha dan Konghucu, sehingga Singkawang memiliki banyak kuil.

Salah satu kelenteng yang terkenal disana adalah Vihara Tridharma Bumi Raya, yang berdiri sejak tahun 1878. Vihara tertua di Singkawang ini terletak di jalan Sejahtera No.28.. Dewa utamanya (tuan rumah) adalah Cau Kun Gong, atau Toa Pe Kong (灶君宫; Zào Jūn Gōng).

Maraknya praktik pernikahan di Kota Amoy bermula sejak tahun 1970-an, yaitu ketika pemerintah Taiwan mengeluarkan peraturan bahwa jika tentara atau veteran tidak punya keturunan, maka harta dan warisan akan diambil alih oleh pemerintah.

Karena tidak rela, para duda dan bujang pun gencar mencari istri sampai ke kota Singkawang. Alasannya, penduduk Singkawang keturunan Tionghoa memiliki banyak kesamaan dengan Taiwan, baik dari segi budaya maupun bahasa.

Namun di era modern ini, alasan pencarian istri ke Singkawang telah mengalami pergeseran. Tidak lagi karena faktor warisan, melainkan karena kesulitan mencari pasangan bagi pria dengan ekonomi yang pas-pasan.

Bagi pria Taiwan, untuk menikahi wanita Taiwan perkotaan membutuhkan biaya yang mahal, karena wanita Taiwan umumnya lebih suka dengan pria yang mapan.

Hal inipun dialami oleh para lelaki bujang asal Hongkong dan Macao. Mereka lebih suka mencari “wanita kampung”, yang dianggap tidak memberatkan, namun dengan penampilan fisik yang tidak kalah dibanding gadis muda di kota mereka. Itulah mengapa, “pemesanan istri” sampai ke Singkawang masih berlanjut sampai hari ini.

2. Rata-rata Tingkat Pendidikan Para Amoy Singkawang

Fenomena ironis di Kota Amoy memang tidak terjadi tanpa sebab. Kemiskinan adalah akar dibalik keputusan untuk “menjual diri”. Kesulitan ekonomi juga yang menghambat mereka untuk menempuh pendidikan yang tinggi. Sebagai info, rata-rata pendapatan masyarakat Singkawang sebulan umumnya dibawah 2 juta/keluarga.

Apabila 1 keluarga memiliki › 4 anak (prinsip orang Tionghoa dulu, banyak anak banyak rejeki, ini masih melekat di masyarakat kampung), coba bayangkan bagaimana kehidupan mereka …

Hal ini diperkuat dengan stigma pola pikir yang ditanamkan oleh masyarakat Tionghoa dulu, bahwa seorang gadis tidaklah perlu sekolah terlalu tinggi, karena toh ujung-ujungnya akan masuk dapur dan ngurus anak juga 🙁

Rata-rata para Amoy yang mau dinikahkan dengan pria asing, pendidikannya hanya sebatas SD atau SMP. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang buta huruf, hanya bisa berbicara saja. Karena biayanya mahal, mereka sengaja tidak melanjutkan sekolah, memilih bekerja dan mencari uang.

Dikelilingi lingkungan seperti ini membuat gadis-gadis itu merasa lemah, dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah hidupnya. Dengan pikiran pendek, fokus mereka hanyalah bagaimana mencari uang dengan cepat.

Hal inilah yang menjadi pertimbangan para gadis Amoy hingga mau merelakan diri untuk diperistri oleh orang asing, meskipun tidak kenal sepenuhnya, dan tidak ada cinta di antara mereka.

Dan mirisnya, justru banyak dari mereka yang didorong, bahkan dipaksa orang tuanya sendiri untuk menikah di usia belia, demi terlepas dari jeratan hidup kemiskinan.

Dengan bantuan mak comblang biro jodoh, diharapkan agar anaknya bisa mendapatkan pendamping hidup dari luar Negeri yang mapan, dimana mayoritas adalah pria Taiwan dan Hongkong.

3. Kehidupan Ekonomi Para Amoy dan Keluarganya

Kecantikan Amoy Singkawang tidak kalah dengan kecantikan gadis Tionghoa perkotaan lho!

Baca juga : Serunya Melihat Prosesi Tatung Saat Cap Go Meh di Singkawang : Menyabet 3 Rekor MURI!

Kemampuan ekonomi keluarga para Amoy memang masih dibawah rata-rata. Sebagai info, UMK (Upah Minumum Kota) Singkawang tahun 2019 sendiri Rp. 2.238.840,-.

Bandingkan dengan ibukota Jakarta yang hampir mencapai 4 juta! Padahal, harga-harga barang di daerah/luar Jawa belum tentu murah, karena biaya pengiriman / transportasi pasti tinggi.

Mayoritas penduduk di Singkawang bermata pencaharian sebagai petani. Sebenarnya, sektor pertanian di sini menyerap cukup banyak tenaga kerja.

Namun sayangnya pendapatan dari sektor pertanian tidak cukup untuk membuat warganya sejahtera, dan bahkan masih tergolong miskin. Para petani ini umumnya tinggal di rumah-rumah kayu yang beratapkan daun nipah, di pinggiran kota Singkawang.

Sebagian Amoy yang memiliki pendidikan setingkat SMK umumnya bekerja sebagai penjaga toko di pusat kota Singkawang, atau hijrah ke kota lain, seperti Pontianak (ibokota Kalbar).

Alasannya karena di kota Singkawang sendiri belum tersedia lapangan pekerjaan yang cukup. Bahkan Mall disini saja hanya ada 1, itupun baru dibuka pada Februari 2017 (Singkawang Grand Mall).

Sementara sebagian warga yang memiliki modal biasanya membuka toko atau rumah makan sendiri.

So, jangan lagi bilang kalau semua orang Tionghoa itu kaya! Tidak ada bedanya dengan penduduk pribumi, sebagian dari kita juga hidup dibawah garis kemiskinan, atau yang ekonominya pas-pasan.

Hanya saja, kita orang punya kemauan bekerja untuk memperbaiki hidup. Hanya saja takdir (sisi mentok) tiap orang tidak sama…

4. Penampilan Para Amoy : Anciang! Sui!

Amoy Singkawang dalam foto ini bernama Elvina loh. Bisnisnya rumah makan bubur. Mau kenalan?

Sama seperti gadis keturunan Tionghoa pada umumnya, para Amoy memiliki kulit yang putih bersih, serta memiliki paras yang cantik dan manis.

Tidak hanya penampilan fisiknya, para Amoy juga memiliki nilai plus, yaitu memiliki rasa hormat, tidak sombong, dan pekerja keras. Itulah mengapa banyak pria asing yang suka gadis-gadis Amoy.

Tidak sedikit yang membandingkan para gadis amoy ini dengan gadis-gadis Tionghoa yang hidup di kota2 besar saat ini, seperti Medan, Jakarta, Surabaya. atau Makasar; dimana mereka cenderung lebih angkuh karena tidak pernah hidup susah.

Selain itu, para Amoy ini rata-rata masih berusia muda, yaitu antara 14 hingga 25 tahun.

5. Sikap dan Kepribadian Para Amoy : Lugu, Polos dan Pemalu

Berdasarkan jawaban para Amoy ketika ditanya mengenai alasan mereka menyetujui tawaran perjodohan, rata-rata mengakui karena ingin berbakti kepada orang tua!

Para Amoy menyadari bahwa keluarganya sangat miskin, bahkan ada yang sampai terjerat hutang. Dengan menikah, mereka hanya berharap bisa mengirim uang bulanan kepada keluarganya.

Para gadis amoy yang ditemui di kota Singkawang umumnya masih sangat pemalu. Namun mereka cukup menjaga jarak apabila ada orang asing yang ingin berkenalan lebih jauh.

Karena jauh dari perkotaan, sebagian dari mereka masih lugu dan polos. Seperti yang kita ketahui, saat ini banyak gadis kota yang sudah terkontaminasi media dan politik. Bawaan nya selalu sensi dan negatif melulu 🙁

Para gadis amoy inipun sedari kecil sudah biasa hidup susah. Tidak seperti gadis-gadis perkotaan, dengan gaya hidup budaya ala barat, tidak sedikit yang menuntut pada orang tua atau pasangannya.

Para Amoy bersedia menikah hanya dengan bermodalkan kepercayaan.

Mereka mau menikah meskipun tidak terlalu mengenal pihak calon suami. Bahkan ada yang langsung menikah meskipun baru 1 minggu mengenal. Dari sini dapat dilihat bahwa para Amoy yang mau dijodohkan memang tergolong lugu, karena mereka tidak memikirkan risiko yang akan terjadi kelak.

Mereka sangat optimis bahwa semua akan baik-baik saja. Padahal mereka tidak tahu bagaimana nasib selanjutnya sampai mereka menikah, hidup dan tinggal di negeri suami tersebut.

Berdasarkan pengalaman kasus-kasus sebelumnya, tidak sedikit dari para gadis amoy yang dijodohkan ini dijadikan budak, diperlakukan kasar oleh mertua, bahkan dijual oleh suaminya sendiri sebagai pⓔlacur…

Kasus-kasus ini mencuat, setelah sebagian dari mereka lari dan melapor ke kepolisian setempat, lantas di koordinasikan dengan staf KDRI, untuk kemudian dipulangkan.

6. Nasib Para Amoy Setelah Menikah : Bagai Koin Yang Dilempar

Karena ancestry mereka berasal dari wilayah Guangdong dan sekitarnya. Selain itu, karena mereka tetap mempertahankan “trah kecinaan”, alias belum kawin campur seperti kebanyakan etnis Tionghoa di perkotaan.

Baca juga : Asal-Usul Tatung (Lokthung) Pada Perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang

Mayoritas para Amoy yang berhasil menikah dengan pria asing, adalah melalui biro jodoh atau jasa mak comblang. Setelah melihat foto-foto calon suami, lantas kemudian diatur hari untuk dipertemukan dengan calon tersebut.

Jika sudah oke, mereka akan mengurus surat-surat pernikahan, lantas segera menyusul sang suami ke negara asal suami tersebut.

Meskipun menikah dengan pria luar, bukan berarti kehidupan mereka akan berubah total. Bak koin yang dilempar, sebagian dari para amoy memang ada yang langsung hidup mapan laiknya gadis kaya perkotaan; namun sebagian dari mereka juga tetap bekerja keras untuk hidup, tergantung bagaimana kondisi ekonomi si suami.

Bahkan, untuk mengirim uang bulanan ke keluarga pun ada yang kesulitan. Jadi, mereka hanya mengirim uang di hari-hari besar saja, seperti Imlek, Cengbeng, atau dihari ulang tahun orang tuanya. Hal ini juga sedikit menggambarkan, mengenai bagaimana rasa bakti para amoy kepada orang tua mereka.

Menurut penuturan salah satu mak combang, sesuai dengan permintaan kebanyakan klien (calon suami), dimana mereka mencari gadis amoy yang masih single, yang baru menginjak usia 17 hingga 25 tahun.

Padahal umur dari para klien ini sendiri rata-rata sudah diatas 40 tahun, namun sebagian memalsukan usianya, dengan mengatakan bahwa mereka masih 30-an.

Tidak sedikit para amoy yang kena tipu, karena ternyata calon suaminya sudah tua, bahkan ada yang sudah duda, dengan perbedaan usia laiknya Ahok dan Puput 🙂

7. Bisnis “Pernikahan” Amoy : Diatur Mak Comblang!

Pernikahan pria asing dengan para Amoy dianggap sah, meski digolongkan sebagai pernikahan lintas negara. Tetapi secara hukum, tidak ada yang salah dengan pernikahan para Amoy.

Perjodohan ini baru akan menjadi masalah adalah apabila terjadi pemalsuan identitas. Misalnya, data anak gadis di bawah umur (‹ 18 tahun) direkayasa, sehingga usianya menjadi cukup untuk menikah.

Namun dari segi ekonomi, perkawinan ini juga cukup membantu meningkatkan taraf hidup keluarga para Amoy. Melihat sisi positif ini, “bisnis jual-beli istri” terus berlanjut, karena memang tidak ada larangan dari pemerintah daerah maupun pusat.

Dengan bertameng pernikahan adalah urusan pribadi, urusan hati, pemerintah pun tidak bisa ikut campur terlalu dalam. Salah satu hal yang menarik perhatian ketika membicarakan topik mengenai para Amoy yang dijodohkan, tak adalah bisnis yang terlibat di dalamnya.

Semakin berkembangnya bisnis makcomblang di Singkawang, merupakan salah satu faktor penyebab merambahnya pernikahan lintas negara. Oknum-oknum di dalam bisnis inilah yang berperan sebagai “biro jodoh”.

Setelah mendapat “orderan” dari pria asing, mereka langsung mencari gadis di Singkawang (atau daerah sekitarnya) yang sesuai dengan kriteria.

Setelah mendapatkan gadis yang sesuai (biasanya mereka sudah ada semacam database, amoy mana saja yang siap dinikahkan), biro jodoh ini mulai membujuk dengan iming-iming uang kepada keluarga amoy, dengan harapan agar mereka mau melepas anak gadisnya.

Uang tunai yang ditawarkan biasanya berkisar antara 20 hingga 100 juta. Memang terlalu murah, tapi bagi mereka, itu adalah berkah.

Jatuh dalam bujuk rayu tersebut, akhirnya Amoy beserta keluarganya pun menyetujui. Sebelum memutuskan, tidak sedikit dari mereka yang mencoba untuk bertanya di kelenteng, kepada Dewa, lewat kayu poapoe atau ciamsi.

Baca juga : Mengenal Poapoe dan Ciamsi Sebagai Sarana Komunikasi

Setelah mendapat persetujuan keluarga, mak comblang ini pun segera mengatur pernikahan sederhana (biasanya digelar dulu di kota Singkawang), adat-istiadat, sampai mengurus dokumen yang diperlukan di catatan sipil, untuk memberangkatkan Amoy ke negeri si klien. Bahkan uang tiket perjalanan si amoy pun sudah ditanggung.

Namun, ada pula biro jodoh yang memanfaatkan kepolosan para amoy dan menipu mereka. Terkadang umur pria yang disebutkan tidak sesuai dengan umur yang sebenarnya, alias jauh lebih tua.

Dan ketika ketahuan dan ingin membatalkan rencana menikah, para Amoy malah diancam untuk mengganti rugi hingga puluhan juta, yang mana nilainya setara, atau jauh lebih besar dari mahar yang ditawarkan.

Akhirnya, mereka hanya bisa pasrah dan tetap melanjutkan pernikahan. Menurut estimasi, dalam kurun wakut 15 tahun terakhir, sudah lebih dari 50 ribu gadis Amoy yang menikah dengan pria dari negara asing.

8. Lantas Berapa Pendapatan Mak Comblang?

Kalau yang ini namanya Xiao Fong. Dia mengelola toko perhiasan perak milik keluarganya 🙂

Sementara untuk Para Makcomblang atau biro jodoh, mereka akan menerima uang bersih sekitar 5 hingga 7 juta per Amoy yang dinikahkan.

Keuntungan tersebut mereka gunakan sebagai untuk beli pulsa, ongkos jalan, biaya pengurusan dokumen pernikahan, hingga ongkos lelah untuk mencari calon istri, dan membujuk si amoy dan keluarganya agar setuju.

Itu diluar beberapa pengeluaran, seperti penginapan untuk klien selama di Indonesia, biaya pesta pernikahan sederhana di keluarga sang amoy, mengurus administrasi dan tiket keberangkatan si Amoy, dan lain sebagainya.

Tidak hanya pria asing, belakangan, keluarga dari pria-pria lokal keturunan Tionghoa dari berbagai kota besar pun mulai mencari jasa mereka.

Apalagi sebagai anak sulung, tuntukan untuk melanjutkan trah keturunan adalah hal wajib. Tidak sedikit dari pemuda Tionghoa yang datang langsung berpelesiran ke kota Singkawang ini, untuk sekedar mencari jodohnya.

Bahkan, banyak masyarakat pribumi lokal yang tertarik untuk memperistri para amoy singkawang, dengan tujuan untuk “memperbaiki keturunan” mereka.

Amoy Singkawang

Demikian 8 hal yang perlu pembaca ketahui mengenai kisah Amoy Singkawang. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kisah para Amoy ini memang memilukan, tetapi tetap tidak bisa disalahkan.

Mereka hanya memilih pilihan yang mereka anggap terbaik. Dan setiap orang berhak menentukan, karena hidup adalah pilihan. Pernikahan para Amoy memang tidak bisa digeneralisasi sebagai suatu hal yang negatif.

Karena apabila dilihat dari beberapa kasus, ada yang setelah menikah, lantas kemudian membangun keluarga dan memiliki anak-anak, laiknya seperti keluarga normal pada umumnya. Mereka membangun ekonomi bersama dan saling membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Namun, banyak juga para Amoy yang bernasib malang, dimana ekspetasi harapan tidak sesuai dengan realita. Mereka memberanikan diri menikah dengan pria asing untuk memperbaiki hidup, malah justru jatuh ke lubang yang lebih dalam.

Mereka dijadikan budak, dianiaya, disiksa, dan bahkan dijadikan pekerja seks oleh suaminya sendiri. Dan yang menyedihkan adalah ketika pihak suami berbohong mengenai kondisinya, misalkan soal keadaan ekonomi dan kondisi fisik.

Di awal mengatakan bahwa dia adalah seorang pria yang mapan, namun kenyataannya dia hanyalah seorang penganguran, yang juga hidupnya juga susah. Atau di awal dikatakan bahwa sang pria sehat, namun ternyata dia cacat fisik, dan si amoy lah yang mesti mengurusnya.

Gadis Amoy pun akhirnya harus banting tulang, tak berdaya, laiknya dijadikan pembantu oleh suaminya.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

6 thoughts on “Amoy Singkawang : 8 Hal Yang Harus Kamu Ketahui Tentang Amoy Singkawang, Anciang!”
  1. dulu sempet pengen punya istri Chinese macam dari Singkawang ntu

    tapi karena stereotip yang melekat pada etnis Tionghoa ini “yang mau nikah ama kami harus (berduit) mapan”

    ya gak menutup sebuah realita, ane cuma cipratan “cina” doang karena nenek ane Cino Toktok dalam bahasa jawanya, alias asli Chinese. Yang nikah ama pria lokal, trus berlanjutlah ke ane, hidup ditengah2 keluarga Javanese, dan pula wajah ane pun gak ada cipratan ama sekali! haha

    Dan setelah ane membaca artikel seperti ini, kok sakit ya perasaan ane?
    Kek macam jual beli hewan peliharaan cuy. Seenak jidat “jual” anak perempuan ke pria asing (ntah itu dari hongkong kek, taiwan kek, jawa kek, afrika kek, peduli ketan!)
    Ya memang tak bisa dipungkiri, semakin kesini, hidup pun juga semakin susah, tapi yo mbok jangan “jual” anak perempuan lah, kasihan mereka. Mereka punya hak untuk memilih, ntah memilih pekerjaan, jalan hidup, jodoh, bahkan religi.
    Apakah kalau dijodohkan nanti bakal keturunannya akan menjadi lebih baik? Atau malah jangan2 KDRT di negara lain.

  2. “alias belum kawin campur seperti kebanyakan etnis Tionghoa di perkotaan”
    LMAO what a joke, fyi mayoritas orang tionghoa masih kawin dengan sesamanya, sama kyk ras2 lain. Lagipula kalo dah kawin campur gak yakin gw kalo masih disebut etnis Tionghoa -_-

  3. === pontianak dot tribunnews dot com/2019/03/18/gadis-pontianak-jadi-korban-kawin-kontrak-disiksa-suami-hingga-ditahan-polisi-tiongkok ===

    Kupas tuntas kawin kontrak di Pontianak & Singkawang. Mungkin bisa dibuatkan 1 artikel khusus tersendiri untuk berita di atas.

  4. BRAVO. Artikel bersifat original, membumi, lain dari yang lain, terbuka, transparan, bersifat terus terang apa adanya sesuai dengan fakta dan kenyataan yang ada.

    Mungkin akan semakin menarik apabila judul artikelnya adalah “Kisah tragis perempuan Amoy Singkawang”.

    Jenis artikel-artikel seperti inilah yang diharapkan ada di Tionghoa.info.

    = Tan =

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?