Last Updated on 10 March 2021 by Herman Tan Manado
Pada saat dulu, kuil (kelenteng) umumnya berada di dataran tinggi, sementara masyarakat umum biasanya tinggal di kota/desa, atau di lereng gunung.
Nah, pada saat mereka mau sembahyang, mau mencari taose2 (guru2 spiritual) ini untuk berkonsultasi, mereka harus melakukan perjalanan jauh. Makanya mereka membawa perbekalan berupa makanan, seperti bakpao, ikan, ayam, babi, dsb.
Nah, begitu sampai di tempat kuilnya, kadang2 kalau taosenya ada, bisa langsung berkonsultasi, kemudian mendapatkan jawaban dari apa yang diharapkan.
Tapi ada waktu2 tertentu, taose2 ini keluar, seperti ke hutan untuk mencari dedaunan atau tanaman obat, bahkan sampai berminggu2. Karena masyarakat yang datang kesana tidak ketemu taosenya, makanan (perbekalan) yang dibawa ini mereka taruh diatas meja altar.
Inilah yang sebagian orang menganggap hal itu seperti “SESAJEN” bagi patung Dewa/i; Yang sebenarnya itu merupakan sisa perbekalan mereka, atau makanan yang mereka bawa khusus dipersembahkan kepada taose2 tadi.
Makanan mereka tadi sebenarnya bisa diambil siapa saja, oleh pengunjung kuil yang kebetulan bersembahyang disana, atau bahkan oleh pengemis di sekitar kuil.
Belakangan, menurut versi lain, samseng itu mewakili udara, darat dan laut. Ayam mewakili yang udara, kemudian babi mewakili yang di darat, lalu ikan mewakili yang di laut. Sebenarnya itu tidak benar, laiknya ilmu cocoklogi, ilmu gantung, jadi ngawur semua. Bahkan di kitab suci manapun juga tidak disebutkan adanya simbol 3 alam dalam samseng ini.
“Sembahyang BUKAN beban hidup”
Nah, inilah sekalian asal-usul dari ciamsi. Taose2 yang pintar2, yang bisa berkomunikasi dengan Dewa/i, dibuatkanlah ciamsi2 (berupa sajak atau puisi) itu, untuk dipergunakan umat yang datang untuk bertanya, lantas ditafsirkan bermacam-macam tergantung kondisi.
Kebanyakan dari generasi tua2 kita ini, tidak mau mencerna, tidak mau berpikir, nerimo saja mentah2, tidak mau menciptakan tradisi baru yang lebih baik, yang lebih simpel; akhirnya sembahyang ini dianggap menjadi BEBAN, karena harus menyiapkan ini itu yang bermacam2.
Itu sebabnya anak cucu juga mungkin lebih senang dengan ajaran agama lain, yang lebih simpel, praktis, dan modern.
“Dari jaman ke jaman, sebenarnya BUDAYA selalu bergeser, berubah dinamis mengikuti JAMANNYA. Orang sembahyang pun seharusnya juga seperti itu”
Persembahan di meja altar sembahyang, paling baik adalah buah-buahan, supaya lebih indah dilihat. Karena shenxian juga sebenarnya tidak makan buah kamu. Hal ini seperti ekspresi dari batin kita, bahwa ini lho ungkapan syukur kita. Itupun kalau ada, kalau engga ada, juga tidak apa-apa. Tidak ada hio juga tidak masalah. Sungkem saja, sudah cukup kok.
Hio sebesar gaban : Apa benar doa umat bisa lebih terkabul?
Atau hanya sebagai simbol sosial/strata manusia saja? Sebagian kelenteng yang jika ada acara sembahyang bersama, membagikan berbagai ukuran jenis hio kepada umatnya. Umat2 yang dianggap berduit, diberikan hio besar; Sementara umat2 yang tidak berduit, diberikan hio kecil.
Bukankah manusia itu sama di depan Dewa/i?
Hal ini hanya akan menimbulkan rasa/kesan eksklusif diantara umat kelenteng tersebut.
Shenxian, atau Dewa/i Tao ini pada prinsipnya SUDAH LEPAS dari dimensi ruang, waktu dan jarak. Hio itu hanya sekedar tradisi Tionghoa saja. Bahwa dengan hio itu artinya mengetok pintu surga (langit), bahwa ini aku bersujud dihadapan-Mu yang maha besar.
少點(点)香技, 少焚纸錢(钱) (Shao dian xiang ji, Shao fen zhi qian)
時代改變(变), 心城不變(变) (Shidai gai bian, Xin cheng bu bian)
纸錢减半, 神明称赞 (Zhi qian jian ban, Shenming chengzan)
Penggunaan hio2 besar, atau hio2 kecil dalam jumlah banyak juga menimbulkan asap berlebih, yang beresiko pada terbakarnya kelenteng. Sudah begitu, mata pasti akan terasa perih, karena asapnya yang berlebihan.
“Pakai 1 Hio sudah cukup. Inti sembahyang ada di hati kita”
Tapi Hio ini akhirnya berkembang menjadi KOMODITI (barang jualan).
Padahal, jika aku mau menghadap-Mu, yang maha mulia, maha besar ini, sungkem saja sudah cukup, yang penting memiliki kemantapan hati yang tulus, itu yang utama.
Jadi, daripada uang dibelikan hio yang segede kaki gajah, akan lebih baik uang itu kita sumbangkan ke yatim piatu, itu lebih bermanfaat, itu yang namanya AMAL KEBAJIKAN YANG NYATA!