Last Updated on 8 April 2022 by Herman Tan Manado
Peti mati kayu mulai langka di Hong Kong, ketika otoritas setempat tengah sibuk menambah kapasitas kamar mayat rumah sakit umum, di pusat keuangan global yang tengah berjuang melawan wabah Covid-19 varian Omicorn itu.
“Belum pernah saya melihat begitu banyak jenazah dikumpulkan dalam satu tempat,” kata direktur pemakaman Lok Chung (37), yang bekerja siang malam demi memakamkan 40-an jenazah bulan Maret lalu. Biasanya dia hanya mengurus sekitar 15 jenazah per bulan.
“Belum pernah saya melihat anggota keluarga begitu marah, begitu kecewa, sangat tak berdaya dengan situasi yang tengah dihadapinya sekarang,” kata Chung, yang mengenakan setelan abu-abu sederhana, dengan kaos polo hitam, kepada wartawan Reuters.
Sejak gelombang ke-5 Covid menerjang Hong Kong pada awal tahun baru Imlek (1/2) kemarin, wilayah bekas koloni Inggris itu telah mencatatkan lebih dari 1,2 juta infeksi dan 8.500 lebih kematian per hari ini (8/4).
Pemandangan sekumpulan jenazah yang tengah berjejer bersama dengan pasien di lorong2 ruang gawat darurat mengejutkan banyak orang, karena penuhnya kamar2 mayat berpendingin.
Baca juga : Di mana Kesalahan Hong Kong Dalam Perjuangannya Melawan Covid-19?
Proses penerbitan dokumen kematian yang lama juga telah menghambat pekerjaan dan membuat proses pemakaman makin lama, kata Chung, yang kala diwawancarai tengah bergegas dari kamar mayat untuk mengurus pemakaman jenazah.
“Kerabat dari seorang perempuan yang meninggal pada 1 Maret masih menunggu surat dokumen kematian, agar jenazahnya bisa segera dibawa untuk di kremasi”, katanya.
Yang juga langka ditemukan di Hong Kong, adalah kertas2 sembahyang dan aneka replika seperti mobil dan rumah, yang dibakar sebagai persembahan dalam prosesi pemakaman adat Tionghoa, yang dipercaya dapat digunakan oleh mendiang di alam baka.
Sebagian besar kelangkaan disebabkan oleh terhambatnya angkutan dari kota tetangga Shenzhen, Tiongkok, yang dulunya memasok hampir semua barang kebutuhan warga Hong Kong, tapi kini tengah disibukkan pula oleh penyebaran Covid-19 disana.
Perbatasan darat dengan Hong Kong telah ditutup sejak bulan Februari akibat wabah itu. Infeksi di kalangan petugas rumah duka juga menjadi tantangan besar, kata direktur pemakaman lain, Hades Chan (31).
“Hampir ¼ pekerja tak bisa bekerja, Jadi beberapa rumah duka harus menggabungkan stafnya agar tetap beroperasi.”
Kate (36), mengatakan kematian bapak mertuanya akibat Covid pada puncak pandemi di bulan Maret membawa emosi besar di keluarganya. Hal yang paling disesalinya adalah tidak bisa menengok sang mertua selama di rumah sakit hingga kematiannya.
Baca juga : Potret Kehidupan Penghuni “Bilik Peti Mati”; Ironi Dibalik Gemerlapnya Kota Hongkong!
“Ketika mereka (petugas medis) bilang bahwa pasien sudah tak bisa bertahan lagi, kami bergegas ke sana, tapi sudah terlambat,” katanya sambil berusaha menahan tangis di upacara pemakaman yang digelar seadanya.
“Baru kali ini kami bisa melihatnya untuk terakhir kali.” ujarnya di akhir sesi wawancara.
Tiongkok sendiri memasok lebih dari 95% kebutuhan peti mati Hong Kong, yang mencapai 250-300 buah per hari, kata pejabat pangan dan kesehatan kota itu, Irene Young.
Dia menerima lebih dari 3.570 peti mati pada 14-16 Maret, setelah otoritas setempat berkoordinasi dengan pemerintah pusat Tiongkok. Sebanyak 6 krematorium kini beroperasi hampir 24 jam untuk menangani ~300 jenazah per hari, 2x lipat dari biasanya.
Menurut informasi otoritas setempat, kamar2 mayat untuk publik telah diperluas agar bisa menampung 4.600 jenazah, dari kapasitas sebelumnya yang hanya 1.350 jenazah.
Baca juga : Awal Mula Kerusuhan Hong Kong : Bagaimana Itu Bisa Terjadi?
Lembaga swadaya masyarakat Forget Thee Not telah bermitra dengan pembuat peti mati ramah lingkungan LifeArt Asia untuk mendonasikan 300 peti mati dan 1.000 kotak penyimpanan ke 6 rumah sakit umum.
Setiap peti dibuat dari papan serat kayu daur ulang, dan mampu menahan beban hingga 200 kg. Bahan pengawet seperti serbuk yang berubah menjadi gas ketika dimasukkan ke dalam peti atau kantong jenazah, untuk menjaga kondisi jenazah hingga 5 hari.
“Kita berada di tengah badai. Dan di tengah badai, kami berusaha memberi jeda untuk beristirahat.” kata kepala eksekutif LifeArt Asia, Wilson Tong.