Terlindung, dibatasi, dan terasing.
Itulah 3 kata yang akan saya gunakan untuk menggambarkan pengalaman hidup saya sebagai orang Tionghoa di Indonesia yang lahir setelah tahun 1998, tahun dimana Indonesia mulai bertransisi dari pemerintahan otoriter menjadi demokrasi, walaupun tidak sempurna.
“Terlindung” dari masyarakat Indonesia yang lebih luas, terikat atas nama “perlindungan” saya, dan “terasing” dari kebenaran di balik fakta2 sejarah dan identitas etnis saya. Kerusuhan Mei 1998 sangatlah asing bagi saya.
Saya telah mendengar orang2 menceritakan kisah2 seperti itu secara rahasia selama bertahun2. Mulai dari kisah kehancuran rakyat Indonesia yang salah arah, hingga peringatan halus yang tak terucapkan, bahwa kita seharusnya tidak boleh membicarakan masa lalu yang berdarah, atau mengambil tindakan apa pun sehubungan dengan insiden itu.
Indoktrinasi bertahun2 tertanam di benak para pemuda Tionghoa di Indonesia, kemudian disusul dengan ketidaktahuan kita untuk mengetahui lebih jauh bab sejarah Indonesia itu.
“Yah, bagaimanapun juga itu terjadi.” Beberapa orang (termasuk Anda) mungkin mengatakan tidak ada lagi yang bisa dilakukan, dan kami harus terus maju (move on). Persis seperti warisan sejarah traumatis yang sekarang ditinggalkan oleh kita etnis Tionghoa.
Bahkan ketika saya menulis ini, saya tidak dapat melepaskan diri dari ketidaknyamanan dan rasa sakit dalam mengenang dan mengingat peristiwa tragis, yang bahkan bukan bagian dari diri saya.
Baca juga : Kerusuhan Mei 1998 : Inilah Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa di Indonesia!
Ini membuktikan kepada saya bahwa kerusuhan itu tidak hanya merusak mata pencaharian banyak keluarga Tionghoa, namun justru lebih dalam lagi, ke dalam mentalitas anak2 muda Tionghoa saat ini.
Ketika saya bertanya kepada orang2 yang juga lahir setelah tahun 1998, jawabannya sangat mirip. Ya, kami mengakui bahwa peristiwa itu terjadi. Ya, kami mengakui bahwa kami mengalami kerugian. Dan ya, kami, atau lebih tepatnya, keluarga kami, mengalami pergumulan finansial atau sosial setelah kerusuhan.
Namun ketika ditanya bagaimana kami sebenarnya mendefinisikan peristiwa ini, kami tidak memiliki jawaban yang nyata, karena kami tidak berada di sana, dan kami tidak mengalami kejadian itu secara langsung. Bagaimana kita bisa mulai berhubungan sejak awal?
“Yah, menurut pengalaman saya, kerusuhan Mei 98 tidak relevan bagi saya, karena saya tidak mengerti situasinya, meskipun saya pernah mendengar tentang betapa buruknya itu. Saya tidak bermaksud masa bodoh” kata salah satu teman saya tentang hal itu.
Orang lain yang saya ajak bicara berkata: “Jujur, saya tidak merasakan trauma itu. Itu sebabnya saya tidak memiliki kapasitas untuk memahami diskriminasi.”
Maka lahirlah generasi baru yang lupa dan tidak peduli dengan kejadian kerusuhan yang terjadi. Generasi yang tidak menyadari makna sejarah dan budayanya.
Ini tentu saja bukan salah kami. Tapi setidaknya bagi saya, menjadi tanggung jawab kita untuk mengingat dan merawatnya. Kami berutang banyak kepada orang2 kami (etnis Tionghoa), karena ini adalah budaya kami, sejarah kami. Jika bukan kita, lalu siapa yang akan melakukannya lagi?
Baca juga : Peristiwa Mei 1998 di Jakarta; Titik Terendah Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia
Sebelum menyelami alasan mengapa saya pikir kita harus peduli dengan peristiwa tragis ini, saya mencoba memahami mengapa masalah ini tidak pernah muncul sejak awal, yang mengakibatkan sikap apatis pada pemuda/i Tionghoa saat ini.
Terlepas dari aturan “jangan pernah membicarakan ini” yang telah menjadi semacam tren pada budaya Tionghoa-Indonesia, yang berperan besar dalam membentuk pola pikir, kepribadian, dan kurangnya pemahaman kita tentang budaya kita.
Faktor lain yang saya sadari berperan penting, adalah kelalaian kita sendiri dalam tidak mengambil bagian untuk mengetahui lebih banyak tentang identitas kita sendiri.
Untuk memulai, mari kita uraikan mengapa itu penting untuk kita ingat. Secara etika, sebagai manusia, kita tidak boleh melupakan sejarah kita. Itu adalah bagian dari keberadaan dan alam kita.
“Pengetahuan tentang masa lalu sangat penting bagi masyarakat. Tanpa pengetahuan tentang masa lalu, kita tidak akan memiliki identitas, kita akan tersesat dalam lautan waktu yang tak berujung,” dikutip dari dasar-dasar sejarah oleh Arthur Marwick.
Secara politis, penting bagi kita semua untuk mengakui dan memahami, bahwa yang bersifat pribadi sebenarnya bersifat politis. Ketika kita memutuskan untuk menjadikan diri kita layak atas hak2 kita, kita mulai melihat diri kita secara lebih mendalam.
Kita mulai menyadari adanya perbedaan dan lapisan yang ada dalam masyarakat kita, dan memahami bahwa masyarakat pada dasarnya (bersifat) korup.
Baca juga : Kehidupan Masyarakat Tionghoa Setelah Kerusuhan Mei 1998; Hidup Dibalik Rumah Berterali Besi
Jadi dengan kasus sejarah kita, penting untuk kita sadari, karena membantu kita melihat diskriminasi dan manipulasi yang kita hadapi sebagai orang Tionghoa di Indonesia saat ini.
Dengan mengingat dan memahami peristiwa2 tragis seperti Mei 98, kita dapat membantu mencegah potensi masalah apa pun yang dapat terjadi ke kita, dan pada gilirannya, mengarahkan tempat dan tindakan kita dalam masyarakat dalam hal kesetaraan dan keadilan.
“Mengapa penting bagi kita untuk peduli?” Anda mungkin akan bertanya2. Tapi pertanyaan sebenarnya adalah : Bagaimana bisa kita tidak peduli? Meski hanya sedikit yang bisa kita lakukan. Tapi respon kita harus ditentukan oleh apa yang kita lakukan dengannya.
Kita tidak boleh melupakan kerugian dan korban kerusuhan Mei 98. Mereka adalah orang2 nyata, dengan kehidupan yang disalahgunakan dan dibawa pergi hanya karena menjadi bagian dari “etnis yang salah.”
Ketika Anda memutuskan untuk tidak peduli, Anda secara implisit setuju dan menerima segala tindakan diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada (etnis) Anda, membuat Anda bersedia menjadi peserta dalam sistem yang rasis dan curang ini.
Meski lahir dari konflik dan diskriminasi, generasi muda Tionghoa, menurut saya menerima apa yang bisa menjadi cara hidup paling substansial dan mendalam sebagai orang Tionghoa-Indonesia sejauh ini.
Sebagian besar dari kita tumbuh dengan hak istimewa yang selalu sulit dipahami, seperti tersedianya pilihan dan lingkungan yang lebih “ramah” daripada pendahulu2 kita. Hal ini membuat saya menjadi lebih menghargai orang tua dan leluhur kita, meskipun ya, bukan berarti mereka tidak sepenuhnya benar.
Baca juga : Kaum Muda Jangan Lupakan Tragedi Mei 1998
Tapi tindakan yang mereka ambil itulah yang membuat kita tetap relevan dan hidup di Indonesia saat ini. Apa berikutnya? Terserah kita untuk memutuskan.
Ditulis oleh : Jesslyn Tania – Suara Peranakan
Diterjemahkan seadanya oleh : mimin
#jasmerah
DISKRIMINASI, ini Karena PEMBIARAN oleh pemerintah, masyarakat dijejali doktrin yg salah oleh pemuka pemuka agama, sehingga masyarakat membenci keturunan Tionghoa, dan provokator peristiwa 98 itu yg MENGHANCURKAN etnis Tionghoa di Indonesia adalah sejak dibiarkanya Islam garis keras mendominasi. Saya sangat sedih memikirkan bahwa Indonesia masih seperti itu, tidak membiarkan hidup damai berdampingan berbeda etnis agama dan suku, Karena banyak orang benar dan jujur yg berdiam diri tidak mau bicara.