Last Updated on 6 April 2021 by Herman Tan Manado

Kampung Cina, atau dikenal juga dengan istilah Pecinan (唐人街; Tángrénjiē) adalah pemukiman yang awalnya “dikhususkan” bagi masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia.

Dalam bahasa Inggris, terdapat pula istilah yang merujuk pada kata tersebut, yakni Chinatown. Chinatown tidak hanya ada di Indonesia, melainkan juga terdapat di berbagai Negara, misalnya saja pecinan di Melbourne, Australia dan pecinan di Yowarat, Bangkok, Thailand.

A. Asal-usul Kampung Cina (Pecinan) di Indonesia

Tiongkok adalah Negara dengan penduduk terbanyak di dunia. Orang Tiongkok juga dikenal gemar merantau untuk mencari penghidupan yg lebih baik (umumnya berdagang).

Sejak akhir kejatuhan dinasti China yang terakhir (Dinasti Qing; 1912) hingga di saat era Mao Zedong (194 s/d 1976), kala itu Tiongkok benar-benar miskin, bahkan lebih miskin dari Indonesia!

Banyak Dalih, Susah Maju! – Dahlan Iskan

Baca juga : Banyak Dalih, Susah Maju! Inilah 9 Prinsip Hidup Sukses Dimana Saja Ala Orang Tionghoa!

Fakta ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak orang Tiongkok merantau dan menetap di berbagai Negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia, hingga di Asia Tenggara, seperti di Singapore (75% chinese descendant), Malaysia (23% chinese descendant), termasuk Indonesia (1,2% chinese descendant).

Sama seperti orang India yang terkesan ada dimana-mana, begitu pula orang Tiongkok yang menyebar di segala tempat, di 4 penjuru dunia!

Bangsa Tiongkok mulai masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 dan mulai menetap sekitar abad ke-11. Sebenarnya, Indonesia bukanlah tujuan utama dari penjelajahan bangsa Tiongkok. Akan tetapi, letak Indonesia yang strategis dalam jalur perdagangan dunia, menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki posisi penting.

Maka dari itulah, banyak kapal dagang / perantau datang singgah ke Indonesia. Pada masa itu, sebagian dari perantau awalnya tinggal di pesisir barat Kalimantan Barat, pesisir Timur Sumatera Utara dan Riau (wilayah Malaya).

Ilustrasi alur migrasi kedatangan bangsa Tiongkok ke Asia Tenggara

Baru pada abad ke-14, aktivitas perdagangan mendorong warga Tiongkok untuk mengeksplor lebih dalam ke berbagai wilayah baru, hingga akhirnya bermigrasi ke pulau Jawa.

Pada abad-abad selanjutnya, mulai terbentuk kawasan wilayah (basis) yang penduduknya didominasi oleh etnis Tionghoa. Kawasan ini berada di daerah pantai utara Jawa, Palembang dan Surabaya.

Para perantau biasanya ke sini untuk mencari pelabuhan. Jadi, sambil menunggu musim untuk kembali ke negara asal, mereka akan menetap di kota.

Salah satu faktor yang memantapkan masyarakat Tiongkok untuk menetap di Indonesia, adalah berasal dari ekspedisi Laksamana Zheng He (鄭和), atau Cheng Ho, ke beberapa kota yang ada di pesisir pantai utara Jawa ini. Ekspedisi laksamana Cheng Ho dilakukan pada tahun 1405 hingga 1433.

Semenjak ekspedisi itu, bangsa Tiongkok berangsur-angsur datang dan berkembang pesat di wilayah Indonesia.

Baca juga : Laksamana Zheng He (Cheng Ho)

Masyarakat Tiongkok di pulau Jawa semakin banyak dari waktu ke waktu. Berdasarkan survei yg dilakukan pada awal tahun 1800-an, jumlah pendatang Tiongkok yg tinggal disana awalnya hanya sekitar 100 ribu jiwa. Namun kemudian berkembang 5x lipat di akhir tahun 1800-an tersebut, menjadi ±500 ribu jiwa.

Pada awal 1900-an juga merupakan puncak perkembangan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Mereka terus berdatangan, mulai beranak pinak dan bahkan kawin campur dengan masyarakat lokal.

Karena perkembangan (jumlah penduduk) mereka yang begitu pesat dan mulai mendominasi perdagangan, pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu akhirnya melakukan langkah penertiban, yakni dengan membangun kawasan khusus untuk mereka, mengonsentrasikan masyarakat Tionghoa ke kawasan baru tersebut.

Kawasan khusus untuk orang Tionghoa itulah yang kelak dinamakan Kampung Cina atau Pecinan.

Berikut ini adalah 2 faktor terbentuknya pecinan di berbagai wilayah Indonesia :

1. Faktor Politik

Pada jaman Hindia-Belanda, pemerintah berusaha mengatur penduduk dengan cara mengelompokkan mereka berdasarkan RAS. Hal ini dilakukan agar pengaturan dan pengawasan lebih mudah. Tidak hanya ras China saja yang diberlakukan peraturan ini, tetapi juga ras lain, seperti ras orang kulit putih dari Eropa, dan ras pribumi.

Salah satu contohnya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh wijkenstelsel pada tahun 1836. Peraturan ini memaksa penduduk yang memiliki etnis tertentu untuk tinggal di wilayah yang sudah ditentukan pemerintah Hindia Belanda.

Peraturan ini mengharuskan warga Tionghoa (beserta keturunannya) untuk ditempatkan di suatu wilayah yang sama. Nah, inilah cikal bakal berkembangnya wilayah pecinan di berbagai kota di Indonesia. Hanya saja, ada yang mengatakan bahwa pada masa itu kawasan pecinan memiliki penjagaan yang ketat.

Bahkan seseorang harus mendapat ijin untuk keluar masuk daerah pecinan. Para penduduknya pun harus meminta surat jalan apabila ingin keluar dari daerah tersebut. Sikap pemerintah ini membuat ruang gerak masyarakat Tionghoa menjadi terbatas, dan aktifitas mereka hanya terpusat di kawasan pecinan saja.

Baca juga : Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian Historis Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)

Salah satu contohnya adalah pecinan yang ada di daerah Semarang. Pada tahun 1740, banyak etnis Tionghoa yang memberontak terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Akibat dari pemberontakan ini, warga Tionghoa kemudian dipindahkan dan dikumpulkan ke kawasan Semarang tengah, dari yang semula tinggal di daerah Gedong Batu.

Pemindahan ini dilakukan supaya pengawasan terhadap warga Tionghoa lebih mudah.

Selain untuk hal pengawasan, pemerintah kala itu juga sengaja mengembangkan kawasan pecinan untuk memperluas jalur distribusi hasil bumi, serta untuk mencegah mereka agar tidak interaksi dengan masyarakat pribumi (melakukan kerjasama tindakan makar).

2. Faktor Sosial

Selain faktor politik, faktor sosial juga memiliki peran berkembangnya pecinan di berbagai daerah. Faktor sosial ini timbul dari kehendak warga Tionghoa sendiri, supaya dikumpulkan bersama warga lain yang se-etnis.

Sama seperti kelompok etnis lain yang lebih suka berkumpul dengan orang2 se-etnis, warga Tionghoa juga merasa lebih aman dan nyaman ketika bersama dengan orang2 yang memiliki latar belakang, kebiasaan, dan bahasa yang sama (perantauan).

Mungkin akan banyak yang menilai bahwa keinginan ini merupakan tanda bahwa warga Tionghoa bersifat tertutup, eksklusif, dan terkesan tidak mau berbaur dengan masyarakat lokal. Tapi sebenarnya sikap ini juga terjadi pada etnis mana pun; misalnya saja dengan terbentuknya kampung India di Medan.

Seiring berjalannya waktu, banyak kawasan pecinan yang kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan perekonomian; seperti kawasan Glodok di Jakarta.

Mungkin fakta ini sudah bukan hal asing lagi. sebab dengan melihat lingkungan sekitar saja ,kita bisa menilai bahwa orang Tionghoa gemar berdagang. Di kawasan pecinan ini, biasanya berjejer toko-toko, bahkan ruko-ruko bertingkat, sebagai tempat warga Tionghoa beraktivitas, baik untuk kegiatan sehari-hari (tempat tinggal) maupun untuk berdagang.

Baca juga : Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian Historis Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian II)

Saat ini bentuk RUKO (rumah toko) lebih berciri minimalis, dengan 2 atau 3 lantai. Lantai bawah sebagai tempat untuk berdagang, sedangkan di lantai 2 dan 3 digunakan sebagai tempat tinggal.

Adanya kawasan pecinan (kampung cina) memberi keleluasaan bagi warga Tionghoa untuk mempertahankan kultur budayanya. Oleh karena itulah, saat masuk ke kawasan pecinan, budaya Tionghoa akan terasa sangat kental.

Tak jarang tercium aroma dupa, karena di kawasan ini pasti terdapat beberapa kelenteng atau vihara, yang digunakan sebagai tempat sembahyang dan tempat berkumpulnya komunitas warga Tionghoa.

Berisi bangunan-bangunan tua yang artistik, membuat berbagai kawasan pecinan / kampung cina di Indonesia sering dimanfaatkan pemerintah daerah/kota sebagai tempat wisata lokal.

Kini, hampir semua kota besar memiliki daerah pecinan. Di pulau Jawa sendiri hampir di setiap kota memiliki pecinan, bahkan sampai kota-kota kecil, dengan usia yang terbilang masih muda. Masing-masing pecinan memiliki sejarahnya sendiri. Dan di sini kami juga akan membagikan 5 contoh pecinan di Indonesia. Maka dari itu, simak terus ya 🙂

B. Contoh Kawasan Pecinan / Kampung Cina di Indonesia

1. Kawasan Pecinan Glodok, Jakarta

Kawasan pecinan Glodok (Foto : jakarta.panduanwisata.id)

Siapa yang tidak tahu daerah ini. Glodok adalah salah satu pecinan paling populer di Indonesia. Kawasan ini sangat kental akan budaya khas China nya, dan merupakan salah satu area bersejarah di Jakarta.

Oleh karena itu, kawasan pecinan Glodok juga dijadikan sebagai tempat wisata lokal oleh pemerintah kota. Apabila ingin mengenal budaya Tionghoa, tempat ini cocok untuk dikunjungi.

Saat masuk ke area pecinan ini, kamu akan langsung disajikan dengan pemandangan bangunan dan ornamen khas negeri tirai bambu. Di sini juga berjejer para pedagang yang menjual berbagai macam makanan khas Tionghoa.

Selain itu, kawasan pecinan Glodok juga dikenal sebagai daerah yang menjual barang elektronik dengan harga miring.

2. Kawasan Pecinan Singkawang, Kalimantan Barat

Tugu Naga di Singkawang, icon utama kota Singkawang

Salah satu hal yang selalu menarik perhatian dari kawasan pecinan di Singkawang adalah Festival Cap Go Meh yang diadakan setiap tahun. Banyak yang menilai bahwa festival Cap Go Meh di kawasan tersebut adalah yang terbesar di Asia Tenggara, sehingga terkenal sampai ke turis mancanegara.

Bukan hal yang aneh sebenarnya, mengingat bahwa mayoritas penduduk Singkawang adalah warga Tionghoa (71,2%, survei 2000).

Bahkan, Singkawang juga memiliki sebutan Kota Seribu Kelenteng (atau 1000 tatung) karena banyaknya kelenteng yang ada di sana. Dari 11 kelenteng besar yang ada di sana, ada 1 kelenteng paling populer, yaitu kelenteng Sam poo Kong. Di kelenteng ini tersimpan jangkar dan kemudi kepunyaan Laksamana Cheng Ho.

Baca juga : Tjhai Chui Mie : Walikota Wanita Tionghoa Pertama di Indonesia, Ahoknya Versi Wanita!

3. Kawasan Pecinan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah

Tampak streetfood yang terletak di kawasan pecinan kota Lama, Semarang (Foto : Jejakpiknik.com)

Semarang juga merupakan kota bersejarah yang meninggalkan banyak bangunan bersejarah, misalnya saja Lawang Sewu, Gereja Blenduk, dan Tugu Muda. Kota ini juga memiliki berbagai macam makanan khas.

Nah, buat kamu yang suka kuliner plus traveling, bisa banget mengunjungi kawasan pecinan yang satu ini. Selain bisa mengenal budaya Tionghoa, kamu juga bisa menikmati kuliner yang ada di sana.

Kawasan pecinan ini memiliki Pasar Semawis yang buka setiap akhir pekan, lebih tepatnya hari Jumat, Sabtu, dan Minggu.

Saat hari itu, di kawasan pecinan kota lama Semarang ini akan berjejer puluhan tenda yang menjual streetfood (kuliner khas kaki lima) khas Semarang. Berbagai macam jajanan malam, mulai dari yang berat sampai yang ringan tersedia di sini.

Makanan yang dijual bervariasi, baik makanan khas Tionghoa, jajanan Jawa, dsb. Bahkan, pasar ini juga disebut-sebut sebagai salah satu pasar streetfood terbaik di Indonesia.

4. Kampung Pecinan, Solo

Kawasan pecinan Solo

Ada yang berbeda dengan kawasan pecinan di Solo ini. Suasana berbeda yang akan kamu saksikan adalah adanya perpaduan budaya khas China dan Jawa, mulai dari adat istiadat, arsitektur, hingga kuliner.

Kampung pecinan yang bernama Kepanjen ini terletak di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Brebes. Di sini kamu bisa melihat 2 budaya yang menyatu (akulturasi budaya). Banyaknya pernikahan campur antar kedua etnis tersebut menandakan sikap toleransi yang besar dan saling menerima.

Dari pernikahan, terjadilah akulturasi dari 2 budaya yang berbeda. Kampung pecinan Solo ini juga sering mengadakan kegiatan kebudayaan, baik budaya Tionghoa maupun Jawa secara bersama-sama.

5. Kawasan Pecinan Kya-Kya Surabaya – Jawa Timur

Tampak kawasan pecinan Kya-Kya, Surabaya (Foto : pesona.travel.com)

Pecinan Kya-Kya adalah pecinan yang dibangun saat jaman Hindia-Belanda untuk mengawasi aktivitas warga Tionghoa di Surabaya. Kya-Kya, begitulah kampung pecinan ini dinamai, diambil dari bahasa Hokkian yang memiliki arti “jalan-jalan”.

Sebuah nama yang tepat untuk mendeskripsikan kawasan ini, sebab di sini kamu dapat berburu berbagai macam makanan khas Tionghoa. Kamu juga bisa menyaksikan beberapa arsitektur bangunan bergaya khas China, yang masih dipertahankan sampai sekarang.

Baca juga : Ke Jawa Timur? Jangan Lupa Mampir ke 8 Objek Wisata Bernuansa Tiongkok Ini!

Daerah ini pernah menjadi favorit warga lokal beberapa tahun silam. Dulu ada pasar malam, sehingga pecinan ini selalu ramai pada malam hari. Namun sayangnya, kini pecinan Kya-Kya ini mulai sepi, sehingga pemerintah kota menyarankan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya merevitalisasi kembali daerah ini.

Nah, mungkin sekian dulu ulasan mengenai asal-usul pecinan dan beberapa contoh pecinan di Indonesia. Semoga ulasan ini menghibur dan menambah wawasan bagi para pembaca. Terima kasih.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?