Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado

Mengingat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa hari yang lalu baru saja mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 yang isinya tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 mengenai penggunaan istilah Cina.

Banyak masyarakat awam atau generasi muda zaman sekarang yang bingung mengenai bagaimana asal mula sejarah penyebutan kata “Cina” dan “Tionghoa” sendiri di mulai dan berkembang di Indonesia. Berikut disajikan info mengenai sejarah penggunaan kata Cina dan Tionghoa.

1. “Cina”, Penamaan Dari Luar

Cina adalah nama yang diberikan oleh orang berasal dari luar Tiongkok. Istilah Cina sebenarnya diberikan oleh Jepang dan Negara Barat pada waktu zaman pendudukan.

Kalaupun ada ucapan Cena dari orang yang di Tiongkok, itu hanya merupakan respon komunikasi mereka terhadap orang dari luar daratan Tiongkok. Antara sesama orang Tionghoa di Tiongkok mereka tidak menggunakan istilah Cena/Cina.

2. Asal Kata Tionghoa

Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata Cung Hwa dari Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok lahir dari lafal Melayu (Indonesia) dan Hokian, jadi secara linguistik Tionghoa dan Tiongkok memang tidak dikenal (diucapkan dan terdengar) diluar masyarakat Indonesia.

Jadi ini adalah khas Indonesia, oleh sebab itu di Malaysia dan Thailand tidak dikenal istilah ini. Istilah China yang dibuat orang dari luar Tiongkok yang telah terlanjur populer bukan berarti tidak boleh di ganti dengan Tionghoa/Tiongkok.

Analoginya sama dengan sebutan bahasa Siam yang menjadi Muangthai/Thailand. Dr. Frits Hong dalam wawancara nya dengan mantan Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok Zu Rong Jie beberapa tahun yang silam pernah menyinggung istilah China, dan saat itu PM Zu Rong Jie mengatakan “Nanti pada saat yang tepat kami akan umumkan penggantian istilah China”.

3. Sejarah

Tidak banyak orang yang tahu bahwa wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat.

Entah siapa yang memulainya, karena tidak banyak buku sejarah yang menulis detil tentang ini. Andaikata adapun kebanyakan dari kita tidak berkesempatan untuk membacanya atau mengerti cara membacanya.

Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan “Orang Cina”, namun diduga panggilan ini berasal dari kosa kata “Ching” yaitu nama dari Dinasti.

Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya berlahiran di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya, termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda (1900) didirikanlah suatu sarana sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan Tjung Hwa Hwei Kwan, yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK).

THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa (di Hindia Belanda).

Dengan adanya aktivitas THHK dan badan badan yang sejenisnya (Cung Hwa Cung Hwee), dan terbukti pada tahun 1911 Dr. Sun Yat Sen dkk berhasil menggulingkan dinasti dan menggantikannya menjadi Cung Hwa Ming Kuo, maka secara langsung dan tak langsung memberikan inspirasi kepada bumiputera untuk bangkit menggalang kesatuan nasionalis.

Maka semangat Kebangkitan Nasional dalam organisasi Boedi Oetomo yang di cetuskan oleh Dr. Soetomo, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Gunawan sejak 20 Mei 1908, menjadi tambah menggebu gebu, disusul dengan Soempah Pemoeda (1928).

Golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Soempah Pemoeda, terbukti dari dihibahkannya gedung Soempah Pemoeda oleh Sie Kong Liong, dan ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiaannya itu, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya (baca tulisan-tulisan di Sinergi Bangsa edisi-34 hal 32).

Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis.

Terbukti lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh WR. Supratman pertama kali di publikasi oleh Koran Sin Po. Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya di pakai untuk rapat mempersiapkan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945.

Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Proklamasi Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD’45 terdapat 5 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs. Yap Tjwan Bing.

Dalam perjuangan fisik sebenarnya banyak pahlawan dari Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak banyak dicatat dan diberitakan.

Menurut tokoh pengusaha Benny Ardie; Tony Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya. (Bendera Merah putih biru di robek birunya, lalu dikibarkan lagi sebagai Merah Putih). Pendapat ini diperkuat oleh keponakan dari Tony Wen, Henry Boen (Wen) dari Jakarta.

Pada tahun 1920-an, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia “bumi poetera” untuk kata Belanda “inlander”, yang dirasakan sebagai penghinaan oleh rakyat indonesia di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai “balas budi”, semua pers bumi poetera mengganti kata Tjina dengan kata Tionghoa.

Juga, para pemimpin pergerakan dan perjuangan seperti Ir.Soekarno, Drs. Mah.Hatta, Soetan Sjahrir, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan lain-lain, dalam percakapan sehari-hari dan dalam tulisan mereka, mengganti kata “Tjina” dengan kata Tionghoa.

Para tokoh tersebut sering mengirimkan tulisan dan artikel di harian-harian Melayu Tionghoa yang mereka sadari mempunyai tiras dan jangkauan yang lebih luas ketimbang harian-harian bumi putera. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia dan bukan Partai Tjina Indonesia.

Berdasarkan partisipasi golongan ini maka kelompok bumiputera secara explisit mulai menamakan orang-orang yang dulu dipanggil sebagai “Cina” menjadi “Tionghoa”. Moment ini adalah sangat penting sebagai bukti partisipasi Tionghoa dalam merebut kemerdekaan RI dari tangan penjajah.

Ini secara de facto orang Tionghoa diakui turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, jadi istilah “Cina menjadi Tionghoa” merupakan suatu tanda penghargaan bagi suku Tionghoa di Indonesia.

Kalau istilah Tionghoa sampai hilang oleh karena suatu Tap dari badan penyelenggara negara (1967) atas saran rapat Angkatan darat di Bandung, maka itu dapat diartikan menghapus bukti sejarah, dan perampasan penghargaan yang telah diberikan. Bayangkan kalau semua aparat negara ditarik bintang Satyalencananya dan bintang Mahaputeranya.

4. Kata “Tionghoa” yang “di-Cina-kan” kembali

Sindhunata dari LPKB dengan tenang dan mantap menyatakan, ketika berlangsung Seminar Angkatan Darat Ke-2 di Lembang pada 1966, ia disuruh memilih sebutan Cina atau Tionghoa dan ia memilih kata Cina.

Ia juga menyatakan, konseptor Inpres 14/1967 yang melarang kebudayaan, adat-istiadat dan tradisi Cina diselenggarakan di tempat terbuka adalah dia dengan kelompoknya (rapat di kantor Gamma /Murbandono Hs, dan pertemuan di Duarte Inn /CHI).

Pada saat pertemuan Siauw Tiong Djien dengan Shindunata di Los Angeles yang di fasilitasi oleh CHI (Committee for Human Rights in Indonesia).

Saat itu pernah didebatkan istilah Cina-Tionghoa. Ketika itu suara mayoritas dari peserta seminar memilih istilah Tionghoa dengan tegas, hanya satu orang saja yang bicara (AD) bahwa dia condong 60% kearah istilah Cina.

Kata-kata ini lalu dipegang oleh Sindhunata dan disebarkan di tanah air, bahwa di Los Angeles dia memenangkan istilah “Cina” dengan 60%. Sungguh disayangkan, sebenarnya sudah bukan waktunya lagi paradigma pemelintiran sejarah ala ORBA masih dibuat.

5. Mengikis diskriminasi

Perjuangan mengikis diskriminasi terhadap Tionghoa di Indonesia belum banyak menghasilkan, beberapa contohnya masalah pengurusan SBKRI, masalah pendaftaran masuk universitas, masalah penerimaan dan kenaikan pangkat etnis Tionghoa di jajaran pegawai negeri sipil, dilarang menjadi bagian dari TNI dan Polri, serta masih banyak lagi.

Perjuangan semacam ini sangatlah sulit, padahal kalau Tionghoa tidak didiskriminasi, dipercayai Indonesia akan semakin makmur secara merata (bukan hanya yang makmur para penguasa saja). Kalau mau jujur Tionghoa sangat berat untuk menembus masalah ini. Kwik Kian Gie saja tidak bisa mengubah banyak.

Kalau Tionghoa masih sulit memperjuangkan keluar, bagaimana kalau Tionghoa memperjuangkan penyebutan Tionghoa pada diri Tionghoa sendiri dulu? Kalau dirinya sendiri tak sanggup memberikan legitimasi sendiri, bagaimana Tionghoa mengharap legitimasi dari yang lain.

Masalah “Cina-Tionghoa” bukan sekedar istilah yang mana yang lebih enak di ucap atau ditulis, tapi bottom line-nya adalah mengembalikan kebenaran sejarah atas perjuangan Tionghoa dalam pembentukan Republik Indonesia yang hampir terapus selama hampir 40 tahun.

Stigma orang Tionghoa yang katanya hanya bingung cari duit, tak mau peduli dan ber-KKN di Indonesia harus dicabut, demi kemajuan NKRI.

Perjuangan mengikis diskriminasi Tionghoa boleh meniru cara Mahatma Gandhi yaitu lewat puasa, karena berpuasa tidak ada yang bisa melarang. Demikian pula kalau menyebut diri kita Tionghoa orang lain juga tidak bisa melarang. Dr. Frits Hong sebagai ketua ICAA konsisten dengan pendapatnya;

Kalau sudah tidak mau dipanggil sebagai “Cina”, mengapa kita tidak menggunakan kata “Tionghoa”?

Sepanjang ini kita gunakan Tionghoa untuk orangnya dan budayanya, Tiongkok atau RRT (Republik Rakyat Tiongkok) untuk tempatnya, dan Mandarin atau Tionghoa sebagai bahasanya.

Dalam kasus Cina-Tionghoa, diperberat dengan manuver pemerintah dalam penutupan sejarah perjuangan Tionghoa dalam kemerdekaan RI. Bangsa yang besar tidak akan menutup-nutupi sejarahnya, sebab sejarah adalah sebagai penuntun untuk suatu kemajuan dengan mempelajari kesalahan-kesalahan di masa lalu.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?