Last Updated on 17 April 2017 by Herman Tan Manado

Kasih orangtua kepada anak memang tidak pernah luntur. Demikian juga di dalam kisah ini, yang kembali dibawakan oleh Hong Haoyun yang sudah membawa belasan cerita seram rumah sakit selama dia bekerja dan belajar di Rumah Sakit Universitas Taiwan Nasional. Bagaimanakah bentuk pengorbanan sang orangtua di cerita seram kali ini?

Waktu itu kalo gak salah sekitar pukul 9 malam. Biasanya unit gawat darurat selalu didatangi dengan kasus seperti sakit perut setelah makan shabu-shabu, kaki keseleo pada saat jalan-jalan, leher keseleo gara-gara lihat cewe cakep terus menerus, sakit punggung dan seterus-seterusnya.

Sampai tiba-tiba ada sebuah ambulans datang membawa seorang adik yang mengalami kecelakaan mobil. Selain patah tulang, juga terjadi pendarahan internal. Selain itu pada saat melakukan pengecekan USG, juga terlihat ada gumpalan darah di limpa. Tekanan darahnya sangat rendah, kondisinya kritis dan harus segera dioperasi!

“Mana anggota keluarganya?” tanya gua ke perawat.

“Dia diantar lewat ambulans. Kami belum bisa menghubungi anggota keluarganya.”

Gua lihat dokter bedah masih berusaha melakukan pertolongan pada tekanan darahnya, saya berjalan ke depan komputer untuk memastikan ada slot untuk kamar ICU. Lalu tiba-tiba muncul seseorang di hadapan saya. “Dok, bagaimana kondisi anak saya?”

Pada saat gua menengadah, ternyata seorang pria paruh baya berbaju kemeja setelan putih dengan celana kain. Bajunya gak begitu bersih, malah bisa dibilang kotor dan kusut. Keadaannya juga kurang biasa bagi gua.

Tidak seperti anggota keluarga pada umumnya yang gugup, menangis atau bahkan histeris. Dia malah terlihat tenang. Tapi gua tidak ada waktu untuk peduli itu.

“Anda ayahnya?” Gua segera menyodorkan surat persetujuan ke dia. “Kondisinya saat ini tidak stabil. Dia mengalami patah tulang dan pendarahan internal. Masih belum jelas apakah ada organ yang terluka. Tapi kami sudah memasang selang pernapasan.

Sekarang, kalau pendarahan internal ini tidak segera dihentikan, maka bisa-bisa akan berujung kematian. Kalau Anda setuju, kami akan segera melakukan operasi untuk penyelamatan. Masalah yang lain bisa kita tangani belakangan…”

Gua cerocos panjang lebar, gak peduli dia paham apa gak. Gua segera mempersiapkan untuk melakukan operasi darurat, menghubungi pihak ruang operasi. Pada saat itu sang perawat pun membawa surat persetujuan kemari. “Si ayah sudah tanda tangan menyatakan persetujuan.”

Ok, maka gua pun membawa ranjang si adik beserta mesin pernapasan masuk ke ruang operasi. Si perawat mengantar ayah untuk duduk di ruang tunggu di depan ruang operasi.

Proses operasinya cukup penuh tantangan. Begitu perutnya dibuka, langsung mengalir keluar darah dalam jumlah banyak. Tekanan darah pasien dalam sekejap hampir menghilang. Untungnya berkat bantuan dokter anesthesia, kami berhasil menstabilkan kondisi tekanan darahnya kembali.

Kami bahkan sempat melakukan CPR di atas meja operasi. Akhirnya limpa yang rusak berhasil kami keluarkan, dua luka di usus halus juga berhasil dijahit kembali, setelah memasang tabung penyalur, perut dijahit kembali.

Kemudian meminta spesialis tulang untuk melakukan gips, soalnya kata mereka lebih baik tunggu kondisi pasien memang sudah berhasil melewati masa kritis baru dipertimbangkan untuk melakukan operasi perbaikan posisi.

Ruang tunggu rumah sakit tidak ada orang sama sekali; dan surat persetujuannya hanya ada bekas sidik jari berwarna merah.

Setelah mengantar si adik keluar dari ruang operasi, perawat mencoba memanggil anggota keluarga. Tapi ruangan tunggunya kosong melompong. “Coba ditelepon?” Biasanya kadang-kadang memang bisa kejadian begini, anggota keluarganya tiba-tiba hilang. Kami memasukkan si pasien ke ruangan ICU terlebih dahulu.

Pada saat itu, datang lagi satu panggilan yang membutuhkan pertolongan darurat. Setelah memberi briefing singkat mengenai kondisi pasien dan proses operasi tadi, gua langsung meluncur ke ruangan UGD.

“Malam ini betul-betul sibuk!” Gua mulai mendengar suara tim medis sedang sibuk menolong pada saat sampai di luar UGD. Gua pun bertanya kondisi pasien pada salah satu perawat. “Korban kecelakaan mobil, seorang pria. Saat diantar ke sini, sudah beri GCS sebanyak 3 poin.

Tulang iganya patah, dua sisi dada sudah terpasang hemothorax. Namun dari tadi kondisi jantung tidak stabil, sehingga perlu terus melakukan pertolongan. Awalnya kami ingin kamu melihat kondisi perutnya, tapi sekarang sepertinya sudah tidak perlu lagi…”

Ketika menyibak tirai, gua mulai merasa tidak karuan. Di dasar tabung dan selang yang memenuhi sekujur badan, terlihat pakaian kemeja putih dengan celana kain.

Pada saat itu juga, ponsel gua berdering, ternyata orang dari ICU menelepon. “Dok, tadi surat persetujuan itu ditandatangani siapa yah? Gak tercantum namanya, cuma ada bekas sidik jari merah…”

Pada saat itu, di tengah kesibukan para staf medis dalam melakukan penyelamatan, gua melihat tetesan darah yang masih baru di lengannya. Meninggalkan bekas-bekas sidik jari merah ke kasur….

Benarkah orang yang menandatangani ini adalah sang ayah? Benarkah pasien yang kedua di UGD ini sebenarnya adalah ayah si adik?

Terlampir pada foto : Ruang tunggu rumah sakit tidak ada orang sama sekali. Dan surat persetujuannya hanya ada bekas sidik jari berwarna merah.

Bersambung ke part 14

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?