Last Updated on 29 December 2020 by Herman Tan Manado
Sentimen anti Tionghoa (anti Cina) bukan lagi hal yang baru di Indonesia; dan bahkan di dunia pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh migrasi orang Tionghoa dalam jumlah besar ke negara-negara lainnya di berbagai belahan dunia dengan alasan mencari peruntungan baru, memperluas jaringan bisnis, menempuh pendidikan, maupun memperbaiki tingkat kehidupan.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,“ (Presiden Soekarno).
Sebagai bangsa perantau, orang Tionghoa kerap dituding sebagai gold digger (pencari untung) yang tidak memiliki rasa cinta dan keterikatan kepada negara tempat ia bermukim maupun lahir. Orang Tionghoa sering dicurigai sebagai double agent dari pemerintah Tiongkok.
Benar tidaknya tudingan tersebut hanya bisa dibuktikan oleh orang Tionghoa sendiri, dan nama-nama berikut ini adalah bukti bahwa tudingan tersebut tidak selamanya benar. Berikut 9 Keturunan Etnis Tionghoa yang Mati-Matian Membela Indonesia (urutan nama sesuai abjad marga) :
1. BOEN KIM TO (1911 – 1962)
Boen Kim To, yang lebih dikenal dengan nama Tony Wen, merupakan salah satu diantara belasan, bahkan mungkin ratusan atau ribuan Tionghoa yang berjasa bagi Indonesia. Pria kelahiran Sungailiat, Bangka Belitung, pada tahun 1911 ini merupakan sosok pejuang terpelajar yang berasal dari keluarga menengah keatas. Bagaimana tidak?
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, pria yang mahir berolah raga, dan merupakan salah satu tokoh pendiri PERBASI, ini kemudian mengantongi ijazah pendidikan tinggi dari universitas di Singapura dan Tiongkok.
Latar belakang pendidikannya inilah yang kemudian menjadi kunci keberhasilan Tony Wen dalam membantu krisis ekonomi di Indonesia. Melalui perdagangan candu, beliau rela bolak-balik ke Singapura untuk menukarnya dengan senjata yang diseludupkan ke daerah Republik pada saat Perang Dunia II berlangsung.
Jasa terbesar Tony Wen yang akan selalu dikenang dan diabadikan oleh sejarah adalah saat ia memprakarsai perobekan bagian Biru dari bendera Belanda, yang kemudian dikibarkan kembali sebagai Sang Saka Merah Putih di Hotel Yamato, Surabaya, pada 19 September 1945.
2. GOEI DJIEN PHANG (魏仁芳; 1968 – sekarang) & ONG LIEN HIANG (王蓮香; 1971 – sekarang)
Siapa yang tidak kenal dengan Alexander Alan Budikusuma dan Lucia Fransisca Susi Susanti? Ya, nama Indonesia dari Goei Djien Phang (魏仁芳; Wei Renfang) dan Ong Lien Hiang (王蓮香; Wang Lianxiang) memang lebih akrab di telinga masyarakat Indonesia daripada nama Tionghoa mereka.
Jasa terbesar mereka adalah ketika keduanya berhasil mempersembahkan medali emas untuk Indonesia pada Olimpiade ke-25 di Barcelona, Spanyol, pada tahun 1992. Saat itu, Alan berusia 24 tahun, sedangkan Susi baru berusia 21 tahun. Setelah 9 tahun berpacaran, keduanya akhirnya menikah pada tahun 1997.
Pasangan ini telah dikaruniai 3 anak (Laurencia Averina, 1999; Albertus Edward, 2000; Sebastianus Frederick, 2003).
Setelah mendapatkan 2 keping emas lewat nomor tunggal putra dan putri pada tahun 1992, keduanya mendapatkan Tanda Kehormatan Republik Indonesia, Bintang Jasa Utama. Setelah itu pada Mei 2004, organisasi Badminton World Federation (BWF) memberikan penghargaan Hall Of Fame kepada Susi Susanti.
Saat ini, Susi Susanti menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan & Prestasi PBSI; sementara suaminya menjabat sebagai subid sponsorship periode 2016-2020.
Pemain Indonesia lainnya yang memperoleh penghargaan Hall Of Fame yaitu Rudy Hartono, Christian Hadinata, dan Liem Swie King; dimana semuanya merupakan keturunan etnis Tionghoa di Indonesia.
Siapa Bilang Orang Tionghoa Tidak Berjasa Untuk Indonesia?
3. HO WAN MOY
“Kamu tidak boleh takut. Walaupun kamu perempuan dan Tionghoa, kamu harus berani”, demikian perkataan Herman Sarens Soediro pada masa Perang Dunia II kepada Tika Nurwati, alias Ho Wan Moy, yang terus dikenangnya hingga saat ini.
Perkataan itulah yang membawa Wan Moy bergabung dengan Palang Merah Indonesia dan Laskar Wanita Indonesia; dan berkat ke-Tionghoa-annya jugalah, Wan Moy, tanpa dicurigai oleh tentara Belanda menolong banyak pejuang gerilyawan Indonesia dengan cara membawa bahan pangan untuk dikonsumsi mereka.
4. LIE TJENG TJOAN (李约翰; 1911 – 1988)
Lie Tjeng Tjoan (李约翰; Li yuehan), alias Mayor Laut (Lieutenant Commander) Jahja Daniel Dharma, alias John Lie, adalah salah seorang perwira tertinggi angkatan laut Indonesia pada masa Perang Dunia II. Beliau lahir di Manado pada 09 Maret 1911 dan meninggal pada 27 Agustus 1988 di Jakarta.
Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda (2 Bintang).
Berkat jasa-jasanya yang besar kepada tanah air Indonesia, baik sebagai penyelundup bahan kebutuhan masyarakat seperti minyak kelapa, maupun sebagai perwira penumpas pemberontakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah mengantarnya ke gerbang penganugerahan Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto, pada tanggal 10 November 1995; dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.
5. LIEM KOEN HIAN (1897 – 1952)
Liem Koen Hian adalah salah seorang tokoh pendiri Partai Tionghoa Indonesia, yang juga seorang jurnalis dan redaktur surat kabar Sin Tit Po (新直報; Xin zhi bao) di Surabaya.
Ia dilahirkan di Banjarmasin pada 1897 dalam keluarga pedagang kecil Tionghoa peranakan, dan wafat di Medan, 5 November 1952. Konon surat kabar ini terpaksa ditutup pada tahun 1929 karena tidak sanggup membayar denda akibat kasus penghinaan pada pemerintah saat itu.
Namun dikarenakan kekecewaan beliau terhadap tuduhan pemerintah sebagai PKI, dan juga dikarenakan sulitnya proses pembauran Tionghoa di Indonesia pada awal 1950-an; maka pria yang pernah menjadi anggota BPUPKI (Badan penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) pada tahun 1945, dan anggota delegasi RI dalam Perjanjian Renville tahun 1947, ini akhirnya memutuskan untuk melepaskan kewarnegaraannya.
Dalam pandangannya, semua masyarakat dan Pemerintah Indonesia haruslah mengakui orang-orang Tionghoa yang ada dan tinggal di Tanah Air karena mereka merupakan warga negara Indonesia yang sah.
Liem akhirnya meninggal sebagai orang asing, di tanah yang pernah diperjuangkannya dengan mati-matian…
6. LIM BAK MENG (1908 – 1981)
Lim Bak Meng, alias Petrus Limbung, adalah mantan Ketua Golkar V Kalimantan Barat, yang banyak berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan RI maupun pembauran orang Tionghoa di Indonesia. Konon beliau bahkan pernah manjadi spionase pemerintah Indonesia di Sarawak pada saat Konfrontasi Indonesia – Malaysia terjadi di tahun 1960.
Tujuan spionasenya adalah untuk menjajaki kekuatan Belanda di tanah Melayu itu.
Namun pada masa tuanya, Lim Bak Meng tidak mendapat penghargaan ataupun materi (uang santunan) sebagaimana yang berhak diterimanya. Barulah pada tahun 2011 lalu, tepatnya 30 tahun setelah beliau meninggal, pemerintah Indonesia, melalui Majelis Adat Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, menyerahkan penghargaan kepada Lim Bok Meng sebagai salah satu tokoh pejuang Indonesia.
7. LO SIAW GING (1934 – sekarang)
Lo Siaw Ging, alias Dokter Lo adalah seorang dokter hebat yang terkenal dengan jiwa sosialnya yang tinggi. Lahir di Solo pada 16 Agustus 1934, lulusan Universitas Indonesia (UI) ini terkenal sebagai dokter yang merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasien yang tidak mampu tidak dibebani biaya pengobatan sepeserpun.
Biaya pembelian obat pun terkadang dibayari oleh Dokter Lo untuk pasiennya yang tidak mampu. Selain itu, dokter Lo juga terkenal akan diagnosanya yang tepat. Bayangkan saja jika anda benar-benar tidak punya uang dan kemudian pergi berobat ke seorang dokter, lalu sang dokter membebaskan anda dari kewajiban membayarnya sebagai imbalan atas jasanya.
Tidak hanya itu, dokter Lo juga tidak sungkan untuk meminta pihak apotik memberikan obat kepada pasiennya yang tidak mampu dan meminta apotek untuk mengirimkan tagihan kepadanya!
Pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998, dokter Lo tetap membuka praktik meskipun tentara hendak mengungsikannya ke tempat yang aman. Bahkan ia tetap membuka praktik sehingga rumahnya dijaga oleh para tetangga sekitarnya.
Saat itu Dokter Lo berkata, “Banyak orang membutuhkan pertolongan, termasuk korban kerusuhan, bagaimana aku bisa menolak mereka? Jika semua dokter berhenti praktik, siapa yang akan melayani pasien?”.
Dokter Lo saat ini masih aktif menjalankan praktek dokter di Rumah Sakit Dokter Oen, Surakarta.
“Aku tahu pasien mana yang mampu membayar dan mana yang tidak. Mengapa mereka wajib membayar biaya pengobatan dokter, jika nantinya mereka tidak dapat membeli beras? Kasihan anak-anak mereka jika sampai kekurangan makan.”
Baca juga : Kisah Dokter Lo, Dokter Gratis Dari Solo
8. SOE HOK GIE (史福义; 1942 – 1969)
Siapa yang tidak kenal sosok pejuang yang satu ini? Soe Hok Gie (苏福义; Su fuyi) lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942. Ketenarannya bahkan membuat seorang Mira Lesmana dan Riri Reza berkolaborasi membuat film yang mengisahkan hidupnya.
Semasa hidupnya yang tergolong singkat, Soe Hok Gie adalah seorang aktifis mahasiswa yang menentang kediktatoran Presiden Soekarno. Beliau merupakan dosen di Universitas Indonesia, seorang pecinta alam, dan juga jurnalis hebat yang karya-karyanya dimuat di beberapa surat kabar seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Perjuangan dan ide-ide pemikiran Soe Hok Gie dapat dibaca dalam memoir karyanya yang berjudul Catatan Seorang Demonstran maupun Zaman Peralihan (kumpulan tulisan Soe Hok Gie yang pernah dimuat di beberapa surat kabar Nasional diatas).
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis… nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Soe Hok Gie mati muda seperti keinginannya. Pada malam hari tanggal 16 Desember 1969 sebelum beliau genap berusia 27 tahun, gas beracun dari kawah Mahameru mengakhiri hidup Gie.
Jenazah Soe Hok Gie dibawa dari Puncak Semeru dan dimakamkan di Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Tahun 1975 pemakaman itu akan digusur. Jenazah Gie pun diangkat dan dikremasi. Abunya ditebar di Lembah Mandalawangi Pangrango.
Baca juga : Soe Hok Gie, ‘Si China Kecil’ Yang Bahagia Mati Muda
9. TAN LIONG HOUW (1930 – sekarang)
Jika dalam dunia bulutangkis ada nama Susi Susanti, di dunia sepakbola ada nama Tan Liong Houw, atau lebih dikenal dengan nama Latief Harris Tanoto.
Dia adalah mantan pesepakbola Indonesia yang terkenal di era 1950-an. Kehebatan beliau sebagai gelandang kiri sempat mendapatkan pujian dari para pendukung tim Persija, yang menjulukinya sebagai ‘macan Betawi’.
Beliau sangat ditakuti lawan-lawannya karena keahliannya dalam bermain bola. Semasa aktif bermain, beliau berperan (berposisi) sebagai penghubung antara barisan belakang dan depan.
Prestasi terbesarnya adalah ketika ia bersama dengan beberapa rekann nya yang juga keturunan Tionghoa, membawa Indonesia masuk ke babak perempat final Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia.
Ketika itu, Tanoto dan kawan-kawan bisa melaju setelah mengalahkan tim dari Tiongkok. Hal ini sekaligus mematahkan tudingan bahwa para pemain keturunan Tionghoa akan setengah hati melawan tim dari negeri asal nenek moyang mereka.
Tan Liong Houw yang pensiun pada tahun 1962, masih terus menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk kemajuan sepak bola di tanah air dengan menjadi anggota Dewan Penasehat PSSI (1999-2003).
Terima kasih, para pahlawanku!
Demikianlah sederet tokoh Tionghoa yang berjasa dalam perjuangan dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Selain itu, masih banyak lagi tokoh-tokoh etnis Tionghoa lainnya yang berjuang demi bangsa dan Negara ini dengan darah sehingga kemerdekaan bisa diperoleh saat ini.
Setelah kemerdekaan, banyak juga diantara mereka yang masih terus mengucurkan keringat dan menguras otak demi mengharumkan nama Indonesia di pentas Internasional.
Namun, itu semua seakan sirna ketika negara api datang menyerang stigma dimana kita masih dianggap hanya menumpang hidup di Negara ini.
Daftar referensi :
♦ Affan, Heyder, Wartawan BBC Indonesia “Warga Tionghoa dan sepak bola Indonesia”, 2014
♦ Fadillah, Ramadhian, “Liem Koen Hian: Bapak asimilasi yang kecewa”, 2012
♦ Forum Tribunnews; 9 Warga Pribumi Keturunan Tionghoa yang Mati-matian Membela Indonesia
♦ KRI Pakai Nama Pahlawan Sulawesi Utara
♦ Lantang, Herman, “Enam tahun persahabatan dengan Soe Hok Gie di akhir masa hidupnya (1963 – 1969)”
♦ BBC Indonesia; Momen terbaik dan prestasi Indonesia dalam ajang Olimpiade
♦ Suroso, Lisa, “Perempuan peruntuh stereotipe”
♦ The Magnificence of Indonesia
♦ Wikipedia Indonesia & Inggris/
Yang paling menghambat adalah kebijakan RRC yang mengakui semua keturunan china sebagai warganya. Hal ini membuat semua keturunan china menjadi dwi kewarganegaraan dimanapun dia berada, apapun kewarganegaraan yang dia pegang setelah tinggal berketurunan dinegara tersebut. Jika mereka benar mencintai Indonesia sebagai warga dan negaranya perlu pernyataan dengan menolak kewarganegaraan RRC tersebut secara nyata. Seperti halnya kakek buyut saya (4 generasi diatas) dan hal ini juga dipermudah karena sejak dari negeri leluhur mereka memang beragama Islam seperti mayoritas penduduk negeri Melayu yang saat mereka tiba dari Kanton di Palembang masih bernama Hindia Belanda.
Mohon dibaca baik-baik berita tersebut, sebelum Anda berkomentar lebih jauh.
1. Tidak ada statement yg tertulis, dimana Tiongkok MENGAKUI semua perantauan mereka sebagai WN Tiongkok. Bodoh sekali jika Anda sampai menghayal kearah sini.
2. Di Tiongkok TIDAK ADA DWI KEWARGANEGARAAN, SAMA HALNYA DENGAN INDONESIA! Betapa bodohnya jika Anda percaya pada berita atau isu ini.
3. Setiap masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia yang telah memiliki KTP Indonesia, adalah WNI. Kenapa harus menolak lagi kewarganegaraan Tiongkok? Bodoh boleh, PEKOK jangan!
4. Akhirnya ketahuan belangmu. Itulah DISKRIMINASI di Indonesia, jika sama agama = DIPERMUDAH. Jika beda agama = DIPERSULIT.
Jangan salahkan etnis Tionghoa jika sebagian diantara mereka, berasumsi buruk pada mayoritas di Negeri ini, karena fakta dilapangan menunjukkan bahwa kalian masih melakukan DISKRIMINASI terhadap mereka.