Last Updated on 31 December 2022 by Herman Tan Manado
Agama Buddha dianut sekitar 535 juta orang pada 2010-an, mewakili ±10% dari total populasi dunia. Berdasarkan data Sensus ppenduduk terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah umat Buddha di Indonesia ±1,7 juta orang¹, atau sekitar 0,72% dari total penduduk.
Sayangnya, dalam data terbaru Sensus Penduduk 2020 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistis pada 21 Januari 2021, sudah TIDAK LAGI mencantumkan jumlah persentase penganut agama di Indonesia, dan jumlah persentase kelompok suku bangsa di Indonesia².
Menurut Pew Research Center, Tiongkok adalah negara dengan populasi penganut Buddha terbesar dengan 244 juta orang, atau 18.2% dari total populasinya. Mayoritas dari mereka adalah pengikut Mahayana, aliran Buddha terbesar di dunia.
Aliran Mahayana utamanya tersebar di wilayah Asia Timur dan Tenggara, dimana dipeluk lebih dari ½ populasi umat Buddha di dunia.
Aliran Buddha terbesar ke-2 adalah Theravada, yang sebagian besar terkonsentrasi di negara2 Asia Tenggara, terutama Thailand dan Myanmar. Sementara aliran Buddha terbesar ke-3 adalah Vajrayana, yang kebanyakan dipeluk oleh masyarakat Tibet, Himalaya, Bhutan dan Mongolia.
Menurut analisis demografi yang di publish Peter Harvey (2013), Buddha Timur (Mahayana) memiliki 360 juta pengikut, Buddha Selatan (Theravada) memiliki 150 juta pengikut, dan Buddha Utara (Vajrayana) memiliki 18.2 juta pengikut. Sebanyak 7 juta umat Buddha lainnya tinggal di luar benua Asia.
Baca juga : Andrei Angouw; Walikota yang Beragama Konghucu Pertama di Indonesia!
Dari total tersebut, sekitar ¼ atau 24,82% masyarakat Indonesia yang beragama Buddha masuk dalam kelompok usia tua, atau di atas 50 tahun.
Angka di kelompok tersebut (50+) adalah yang terbesar jika dibandingkan agama lainnya, dimana Islam proporsinya sebesar 16,04%, Kristen 14,36%, dan Katolik 15,64%.
Besarnya porsi masyarakat pemeluk agama Buddha yang berusia lanjut inilah yang menjadi indikasi telah terjadi penurunan populasi penganut agama Buddha di Indonesia. Pertumbuhan yang cenderung menurun pun menjadikan umat Buddha selalu menjadi kelompok minoritas di Indonesia.
Baca juga : Berapa Jumlah populasi Etnis Tionghoa di Indonesia?
Jika melihat peta persebarannya, umat Buddha paling banyak terkonsentrasi di ibukota Jakarta, dengan jumlah 317 ribu orang.
Di tempat ke-2 ada Sumatera Utara, dengan jumlah sekitar 303 ribu orang, dimana sebagian besar terkonsentrasi di kota Medan dengan jumlah 184.807 orang.
Sementara Kalimantan Barat berada di urutan ke-3 dengan jumlah 237.741 orang. Pontianak dan Singkawang merupakan wilayah dengan jumlah penganut Buddha terbanyak. Di Singkawang, jumlah penganut agama Buddha menempati urutan kedua setelah Islam, dengan jumlah 55.363 orang (29,7%).
Agama Buddha memang berkembang pesat di kota Singkawang. Ini terlihat dari banyaknya bangunan Vihara (Wihara), yang merupakan rumah ibadah agama Buddha. Berdasarkan data pemerintah kota Singkawang per 2017, pada tahun 2012, jumlah vihara sebanyak 23 buah, meningkat jadi 60 buah pada tahun 2016.
Baca juga : Tjhai Chui Mie, Walikota Wanita Tionghoa Pertama di Indonesia, Ahoknya Versi Wanita!
Penyebaran agama Buddha di Indonesia hampir sama dengan basis2 kantong etnis Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa di Indonesia sendiri diketahui sudah bermigrasi ke Nusantara sejak abad ke-7.
Berdasarkan data sensus penduduk (SP) tahun 2010, WNI yang masih mengaku dirinya sebagai “etnis Tionghoa” hanya sebesar 2.832.510 orang; atau sekitar 1,20% dari total penduduk Indonesia sebesar 236.728.379 orang.
Sebagai catatan, definisi “etnis” yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang di sensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat dianggap sebagai batas bawah (lowerbound), karena banyak warga Tionghoa kini sudah enggan mengakui bahwa dirinya adalah ‘Tionghoa’ dalam pengisian Sensus Penduduk (SP).
Hal ini disebabkan karena proses asimilasi (pembauran 2 kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru), dan proses amalgamasi (perkawinan campur antar etnis) yang digalakkan pemerintah selama 5 dekade terakhir, terutama pada era Orde Baru (1967-1998).
Ini menarik, karena berdasarkan data sumber perpustakaan Universitas Ohio tahun 2000, jumlah suku Tionghoa di Indonesia diperkirakan mencapai ±7.310.000 orang, yang menempati peringkat ke-3 setelah suku Jawa dan Sunda. Jumlah ini merupakan komunitas etnis Tionghoa terbesar yang berada di luar daratan Tiongkok!
Hal ini dikuatkan Wikipedia (versi lama), yang pernah mencantumkan populasi Tionghoa di Indonesia di urutan ke-3 (per tanggal 19 Januari 2015).
Baca juga : Berapa Jumlah populasi Etnis Tionghoa di Indonesia?
Catatan :
1. Perlu dicatat, bahwa jumlah penganut agama Buddha di Indonesia yang tercantum pada data SP-BPS 2010 belum bisa dianggap valid, karena sistem perpolitikan di Indonesia yang belum mengakomodinir agama Taoisme, yang mayoritas umatnya bersembahyang di kelenteng2.
Mayoritas etnis Tionghoa yang beragama leluhur juga lebih memilih mencantumkan “Buddha” di kolom KTP nya, alih2 mengisi kolom agama kepercayaan lainnya, untuk menghindari birokrasi yang rumit kedepannya.
Di masyarakat, sering terjadi salah kaprah antara Vihara dan Kelenteng, yang dianggap sama (milik Buddha). Hal ini lumrah, karena di lapangan banyak sekali nama kelenteng yang menggunakan kata “vihara” atau “wihara”.
2. Tapi masih tidak disebutkan, apakah data yang dirilis BPS ini sudah bersifat final, atau ada data2 susulan lain yang lebih rinci, yang akan dikeluarkan pada waktu2 mendatang. Artikel ini akan diperbaharui secara berlaka jika ada tambahan informasi data2 baru. So, jangan lupa bookmark halaman ini!
Padahal dalam survei online Sensus Penduduk yang berlangsung pada 15 Februari s/d 29 Mei 2020 (51,4 juta partisipan, 19%), dan dalam survei lapangan (door to door) yang dilaksanakan sepanjang bulan September 2020 (sisanya, 81%), terdapat pertanyaan yang menanyakan AGAMA yang dianut dan SUKU kepada responden.
Namun sepertinya itu hanya akan menjadi konsumsi pribadi saja (pemerintah) sebagai penentu kebijakan.
Hal ini menarik, karena dengan tidak dicantumkannya jumlah suku bangsa (terutama etnis Tionghoa) dan penganut agama (terutama agama2 minoritas), sepertinya pemerintah sedang membangun citra baru, seperti “Indonesia Satu”, yang masyarakatnya tidak lagi terkotak2 dalam urusan SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).