Last Updated on 23 July 2023 by Herman Tan Manado
Hari Ceng Beng, Cengbeng, atau Qing Ming (清明) adalah suatu hari ziarah tahunan bagi etnis Tionghoa. Hari Ceng Beng biasanya jatuh pada tanggal 5 April setiap tahunnya.
Warga Tionghoa biasanya akan datang ke makam kuburan orang tua atau leluhur untuk membersihkannya (扫墓, Saomu, menyapu makam), dan sekalian bersembahyang di makam tersebut sambil membawa buah2an, aneka kue, berbagai macam makanan, serta karangan bunga.
Kata Ceng Beng sendiri (dialek hokkian) merupakan salah satu istilah dalam astronomi Tiongkok, yang mengacu pada salah satu dari 24 posisi matahari (节气; jieqi) yang jatuh setiap tanggal 4-5 April. Pada hari ini cahaya matahari dipercaya akan bersinar paling terang, sehingga cuaca menjadi terasa lebih hangat.
So, jangan tanya lagi, kenapa Cengbeng itu didasarkan pada penanggalan Masehi (阳历; Yang Li) atau kalender matahari 💡
Lalu kenapa di setiap kubur, diatasnya disebarkan/ditaruh kertas perak dan kertas kuning/emas (kimcoa, kimcua) setiap kali selesai dibersihkan?
Kalau kita masih bisa memperkenalkan cicit kita kepada engkong kita, kenalkanlah, karena kita bukan lahir dari batu. Inilah Suku Tionghoa. Kemana2, nenek moyangnya selalu dibawa. Mungkin mereka tidak kenal Tuhan, tapi yang jelas, mereka membawa nenek moyangnya.
Karena itulah rasa persaudaraan di antara suku Tionghoa begitu kuat. Ini pula yang mendasari apa perbedaan terbesar antara orang Tionghoa dan orang Barat? Yaitu, kita tahu MEMULIAKAN LELUHUR, sementara mereka tidak.
Saat Cengbeng, kita kembali dari tempat jauh dan pulang ke kampung halaman; untuk mengingat SIAPA KITA, dan DARI MANA (akar) kita berasal. Semua keturunan datang berlutut disini, di depan pusara para leluhur yang telah mendahului.
Baca juga : Kisah Kesetiaan Jie Zitui, Asal Usul Festival Ceng Beng
Konon menurut cerita rakyat, asal mula ziarah kubur atau tradisi Ceng Beng (清明) ini sudah berasal sejak jaman dinasti Han (202 SM-220 M). Lalu perlahan tradisi ini mulai populer pada jaman dinasti Tang (618-907), tepatnya pada masa kepemimpinan Kaisar Xuanzong (玄宗).
Namun penggunaan kertas yang diletakkan diatas kubur (sebagai tanda bahwa kubur sudah dibersihkan/dikunjungi oleh keluarga), berawal dari jaman kekaisaran Zhu Yuan Zhang, pendiri Dinasti Ming (1368-1644 M).
Zhu Yuanzhang awalnya berasal dari sebuah keluarga yang sangat miskin. Karena itu dalam membesarkan dan mendidik Zhu Yuanzhang, orangtuanya meminta bantuan kepada biarawan dari sebuah kuil.
Ketika dewasa, Zhu Yuanzhang memutuskan untuk bergabung dengan pemberontakan Sorban Merah, sebuah kelompok pemberontakan anti Dinasti Yuan (Mongol).
Berkat kecakapannya, dalam waktu singkat Ia telah mendapat posisi penting dalam kelompok tersebut; untuk kemudian menaklukkan “dinasti asing” yang menguasai Tiongkok saat itu, Dinasti Yuan (1271-1368 M) dan akhirnya menjadi seorang Kaisar.
Setelah menjadi Kaisar, Zhu Yuanzhang kembali ke desa untuk menjumpai orangtuanya. Sesampainya di desa, ternyata orangtuanya telah meninggal dunia, dan tidak diketahui keberadaan makamnya.
Kemudian untuk mengetahui keberadaan makam orangtua nya, sebagai seorang Kaisar, Zhu Yuanzhang mengeluarkan dekrit atau perintah kepada seluruh rakyatnya, untuk melakukan ziarah dan membersihkan makam leluhur mereka masing2 pada hari yang telah ditentukan.
Selain itu, diperintahkan juga untuk menaruh/menyebarkan kertas kuning/emas di atas masing2 makam, sebagai tanda makam telah dibersihkan.
Setelah semua rakyat selesai berizarah, sang Kaisar memeriksa makam2 yang ada di desa, dan menemukan ada makam2 yang belum dibersihkan, serta tidak diberi penanda kertas kuning.
Kemudian sang Kaisar pun menziarahi makam2 tersebut, dengan berasumsi bahawa di antara makam2 tersebut pastilah ada yang merupakan makam orangtua, sanak keluarga, dan leluhurnya.
Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal penggunaan kertas perak/kertas kuning sebagai penanda diatas kubur, yang kemudian dijadikan tradisi setiap tahunnya dalam setiap memperingati Cengbeng.
Baca juga : Sembahyang Ceng Beng 5 April di Rumah Saja, Kapan Waktu Terbaik Melakukannya?
Kapan waktu terbaik melakukan Cengbeng / Ziarah kubur?
Menjelang bulan April umumnya banyak yang bertanya, apakah ada tanggal yang baik/kapan waktu yang baik untuk mengunjungi makam orang2 yang mereka cintai selama musim perayaan Cengbeng.
Bagi sebagian orang juga mungkin perlu menyesuaikan waktu karena harus mengunjungi beberapa lokasi makam leluhur yang terpisah.
Secara tradisional, waktu untuk melakukan ziarah kubur/makam Cengbeng, yakni antara 10 hari sebelum hari Cengbeng, hingga 10 hari setelah hari Cengbeng (antara 26 maret-15 april).
Namun karena kesibukan masing2, puncak perayaan Cengbeng biasanya jatuh pada hari minggu terdekat, sebelum tanggal 5 April.
Satu hal yang terpenting yang dilakukan saat kunjungan ke makam selama masa Cengbeng, adalah untuk memeriksa masalah terkait fengshui makam; misalnya jika struktur makamnya rusak. Entah itu di bagian bongpay-nya (mubei, batu nisan), atau di bagian karapas (tempurung) yang rumputnya sudah meninggi.
Baca juga : Inilah Fengshui Makam Yang Perlu Anda Ketahui
Tentu saja, yang terpenting dari festival Cengbeng ini adalah untuk mengingat orang2 terkasih yang telah mendahului kita. Selain itu, hari Cengbeng juga merupakan waktu yang tepat untuk berkumpul, dan mempererat hubungan bersama sanak keluarga yang datang dari jauh.
Ajaran Konfusianisme menekankan agar memperlakukan orang tua kita dengan BERBAKTI (孝, Xiao); baik semasa mereka hidup, maupun ketika mereka sudah tiada. Untuk menghormati dan menunjukkan tanda bakti kepada orang tua/leluhur, penting untuk membawa beberapa makanan favorit mereka semasa hidup.
Meski sudah berbeda agama atau kepercayaan, bukan berarti sudah tidak perlu datang untuk sekedar sungkem, atau sekedar menengok ke makam orang tua. Itu salah besar!
Ziarah ke kuburan orang tua tidak ada hubungannya dengan “memuja setan”, seperti yang biasanya disebarkan oleh kelompok agama sebelah. Semua bisa menyesuaikan sesuai dengan keyakinan masing2.
Ada pula yang berpendapat bahwa jika sudah masuk agama tertentu, sudah tidak perlu pai/sembahyang lagi, ataupun sekedar untuk datang ziarah ke kuburan orang tua, karena akan dianggap menyembah berhala, dsb.
Mestinya harus diingat juga, bahwa tanpa orang tua, kita2 ini yang masih hidup tidak mungkin bisa ada di dunia. Jadi, jangan lupakan orang tua/leluhur kita. Luangkanlah waktu, karena Ceng Beng hanya setahun sekali!
Hormat dan berbakti kepada LELUHUR/NENEK MOYANG merupakan KEWAJIBAN bagi setiap manusia sejati!
Mencintai orang tua bukan karena uang, tapi memang karena cinta yang murni. Jangan menunggu ketika orang tuamu sudah tak ada lagi,
baru kamu menyesal. Saat itu sudah terlambat.
Jika saat manusia hidup tidak berbakti, sampai orang tua tak ada lagi baru membakar dupa dan kertas, itu semua bohong belaka. Hargai orang2 yang ada di depan mata.
Orang yang tidak tahu berbakti, selamanya tak mungkin sukses. Hubunganmu dengan orang tua, adalah hubunganmu dengan kekayaan. Karena orang tua adalah akarmu.
Kalau kamu tidak beres dengan akarmu sendiri, bagaimana kamu bisa berharap tumbuh menjadi pohon yang besar? Masih berharap berbunga dan berbuah pula? Ini hal yang mustahil.
Baca juga :
• Inilah 6 Hal Yang Perlu Anda Lakukan Pada Saat Ziarah Cengbeng
• 8 Hal Tentang Festival Qingming Yang Perlu Pembaca Ketahui
• Cara Membaca Penulisan Bongpay di Makam Tionghoa
Tujuan dari perayaan Ceng Beng ini sendiri adalah agar supaya semua kerabat dekat, saudara, anak-anak, bisa berkumpul bersama, dan hubungan kekeluargaan semakin erat terjalin!
Itu seperti memberi kepercayaan diri kepada seseorang, bahwa diantara para orang mati, ada tradisi yang masih hidup.
Ada yang berpendapat juga jika pegang hio/dupa tidak diperbolehkan bagi yang menganut agama tertentu. Hal ini tidak jadi masalah, bisa sungkem saja.
Namun jika masih menganggap diri sebagai orang Tionghoa, tentunya tidak masalah hanya untuk sekedar pegang hio. Janganlah terlalu fanatik. Bukankah di dunia ini, tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk tidak menghormati orang tua masing2?
Baca juga : Salut! Dubes Amerika Sembahyang di Kelenteng Sambil Pegang Hio! Bandingkan dengan Tionghoa K di Indonesia
Setuju sekali . Semua benar. …
Ada versi yang mengatakan, kertas mulai ditaruh diatas makam sejak jaman dinasti Han, tepatnya pada kaisar Liubang, 247 -192 SM.
Tapi penemuan kertas saja baru ditemukan oleh Cai Lun, yang hidup pada rentang tahun 48-121.
Logikanya dimana coba? Masa kertas belum ada, lantas sudah digunakan oleh kaisar Liubang?
Hi Alexandra,
Coba tanya ke sumber yg menyebarkannya. Kita belum pernah mendengar cerita penggunaan kertas2 penanda sudah digunakan pada jaman dinasti Han.
Demikian info & salam hangat
Bukan soal pegang hionya yang dipermasalahin, karena agama sebelah itu menekankan berbaktilah kepada orang tua selagi masih hidup di dunia, jadi bukan hanya sekedar ritual yang hanya diperagakan pada saat orang tua sudah tiada. hormatilah orangtuamu agar panjang umurmu dan bahagia di bumi ini
Demikianlah yang dicatat dalam kitab suci mereka.
Tidak masalah kalau mau lakukan prinsip itu.
Tapi menurut saya pribadi, terdapat alasan lain dibalik keengganan mereka untuk memegang Hio, dan biasanya setelah mendengar ajaran2 Pendetanya! Padahal, duta besar Amerika untuk Indonesia saja yang berkunjung ke salah satu Kelenteng di Jawa Timur, “berani” untuk masuk ke dalam Kelenteng, bahkan memegang Hio dan menancapkannya ke depan Arca utama (beritanya ada di bagian Berita Nasional situs ini, silahkan di cek).
Namun di kita, bakti pada orang tua harus dilakukan pada saat masih hidup dan pada saat setelah meninggal (dengan terus mengingat jasa2 Beliau), dengan datang berziarah ke makam, melakukan bersih2 makam dan menyembahyanginya. Prinsipnya adalah, tanpa ada mereka, kita tidak akan pernah ada.
Tahukah Anda, kenapa marga Tionghoa berada di depan, bukan dibelakang (kecuali nama yang sudah di Indonesiakan)? Itu karena etnis Tionghoa sangat menjunjung tinggi leluhurnya! Sehingga Anda diminta untuk tidak merusak clan/marga yang telah dibangun beratus2 tahun tersebut.
Bener sekali, sembayang pada leluhur adalah kewajiban.
Saya setahun 2x pasti pulang ke kampung halaman untuk dapat berkunjung ke makan akong & ama baik dari mama maupun dari papa. Bagi saya pegang hio itu adalah cara kita menghormati beliau2, tidak ada yang salah dengan agama yang kita anut. Semua kembali lagi ke hati.
Setuju ko, Saya juga heran kenapa Agama sebelah melarang penggunaan hio untuk sembahyang orang tua, Padahal di Katolik sah” aja. Hendaknya Agama dan tradisi ini bisa berjalan berdampingan bukan dipermasalahkan. Karena setelah beberapa generasi berikutnya mungkin kubur kita juga tidak akan ada yang mendoakan apalagi mengurusnya.
betul sih, kalo sekedar ke makam orang tua dan membersihkannya tidak apa-apa dan menurut saya itu baik koq… 🙂