Last Updated on 24 January 2023 by Herman Tan Manado
Abdurrahman Wahid, atau biasa dipanggil Gusdur (1940-2009), seorang tokoh Muslim yang sangat DIHORMATI oleh seluruh etnis Tionghoa di Indonesia; karena pada 17 Januari 2000 Beliau mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6/2000 yang isinya mencabut Instruksi presiden No. 14/1967.
Baca juga : Perjuangan Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan dan Cara Mereka Menghina Tionghoa
Kebijakan Gusdur itu melahirkan kebebasan etnis Tionghoa dalam menjalankan ritual keagamaan, adat istiadat, serta boleh mengeskpresikan kebudayaannya di depan umum. Tanpa Beliau, jangan harap kita (sebagai Tionghoa) :
1. Imlek bisa dirayakan dengan terbuka (termasuk menggantung atribut di depan umum, menggelar pertunjukan Barongsai, kirab kebudayaan Cap Go Meh, dsb).
2. Sekolah2 swasta bisa dengan leluasa mengajarkan pembelajaran bahasa MANDARIN.
3. Tidak lagi melarang segala bentuk penerbitan dengan bahasa dan aksara Cina.
4. Tidak lagi mewajibkan aturan penggantian nama (romanisasi marga dan nama Tionghoa ke Indonesia).
Meskipun sudah lebih dari 20 tahun, saat ini masih sering terjadi diskriminasi dimana etnis Tionghoa dipersulit dalam pembuatan KTP, Paspor, dan pengurusan berkas catatan sipil lainnya, namun perlahan semua itu akan hilang dengan sendirinya.
Gus Dur, Sang Bapak Tionghoa Indonesia
Membicarakan Imlek di Indonesia, tak bisa lepas dari sosok Gus Dur. Mulai tahun 1967 hingga 1999, kita tidak bisa menikmati pertunjukan Barongsai dan Liong. Tidak ada lampion2 yang tergantung di mal2 dan tempat umum.
Dalam keseharian, kita juga tidak leluasa berbicara dengan bahasa Mandarin atau dialeknya (Hokkian, Kanton, Khek, dsb). Nama “3 kata”, atau berbau Cina pun dilarang dipergunakan. Warga Tionghoa bahkan dipaksa untuk memilih 1 dari 5 agama resmi di Indonesia.
Di masa itu, kita tak lagi bisa menjumpai nama2 seperti Soe Hok Gie, Ong Tjong Bing, Lie Eng Hok, Liem Swie King, dan lainnya. Sebab mereka harus mengubahnya menjadi nama2 pribumi (di-indonesiakan, atau diromanisasi), seperti Hartono, Wijaya, Kusuma, dan lainnya.
Kita juga tidak lagi menjumpai sekolah2 Tionghoa, koran2 berbahasa Mandarin, dan apapun yang berhubungan dengan ke-Cinaan.
Baca juga : Tiong Hoa Hwe Koan : Sekolah Pertama Pengguna Kata Tionghoa di Indonesia
Situasi kelam diatas terjadi karena buah aturan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Baru, melalui Inpres No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Salah satu poinnya adalah “Perayaan2 pesta agama dan adat istiadat Cina tidak boleh dilakukan secara menyolok di depan umum, melainkan dilakukan hanya dalam lingkungan keluarga saja”.
Baca juga : Apa Bedanya Istilah Cina, China, Tionghoa, dan Tiongkok?
Menurut Gus Dur, Inpres tersebut sangat bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.6/2000 Presiden Abdurrahman Wahid menganulir serta mencabut peraturan itu. Pada Februari 2000, lampion pun menyala kembali untuk pertama kali setelah 3 dasawarsa dipadamkan.
Bagi Gus Dur, kategorisasi Pribumi dan non-pribumi, warga asli dan keturunan, tidak lagi relevan di Indonesia. Sebab, banyak riset yang menyebutkan bahwa orang2 Asia Tenggara, Jepang, Korea, Tiongkok, hingga benua Amerika, memiliki pertalian genetik dengan ras Mongol (Mongoloid).
Dalam catatan Munawir Aziz, eksistensi etnis Tionghoa pun sudah sangat lama di Indonesia. Kita bisa mengenal nama2 besar seperti Laksamana Cheng Ho dan Putri Champa. Dari Putri Champa dan Brawijaya V, lahir 2 anak yang bernama Tan Eng Hian dan Tan A Lok.
Tan Eng Hian kemudian mendirikan kerjaan Islam pertama di Jawa bernama Kesultanan Demak. Beliau kemudian berganti nama menjadi Raden Patah. Tan A Lok kemudian menikahi seorang guru Leizhou Guangdong, yang kala itu sedang ikut ekspedisi Laksamana Cheng Ho, bernama Tan Kim Han.
Tan Kim Han turut membantu iparnya mendirikan kerajaan Demak. Ia kemudian dikenal sebagai Syaikh Abdul Qadir as-Shini, yang makamnya masih ada di Trowulan, Mojokerto.
Baca juga : Laksamana Cheng Ho, Tionghoa Muslim Yang Legendaris
Ketika menjabat sebagai Presiden Indonesia, Gus Dur pernah menelusuri jejak leluhurnya di Quanzou, Hokkian. Pada 3 Desember 1999, Gus Dur melakukan kunjungan kenegaraan ke negeri Tiongkok, dengan melakukan lawatan ke Beijing University. Di kampus inilah Gus Dur mengungkapkan jati dirinya, bahwa leluhurnya berasal dari Hokkian.
Bukti2 tersebut menguatkan argumentasi Gus Dur, bahwa tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apapun. Karena pada dasarnya, kita semua adalah sama2 pendatang.
Oleh karenanya, Gus Dur berupaya membereskan persoalan diskriminasi yang ada di Indonesia, salah satunya dengan memberikan ruang kebebasan bagi siapa saja untuk mengekspresikan agama dan adat istiadatnya di depan umum.
Gus Dur bahkan meresmikan Konghucu menjadi salah satu agama resmi di Indonesia. Sejak Orde Baru, agama yang diakui hanya 5. Jika ada seseorang yang beragama selain dari 5, mereka dipaksa untuk memilih. Karenanya, tak jarang ada orang ber-KTP Islam, Katolik, bahkan Buddha, tapi ibadahnya di Kelenteng.
Selama 32 tahun inilah agama2 Nasrani sangat diuntungkan. Sekolah2 berbasis Kristiani penuh dengan “domba2 gemuk”. Pun dengan agama Buddha, yang menjadi satu2 nya payung “agama Tionghoa” yang diakui pemerintah kala itu.
Baca juga : Tradisi Ceng Beng, Di Kala Budaya Tionghoa Mulai Luntur Akibat Pengaruh Barat
Melalui Keppres No.19/2001, Gus Dur menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif. Artinya, bagi yang merayakan dipersilakan untuk berlibur.
Namun diawal2 penerapan, sebagian etnis Tionghoa malah mengeluh dan canggung dengan situasi ini, karena mereka menjadi sasaran tembak ajang kunjungan teman2 se-kantor, ataupun mitra2 bisnis mereka, bahkan oleh tetangga2 mereka, yang mau tidak mau harus menyiapkan acara makan2 di rumah, atau akan di cap pelit.
Langkah ini kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan presiden setelahnya, Megawati Soekarnoputri, yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional, meski harus lewat bendera agama Konghucu. Sejak saat itulah kalender kita diwarnai dengan tanggal merah saat perayaan Imlek.
Baca juga : Tahun Baru Imlek, Hari Raya Agama atau Budaya?
Pemenuhan hak-hak komunitas Tionghoa tersebut membawa suka cita yang besar. Pada 10 Maret 2004, bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie, masyarakat Tionghoa di Semarang menyematkan julukan “Bapak Tionghoa” kepada Gus Dur.
Di makam Gus Dur bahkan ditulis 1 kalimat dalam aksara Mandarin 人道主义英雄长眼于此 (Rendao zhuyi yingxiong zhang yan yu ci) yang kira2 berarti “Disini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan”.
Terima kasih, Gus. Kini kami bisa merayakan Imlek dengan suka cita!