Last Updated on 4 October 2022 by Herman Tan Manado

Dengan melihat sekilas saja, kita pasti dengan mudah dapat mengenali bangunan khas Tionghoa. Warnanya dominan merah, emas, atau hijau. Untuk rumah pribadi, warga Tionghoa Indonesia sudah banyak beralih ke bangunan modern.

Namun, arsitektur-arsitektur ala Tiongkok masih dapat dijumpai di Indonesia, terutama untuk rumah-rumah ibadah, seperti Kelenteng, Pagoda, dan Vihara.

Arsitektur Tionghoa di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh arsitektur bergaya Tiongkok Selatan. Ciri khas arsitektur Tionghoa, salah satunya adalah bentuk atap.

Arsitag menyebutkan bahwa atap khas Tionghoa memiliki tingkat kemiringan yang cukup tinggi. Bentuknya ada yang tunggal, dan ada yang atap bertumpuk.

Bangunan milik orang kaya, dan bangunan untuk kegiatan2 keagamaan berbentuk melengkung, serta dihiasi berbagai patung keramik hewan mitologi Tiongkok, seperti Naga, Macan, burung hong, kilin, dsb.

Dijelaskan dalam China Highlights, terdapat 3 Fitur Khas Arsitektur Atap Tionghoa :

Atap khas China (Foto : chinahighlights.com)

Sistem penyambungan kayu. Sistem sambung modern biasanya menggunakan bahan logam (paku). Namun, pada bangunan arsitektur Tionghoa memilih bahan kayu.

Posisi balok yang saling menyilang, saling bertautan, saling mengunci, dengan menjadikannya masuk (fit) satu sama lain; sehingga membuat bangungan tidak hanya terkesan kuat, tetapi juga indah dipandang.

Bentuk lengkungan yang anggun. Bentuk lengkungan ini muncul sejak jaman Dinasti Han (206 SM-220 M).

Bentuk ubin yang bulat. Lebih tepatnya menggunakan bentuk busur atau setengah lingkaran. Cara yang paling populer untuk mengunci ubin bundar adalah dengan menempatkan barisan ubin bertingkat di atap, kemudian barisan ubin melengkung diletakkan membentang di antara mereka, yang ujung-ujungnya di dalam ubin bertulang.

A. Fungsi Atap Bangunan Tiongkok

Contoh kompleks “perumahan” tradisional di Tiongkok. Dalam 1 kompleks seperti ini, biasanya ditempati 2-4 kepala keluarga, yang memiliki hubungan kekerabatan  (Foto : chinadaily.com.cn)

Karakteristik paling terlihat dari arsitektur tradisional Tiongkok, adalah penggunaan bahan, yang mayoritas berbahan kayu. Tembok hanya digunakan sebagai sekat antar ruangan, bukan sebagai penahan beban keseluruhan rumah.

Beberapa gambar lukisan dan ukiran juga ditambahkan pada tiang2 bangunan, membuatnya lebih indah dipandang. Hierarki pada bangunan tradisional Tiongkok juga didasarkan pada penempatan bangunan di sebuah kompleks.

Bangunan dengan pintu yang menghadap langsung ke depan, dan berada di tengah kompleks, dianggap paling penting dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang berada di sisi kiri dan kanan.

1. Drainase

Di Tiongkok, atap tidak hanya untuk menahan panas dan hujan, tetapi juga salju. Kombinasi antara garis, lengkungan, dan bentuk tengadah atap khas Tionghoa, selain untuk estetika, juga berfungsi untuk mengurangi beban salju.

David G. Kohl, dalam bukunya Chinese Architecture in The Strait Settlements and Western Malaya : Temples, Kongsis and Houses, mengatakan bahwa bentuk ini juga bertujuan agar air hujan tidak langsung jatuh ke halaman dan merusak tanah.

2. Perlindungan

Bangunan Tionghoa kuno beratap lebar, fungsinya untuk melindungi tembok dari berbagai cuaca. Namun, ini tidak cukup untuk melindungi rumah dari angin dan hujan besar. Untuk itu, diperlukan pilar-pilar yang dibuat dari batu atau kayu, agar rumah tidak terkena erosi akibat air hujan yang masuk ke rumah karena tertiup angin.

3. Simbol Hierarki

Bentuk atap juga menunjukkan simbol status pemilik bangunan. Contohnya, atap berbentuk melengkung hanya digunakan untuk istana kerajaan, terutama pada masa dinasti Ming (1368-1644 ) dan Qing (1644-1912).

Baca juga  : Kelenteng : Asal Usul dan Berbagai Jenisnya

B. Bentuk-bentuk Struktur Atap Tiongkok

Tipe Atap Tionghoa
Ilustrasi Tipe Atap Tionghoa (Ilustrasi  : digilib.isi.ac.id)

Bentuk atap Tionghoa berbeda-beda. Ada 5 bentuk atap khas, yakni :

1. Atap Jurai (Wu Tien)
2. Atap Pelana

Untuk atap pelana dibagi menjadi 2 :

♦ Atap pelana dengan dinding kayu/Hsuan Shan.
♦ Atap pelana dengan dinding tembok/Ngung Shan.

Tahukah kamu, sebagian besar bangunan di Forbidden City menghadap ke arah Selatan; hal ini disebabkan karena angin dingin yang berasal dari Utara (Foto : travelchinawith.me)

Kohl juga menjelaskan bahwa lengkung atap dan kuda-kuda pelana ditopang oleh jajaran tiang-tiang yang terbuat dari balok padat, bundar, dan persegi, sehingga membentuk kuda-kuda atap. Selain itu, terdapa 5 jenis dinding samping untuk atap pelana, yakni :

• Tangga
• Busur
• Lurus
• Lima puncak surga
• Kucing merayap

3. Kombinasi atap jurai dengan atap pelana / Hsuan Shun
4. Atap Piramida / Tsuan Tsien

4 Jenis Atap Klasik Pada Bangunan Berciri Khas Tiongkok

Terdapat beberapa jenis atap dalam arsitektur Tiongkok kuno. Setiap bentuk atap digunakan untuk jenis bangunan tertentu. Berikut empat tipe utama dalam urutan hirarki :

4 jenis atap klasik bangunan tionghoa (Ilustrasi : chinahighlights.com.com)

1. Atap Pinggul (Hip Roof)

Atap pinggul (庑 殿顶; Wu Dianding, atau 四阿顶; Sia Ding), dengan semua sisinya miring (melengkung), adalah gaya atap tradisional paling mewah, dan hanya digunakan untuk konstruksi khusus.

Ada 2 jenis atap pinggul, yakni 1 atap (single) dan 2 atap (ganda, bersusun). Atap ganda hanya digunakan terbatas pada istana2 kerajaan dan kuil2 Konfusianisme pada masa dinasti Ming (1368–1644) dan Qing (1644–1912).

2. Atap Bukit Peristirahatan (Resting Hill Roof)

Atap ‘Bukit Peristirahatan’ atau Xie Shan (歇山顶; Xie Shanding), dengan 2 sisi melengkung, menempati urutan kedua terpenting setelah atap pinggul. Mereka digunakan untuk berbagai aula penting, kuil, taman, dan bangunan resmi lainnya. Ada 2 jenis atap Xie Shan, yakni atap single dan atap ganda.

3. Atap Bukit Gantung (Hanging Hill Roof)

Atap bukit gantung (悬山顶; Xuan Shanding) hanya memiliki 2 sisi lurus yang menggantung. Mereka atap kelas tiga, setelah atap pinggul dan atap bukit peristirahatan.

Mereka adalah salah satu desain atap yang paling banyak digunakan pada bangunan2 Tiongkok. Fitur yang paling jelas adalah atap yang menutupi dinding pelana ,dengan tinggi 3/10 dari ketinggian dinding.

4. Atap Bukit Keras (Hard Hill Roof)

Atap bukit keras (硬山顶; Ying Shanding) memiliki punggungan utama, dan mengangkat tebing miring di dinding pelana. Ini merupakan atap yang bergaya paling sederhana, dengan 2 sisi yang menghadap ke depan dan belakang langsung.

Dianggap sebagai gaya atap kelas rendah di Cina, pada zaman Dinasti Ming dan Qing atap bukit keras sebagian besar digunakan pada bangunan umum.

C. Dekorasi dan Bentuk Atap Bangunan Khas Tiongkok

Menurut Kohl, bubungan atap arsitektur khas Tionghoa biasanya berupa ukiran simbol binatang atau bunga. Bubungan ini memiliki 5 jenis, yakni :

• Tipe ujung lancip
• Tipe geometri
• Tipe awan bergulung
• Tipe awan berombak
• Tipe awan meliuk

Tipe Bubungan
Tipe Bubungan Atap Tionghoa (Ilustrasi : ft.uajy.ac.id)

Baca juga : Instrumen Dalam Kelenteng

Sementara itu, China Highlights berpendapat ada 2 jenis dekorasi atap pada bangunan khas Tiongkok :

Tampak dekorasi ornamen pada bangunan atap China (Foto : chinahighlights.com)

1. Hiasan Ubin

Hiasan ini banyak ditemukan di jaman Tiongkok kuno. Ubin bertujuan sebagai pelindung dari api, tahan air, dan bagus untuk saluran pembuangan air. Hanya bangunan milik bangsawan yang atapnya boleh diwarnai kuning.

2. Hiasan Makhluk2 Mitologi

Hiasan ini sebenarnya lebih menunjukkan pada kepercayaan Tiongkok. Patung hewan mitologi ini dipercaya dapat menangkal api dan menolak bala.

Selain itu, hiasan ornamen ini juga sebagai simbol tingkat kemewahan bangunan (dan status derajat kepemilikannya). Semakin mewah, semakin besar ukuran patungnya, dan semakin banyak patung makhluk mitologi yang terpasang.

Pada bangunan Hall of Supreme Harmony (太和殿; Tai He Dian) atau aula terbesar yang terletak di dalam Kota Terlarang, Beijing, memiliki jumlah ornamen hewan terbanyak dari bangunan mana pun, yang terpasang diatapnya!

Di ke-4 sudutnya dan disetiap punggungan (tingkat atap), terdapat ornamen 10 hewan, yakni seorang pendeta yang menunggangi seekor phoenix, yang diikuti oleh seekor naga (龙; long), seekor phoenix (凤; feng), seekor singa (狮子; shizi), seekor kuda surgawi (天马; tianma), seekor kuda laut yang baik (海马; haima ), seekor singa mistis (狻猊; suanni), seekor ikan pemanggil angin & badai (狎鱼; xiayu), seekor kambing pemberani (獬豸; xiezhi), seekor kerbau yang mengusir setan (斗牛; douniu), dan seorang penjaga abadi (行什; hangshi).

Patung-patung ornamen ini umumnya terbuat dari keramik atau batu yang diukir oleh pengrajin/seniman.

D. Filosofi Struktur Atap Khas Tionghoa Indonesia

Seperti yang kita tahu, masyarakat Tionghoa memang memiliki filosofi dalam setiap hal, termasuk arsitektur. Arsitektur Tionghoa banyak dipengaruhi oleh filosofi dari kepercayaan Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme. Pemilihan bentuk dan warna, selain memiliki tujuan fungsional, juga memiliki tujuan filosofis.

Menurut tradisi Tionghoa, atap merupakan perlambang simbol surgawi, karena fungsinya melindungi siapapun yang berada di bawahnya. Karena itu, struktur atap tidak hanya diperhatikan sisi fungsinya saja, tetapi juga makna yang ingin disampaikan lewat desain tersebut.

Berikut ini beberapa contoh filosofi arsitektur atap bangunan Tionghoa di Indonesia :

1. Kelenteng Sam Poo Kong, Semarang

Kelenteng Sam Poo Kong
Kelenteng Utama Sam Poo Kong (Foto : swa.co.id)

Baca juga : Laksamana Zheng He (Cheng Ho)

Seperti yang dilansir swa.co.id, kelenteng Sam Poo Kong didirikan sekitar awal abad ke-15 dengan luas sekitar 1.000m². Kelenteng ini merupakan salah satu tempat Laksamana Cheng Ho singgah ketika ia sampai di Pulau Jawa pada abad ke-16. Patung sang Laksamana didirikan tepat di depan kelenteng, sebagai pengingat kedatangannya.

Benedicta Sophie Marcella, dalam penelitiannya mengenai Atap Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang, mengemukakan bahwa atap Tionghoa yang memiliki tingkatan, menunjukkan strata penghuninya.

Pada ruang utama tempat persembahyangan Sam Poo Kong (Cheng Hoo; Sam Po Tay Djien), atap memiliki 3 tingkatan. Makna dari atap bertingkat 3 ini menunjukkan kesakralan kelenteng utama ini, karena beliau juga dianggap sebagai leluhur. Semakin banyak tingkatan bangunan, semakin sakral bangunan tersebut.

Atap pada bangunan Kyai Nyai Tumpeng dan Kyai Tjundrik Bumi (orang2 kepercayaan Laksamana Cheng Ho selama di Jawa), yang juga berada dalam satu kompleks Kelenteng Sam Poo Kong, memiliki bubungan yang melengkung ke atas.

Hal ini memiliki makna untuk menghindarkan dari hal-hal yang buruk. Plafon kelenteng yang berbentuk horizontal dan vertikal menurut ajaran Tridharma, merupakan Tao dan De. Maknanya menunjukkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, dan hubungan horizontal manusia dengan sesamanya.

Dekorasi atau ornamen pada atap, berupa hewan berkaki 2 dan 4, bermakna memiliki tanda baik agar mendatangkan keberuntungan dan kebahagiaan. Warna atap kelenteng didominasi warna merah dan hijau.

Dalam fengshui Tionghoa, warna merah berarti kebahagiaan, sedangkan warna hijau berarti kemakmuran dan umur panjang. Selain itu, terdapat pula tambahan warna emas sebagai simbol keagungan.

2. Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta

Kelenteng Jin De Yuan
Tampak depan kelenteng Jin De Yuan/Kim Tek Ie (Foto : id.wikipedia.org)

Good News From Indonesia menyebut bahwa kelenteng Jin De Yuan atau Kim Tek Ie adalah yang tertua di Jakarta. Dibangun pada sekitar tahun 1650 oleh seorang Letnan bernama Kwee Hoen.

Pada waktu itu, kelenteng ini merupakan salah satu dari 4 kelenteng besar yang dikelola oleh Koan Koan atau Dewan Tionghoa. Kelenteng ini berada di kawasan Glodok, Tamansari, Jakarta Barat.

Pada penelitian yang berjudul Kajian Arsitektural dan Filosofis Budaya Tionghoa Pada Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta yang dilakukan oleh Dewobroto Adhiwignyo dan Bagus Handoko, ditemukan keterangan bahwa atap dari kelenteng Jin De Yuan menggunakan atap pelana berbentuk landai, dengan bidang yang cekung.

Sudut kemiringan atap masa bangunan utama sebesar kira-kira 35º.

Lengkung atap dan kuda-kuda atap pelana, ditopang oleh jajaran tiang yang terhubung langsung dengan kuda-kuda atap. Tiang-tiang kayu pada massa bangunan utama berwarna merah. Sementara, kuda-kuda atap kayu dengan beragam ornamen di atasnya, berwarna cokelat tua kehitaman.

Seperti Sam Poo Kong, atap kelenteng Jin De Yuan juga didominasi warna merah, hijau, emas, dan ditambah warna biru langit. Seperti di Sam Poo Kong, warna merah juga mewakili kebahagiaan, warna hijau untuk umur panjang, dan warna emas untuk keagungan.

Atap juga dihiasi dengan beragam ornamen hewan. Namun pada kelenteng ini, lebih banyak digambarkan mahkluk mitologi, seperti naga, yang dipadukan dengan bubungan atap model ujung meliuk.

Pada atapnya, divisualisasikan 2 ekor naga yang sedang berebut bola mutiara yang melambangkan matahari. Sepasang naga ini dimaksudkan untuk melindungi bangunan dari berbagai pengaruh jahat.

Baca juga : Asal Usul Kampung Cina (Kawasan Pecinan) di Indonesia

3. Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang

Ornamen sepasang naga ini juga dapat ditemukan di kelenteng Tay Kak Sie Semarang. Namun di kelenteng Tay Kak Sie, bukan bola mutiara yang berada di antara 2 naga ini, melainkan Hu-lu. Hu-lu adalah buah labu yang dikeringkan, biasanya untuk tempat air atau arak.

Hu-lu ini tidak dapat dipisahkan dari (cerita) seorang Dewa, yang biasanya membawa air suci, obat mujarab, atau benda pusakanya yang disimpan dalam Hu-lu. Sehingga hu-lu dipercayai memiliki kekuatan gaib untuk menjaga keseimbangan Fengshui, menangkal berbagai pengaruh jahat, dan sebagai simbol pengobatan.

Kelenteng Tay Kak Sie
Atap kelenteng Utama Tay Kak Sie dihiasi sepasang naga dan Hu-lu (Foto : indonesiakaya.com)

Di bubungan atap kelenteng Tay Kak Sie, juga dihiasi ornamen Burung Hong. Ornamen ini termasuk jarang dijumpai. Burung mitologi ini konon merupakan raja dari segala burung, bentuknya paduan dari berbagai burung (laiknya Kilin).

Dengan diletakkan di bubungan atap, mahluk ini melambangkan pokok kebajikan yaitu : ketulusan hati, keadilan, kesetiaan, dan berperi- kemanusiaan.

Hal ini dicerminkan dari 5 warna bulunya yaitu : hijau, kuning, merah, putih dan hitam. Konon kemunculan Burung Hong ini sangat jarang, hanya pada saat-saat negara makmur aman sentosa, atau kaisar yang memerintah dengan sangat bijaksana, barulah burung ini muncul.

Selain itu terdapat juga patung Dewa Angin, Dewa Petir, dan Dewa Hujan, yang menghiasi bubungan atap. Patung-patung yang terbuat dari keramik ini bermakna untuk menjaga berkah dan menangkal pengaruh jahat. Namun, karena rusak dimakan usia, berbagai patung ornamen ini sudah tidak dapat dikenali dengan baik.

Kesimpulan

Budaya Tionghoa memiliki kearifan tersendiri dalam hal arsitektur. Bangunan keagamaan, sebagai tempat peribadatan, juga memiliki fungsi sebagai cagar budaya. Makna dari bentuk, warna, dan ornamen, menggambarkan ajaran kebijaksanaan para leluhur, dan sebagai kekayaan budaya.

Terlebih lagi, gaya arsitektur ini tidak lekang meski jaman telah berganti, yang menambah nilai historis ke dalamnya; sebuah nilai yang tidak dapat diukur dengan harta.

Mari bersama melestarikan warisan budaya yang ditinggalkan oleh leluhur, dan mengajarkannya kepada generasi selanjutnya, agar kekayaan ini tidak hilang seiring waktu!

By Nabilla Khudori

Saya seorang Head of Business Development di sebuah startup. Dengan menulis, saya dapat belajar dan berbagi pengalaman dengan khalayak. Memahami budaya Tionghoa menarik bagi saya yang lahir dan besar di lingkungan yang plural. Hal ini juga menjadikan saya memiliki banyak referensi mengenai budaya dan adat Tionghoa. Meskipun begitu, saya merasa masih harus belajar lebih untuk memahami budaya Tionghoa itu sendiri.

2 thoughts on “Arsitektur Atap Tradisional Tionghoa dan Filosofinya”
  1. Saya sedang membangun rumah ibadah model Tionghoa… tapi kesulitan untuk mengaplikasikannya khususnya pada atap bagunan, mohon saran, terima kasih

    1. mungkin dilakukan simulasi pemodelan desain pada bangunannnya dulu kak, melalui 3d / maket

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?