Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado

Minum teh telah menjadi semacam ritual di kalangan masyarakat Tionghoa. Di Tiongkok, budaya minum teh telah dikenal sejak 3000 tahun sebelum masehi sejak ditemukan oleh kaisar Shen Nung. Bahkan berlanjut di Jepang sejak masa Kamakura (1192 – 1333) oleh pengikut Zen.

Selama masa Dinasti Han dan Yuan, komoditas teh diperkenalkan ke dunia luar melalui pertukaran kebudayaan menyebrangi Asia Tengah melalui Jalur Sutra; dan pada abad ke 17 semenjak masuknya teh ke Eropa, teh telah menjadi minuman kegemaran masyarakat kelas atas Eropa.

Di Indonesia sendiri tanaman teh pertama kali dibawa masuk oleh seorang berkebangsaan Jerman di tahun 1684. Meski belum bisa dibuktikan khasiat teh secara ilmiah, namun masyarakat Tionghoa sudah meyakini teh dapat menetralisir kadar lemak dalam darah, setelah mereka mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak.

Mereka juga percaya minum teh dapat melancarkan buang air kecil, menghambat diare, dan sederet kegunaan lainnya.

Teh pun mengalami pengembangan pada zaman Dinasti Qin dan Han. Daun teh di panggang dan di giling hingga menjadi bubuk. Teh ini disebut teh panggang dan bisa dicampur dengan tumbuhan lain seperti kucai, jahe dan jeruk. Budaya teh sering diselenggarakan di istana, kuil dan acara-acara perkumpulan para cendekiawan.

Suasana jamuan teh pun memiliki tata krama ketat. Setiap teh yang disajikan harus berkualitas. Airnya pun harus dari mata air yang terkenal. Bahkan Lu Yu dari Dinasti Tang, setelah bertahun-tahun mengamati dan meneliti, menulis sebuah buku berjudul “Cha Jing”.

Buku ini meringkas satu perangkat metode, dari menanam sampai memetik teh dan membuat rasa teh sampai mencicipi teh.

Kebiasaan minum teh dan tata cara di berbagai tempat di Tiongkok berbeda, karena setiap daerah mempunyai kebiasaan minum teh yang tidak sama. Beijing misalnya, ketika tuan rumah menyuguhkan secangkir teh, tamunya harus berdiri dan menerimanya dengan dua tangan, sambil menyatakan terima kasih.

Sedangkan di propinsi Guangdong dan Guangxi, Tiongkok selatan, bergitu tuan rumah menyuguhkan teh, tamunya segera mengetuk meja 3x dengan hari kanan untuk menyatakan terima kasih.

Kebiasaan mengetuk meja, konon kabarnya berasal dari ketika Kaisar atau pembesar zaman dahulu mengadakan perjalanan dengan menyamar, maka ketika bersama-sama minum teh, bawahannya menggantikan bersujud kepada Kaisar dengan mengetuk meja untuk menyatakan terima kasih.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?