Last Updated on 30 June 2023 by Herman Tan Manado
Ada beberapa legenda mengenai asal-usul Festival Hari Bakcang (端午节; Duan Wu Jie). Namun yang paling populer adalah cerita mengenai Qu Yuan (屈原). Adapun versi cerita yang lain, seperti Wu Zixu (伍子胥) dan Cao E (曹娥).
Qu Yuan (340-278 SM) adalah seorang penyair sekaligus pejabat yang diasingkan selama Periode Negara-Negara Berperang (战国时代; Zhanguo Shidai) atau Warring States Period, pada rentang tahun 475-221 SM dalam sejarah Tiongkok.
Inti ceritanya adalah ketika Qu Yuan menenggelamkan diri di Sungai Miluo (saat ini wilayah Propinsi Hunan), pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek, ketika Negara Chu (楚) yang dicintainya jatuh ke dalam kekuasaan Negara Qin (秦).
Pada waktu itu, rakyat sekitar telah putus asa dalam upaya menyelamatkan Qu Yuan, dan gagal menemukan jasadnya.
Untuk memperingati Qu Yuan, pada setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek, masyarakat menabuh genderang dan mendayung perahu di sungai (seperti yang pernah mereka lakukan dulu), dan melemparkan bakcang (bungkusan nasi dengan daging) untuk menghalau ikan2 dan roh jahat yang ada disana agar tetap menjauhi jasadnya.
Karena itulah pada hari festival Bakcang sering diadakan perlombaan mendayung perahu, (terutama di Negara2 yang memiliki kelompok masyarakat Tionghoa) yakni Festival Perahu Naga (龙舟 atau 龙船; Longzhou, Longchuan), atau Festival Peh Cun (扒船; Ba Chuan), yang artinya “Merengkuh Dayung” atau “Beratus Perahu”.
Di Tiongkok sendiri, perayaan ini merupakan hari libur Nasional, yang digelar selama 3 hari! Pada hari tersebut, masyarakat Tionghoa biasanya akan menyantap penganan khas yang bernama Zongzi (粽子). Di Indonesia, makanan ini dikenal dengan nama Bakcang, yang berasal dari dialek Hokkian (肉粽; Rou zong).
Kapan Hari Bakcang (Bakcang Day)?
• Hari Bakcang 2017 : Selasa, 30 Mei 2017
• Hari Bakcang 2018 : Senin, 18 Juni 2018
• Hari Bakcang 2019 : Jumat, 7 Juni 2019
• Hari Bakcang 2020 : Kamis, 25 Juni 2020
• Hari Bakcang 2021 : Senin, 14 Juni 2021
• Hari Bakcang 2022 : Jumat, 3 Juni 2022
Sejarah Hari Bakcang : Kisah Seorang Patriotik Qu Yuan yang Melompat ke Sungai Miluo (Tianwen; Questions to Heaven)
Dinasti Chu berdiri hingga akhir jaman Negara-Negara Berperang (704 – 223 SM), sudah tidak dominan lagi sebagai sebuah Negara pusat. Pada jaman itu ada 7 negara besar; dimana ke 7 Negara itu adalah Negara Qi, Chu, Yan, Han, Zhao, Wei dan Qin.
Diantara ke 7 Negara, Qin lah yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer yang terkuat serta agresif; maka ke 6 Negara lain itu sering bersekutu untuk bersama2 menghadapi Qin.
Qu Yuan (Hanzi : 屈原; Hokkian : Khut Guan) ialah seorang Menteri besar dan setia dari Negara Chu. Beliau hidup pada tahun 340-278 SM, dan merupakan seorang tokoh yang paling berhasil menyatukan ke-6 Negara itu untuk menghadapi Negara Qin.
Karena itu orang2 Negara Qin terus menerus berusaha menjatuhkan nama baik Qu Yuan, terutama berhadapan Raja Negara Chu, Cho Hwai Ong. Di Negara Chu ternyata banyak pula menteri2 yang tidak setia.
Dengan bantuan orang2 itu, Tio Gi, seorang Menteri negeri Qin yang cerdik dan licin berhasil meretakkan hubungan Qu Yuan dengan Raja Negara Chu.
Baca juga : Ketahui 7 Hal Mengenai Festival Perahu Naga dan Bakcang
Qu Yuan segera dipecat, dan hancurlah aliansi persatuan ke-6 negeri itu! Cho Hwai Ong bahkan terbujuk oleh janji2 yang menyenangkan, agar mau datang berkunjung ke Negara Qin. Di sana ia malah ditawan, dan menyesali perbuatannya dalam penjara sampai dia meninggal.
Raja Negara Chu yang baru, Cho Cing Siang Ong, kembali memanggil dan memberikan kepercayaan kepada Qu Yuan. Aliansi 6 Negara dapat dipersatukan kembali sekalipun tidak sekokoh dahulu. Pada tahun 293 SM, Negara Han dan Wei yang diserang Negara Qin dihancurkan dan dibinasakan.
Akibat peristiwa itu, Qu Yuan pun kembali difitnah. Qu Yuan dikatakan akan membawa Negara Chu kembali mengalami nasib yang sama seperti Negara Han dan Wei. Sang Raja pun ternyata lebih buruk kebijaksanaannya daripada Raja sebelumnya.
Ia tidak hanya memecat Qu Yuan, bahkan menjatuhi hukuman agar Qu Yuan dibuang ke daerah danau Tong Ting, dekat sungai Miluo (sekarang terletak di propinsi Hunan).
Ditempat pembuangan ini, Qu Yuan hampir2 tidak tahan. Hanya bekat kebijaksanaan kakak perempuannya, beliau dapat ditenangkan agar rela menerima keadaannya itu.
Meski demikian, beliau kadang kala tidak selalu dapat menerimanya. Maklum, walau bagaimana pun beliau adalah seorang bangsawan negeri Chu, sehingga tidak dapat melupakan tanggung jawab kepada Negara dan leluhurnya. karena itu, Qu Yuan sering merasa kesepian dan timbul kejemuan akan suasana kehidupannya.
Dalam keadaan suasana seperti itu, suatu ketika beliau berkenalan seorang nelayan, yang ternyata seseorang yang bijak. Nelayan itu menyembunyikan nama aslinya, hanya menyebut dirinya sebagai seorang nelayan biasa saja.
Dengannya, Qu Yuan akhirnya mendapatkan kawan. Mereka sering bercakap2 meski pandangan hidupnya kadang tak sejalan.
Baca juga : Ketahui 7 Hal Mengenai Festival Perahu Naga dan Bakcang
Pak Nelayan itu berprinsip, agar lebih baik meninggalkan kehidupan bermasyarakat apabila keadaannya buruk; sedangkan Qu Yuan, biar pun tidak mau tercemar oleh keserakahan dan kekotoran dunia, tetapi tetap berharap dapat mengembangkan kembali jalan kebenaran bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat.
Demikianlah Qu Yuan sangat akrab dengan nelayan itu. Ketenangan Qu Yuan kala itu dihancurkan oleh berita mengenai hancurnya ibu kota Negara Chu, tempat asal leluhurnya itu yang diserbu orang negeri Qin.
Hal ini menjadikan Qu Yuan yang telah lanjut usia itu merasa tidak berarti bagi hidup pribadinya. Setelah dirundung kebimbangan dan kesedihan, beliau memutuskan untuk menjadikan dirinya yang telah tua itu menjadi peringatan bagi rakyatnya, akan peristiwa yang sangat menyedihkan yang terjadi tanah airnya itu.
Dengan harapan, agar semoga bisa membangkitkan kembali semangat rakyatnya, menegakkan kebenaran serta mencuci bersih aib yang menimpa dirinya.
Ketika itu kebetulan bertepatan dengan hari Duan Wu. Beliau mendayung perahunya ke tengah2 sungai Miluo, lalu dinyanyikannya sajak2 ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitarnya yang mencurahkan rasa cinta tanah air dan rakyatnya.
Salah satunya adalah 天问; Tianwen¹; Questions to heaven; atau “Pertanyaan ke surga”, yang kemudian dijadikan nama misi penjelajah Tiongkok di planet Mars pada 2020.
Masyarakat sekitar banyak yang tertegun mendengar semuanya itu. Pada saat itu, beliau sampai ke perairan yang agak jauh dari kerumunan orang. Beliau akhirnya melompat ke dalam sungai yang alirannya deras dan dalam itu, tepat pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.
Beberapa orang yang melihatnya segera berusaha menolongnya, tetapi hasilnya nihil, jenazahnya pun tidak diketemukan. Seharian kawan Qu Yuan yang seorang nelayan itu, dengan menggunakan perahu2 kecil mengerahkan kawan2 nya mencari, tapi hasilnya sia-sia belaka.
Rakyat yang kemudian merasa sedih kemudian mencari2 jasad tubuh sang Menteri di sungai tersebut dengan menggunakan perahu. Mereka lalu melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan, udang, kepiting, dan aneka hewan air lainnya dalam sungai tersebut tidak mengganggu jasad tubuh Qu Yuan, sang Menteri.
Kemudian untuk menghindari makanan2 tersebut dimakan oleh sosok Naga yang dipercaya mendiami sungai tersebut, mereka membungkusnya dengan daun-daunan, yang kita kenal sebagai bakcang sekarang.
Baca juga : Festival Perahu Naga (Dragon Boat Festival)
Para nelayan yang mencari2 jasad tubuh Qu Yuan dengan berperahu, sambil menabuh genderang untuk menakuti roh2 jahat disekitar agar tidak mengganggu inilah, yang akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan perahu Naga di sungai yang diadakan setiap tahunnya.
Ini juga yang melatar-belakangi sebagian kelenteng2 di Indonesia masih mengadakan ritual membuang, melempar, atau mengarung Bakcang ke laut setiap tahunnya, pada sembahyang tanggal 05 bulan 05 Imlek.
Pada tahun2 berikutnya, kebiasaan mempersembahkan beras di dalam tempurung bambu itu diganti dengan kue dari beras ketan yang dibungkus daun bambu, yang disini kita kenal dengan nama Bakcang atau Kue Cang.
Diadakan perlombaan2 perahu yang dihiasi aneka gambar Naga, semuanya mengingatkan usaha mencari jenazah Qu Yuan, seorang pecinta tanah air dan rakyatnya. Demikianlah tiap hari raya Duan Wu selalu diadakan pula peringatan untuk Qu Yuan, seorang yang berjiwa mulia dan luhur dari negeri Chu itu.
Baca juga : Festival Perayaan BakCang (Duan Wu); Begini Sejarah dan Tradisinya!
Catatan¹ : Menurut legenda, Qu Yuan menulis rangkaian pertanyaan dalam bentuk syair, setelah melihat berbagai peristiwa yang dilukiskan pada lukisan2 dinding sebuah kuil.
Konon hal tersebut terjadi setelah Ia diusir dari istana Chu. Qu Yuan yang melihat lukisan2 para leluhur dan Dewa pada dinding kuil leluhur Chu, kemudian menulis serangkaian pertanyaan kepada Langit pada dinding yang sama sebagai tanggapan, yang kemudian dikenal sebagai Tianwen (天问).
Tianwen sendiri tersusun atas 172 rangkaian bait pertanyaan tanpa jawaban. Pertanyaan2 tersebut umumnya menanyakan seputar mitologi dan kepercayaan Tiongkok kuno. Pertanyaan2 tersebut merupakan faktor yang membuat Tianwen disebut sebagai “harta karun tertulis mengenai mitologi Tiongkok”, atau “dokumen paling berharga dalam mitologi Tiongkok”.
Terlepas dari popularitas Qu Yuan diatas, di ex wilayah Kerajaan Wu (吳), festival tersebut memperingati Wu Zixu 伍子胥 (wafat 484 SM), seorang Perdana Menteri Kerajaan Wu pada periode Musim Semi dan Musim Gugur (722–481 SM).
Xi Shi (西施), seorang wanita cantik yang dikirim oleh Raja Goujian (勾踐) dari Kerajaan Yue (越), sangat dicintai oleh Raja Fuchai (夫差) dari Wu.
Sebagai info, Xi Shi sendiri adalah salah satu dari 4 wanita cantik di jaman Tiongkok kuno (四大美人; Se Da Mei Ni), bersama Wang Zhaojun, Diao Chan, dan Yang Guifei.
Wu Zixu, melihat plot berbahaya dari Raja Goujian, memperingatkan Raja Fuchai, yang menjadi marah pada pernyataannya. Wu Zixu dipaksa bunuh diri oleh Fuchai, dan tubuhnya dibuang ke sungai pada hari ke-5 bulan ke-5.
Setelah kematiannya, beliau telah menjadi role model kesetiaan dalam budaya Tiongkok. Di tempat2 seperti Suzhou, Wu Zixu dikenang selama festival Perahu Naga.
Lalu, meskipun Wu Zixu terkenal dan diperingati di wilayah Jiangsu tenggara, dan Qu Yuan dikenal di seluruh penjuru di Tiongkok, di wilayah2 timur laut Zhejiang, termasuk kota Shaoxing, Ningbo, dan Zhoushan, justru mengenang seorang gadis muda yang bernama Cao E 曹娥 (130–144 M).
Ayah Cao E, Cao Xu (曹盱) adalah seorang dukun (Tao dari Sekte Kuning Yellow; 黄教的道士) yang memimpin upacara di Shangyu (sebuah kabupaten di timur laut Zhejiang). Pada tahun 143 M, saat memimpin upacara memperingati Wu Zixu selama Festival Perahu Naga, Cao Xu secara tidak sengaja jatuh ke Sungai Shun.
Cao E, dalam tindakan baktinya, memutuskan untuk mencari ayahnya di sepanjang sungai. Setelah 5 hari, dia akhirnya menemukan ayahnya yang telah tewas karena tenggelam. 8 tahun kemudian (151 M) sebuah kuil dibangun di Shangyu, didedikasikan untuk mengenang Cao E karena baktinya.
Nama sungai Shun juga diganti menjadi Sungai Cao’e untuk menghormatinya.
Catatan :
Qu Yuan bisa dibilang lebih hebat daripada pejabat militer. Karena saat itu, Raja dan semua pejabat kerajaannya sangat korup dan jahat terhadap rakyatnya sendiri. Hanya Qu Yuan, seorang pejabat bersih yang tidak memiliki pasukan, jadi tidak bisa memberontak.
Karena beliau berasal dari kalangan cendekiawan, maka beliau mencari cara lain, yakni dengan meninggalkan syair2 yang bisa menggugah perlawanan rakyatnya, setelah itu bunuh diri dengan melompat ke sungai. Makanya ada pepatah yang berbunyi “Pena lebih tajam daripada Pedang.”