Last Updated on 1 May 2021 by Herman Tan Manado
Bagi etnis Tionghoa, Hari Imlek merupakan salah satu perayaan penting. Meski dirayakan di daerah berpopulasi Muslim terbesar di dunia, namun Tahun Baru Imlek tetap dianggap sebagai salah satu hari libur Nasional.
Perayaan Imlek menjadi ajang silaturahmi sekaligus berbagi rezeki; dimana biasanya yang sudah menikah boleh memberikan angpau yang berisi uang kepada yang belum menikah atau anak-anak.
Tahun ini Imlek sudah memasuki tahun 2570, atau tahunnya Babi (berunsur) Tanah. Perayaan Tahun Baru Imlek berjalan selama 15 hari, yakni sejak hari pertama atau disebut Cia Gwee, dan sampai tanggal 15 bulan pertama yang disebut dengan Cap Go Meh.
Dalam perayaan Tahun Baru Imlek, etnis Tionghoa yang beragama Buddha dan Konghucu biasanya ramai mengunjungi Kelenteng, Daoguan, Lithang atau Vihara untuk melakukan sembahyang dan kegiatan bersih-bersih dalam menyambut Imlek.
Menurut mereka, Imlek adalah hari yang suci, dan mereka ramai melakukan hal-hal yang bermanfaat di tempat ibadahnya masing-masing.
Baca juga : Mahfud MD mengucapkan “Selamat tahun baru Imlek 2569, Gong Xi Fat Cai”.
A. Tak Ada Acara Khusus di Tahun Baru Imlek
Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei, Ali Karim, seorang etnis Tionghoa yang menjadi Mualaf mengatakan, Masjid Lautze yang berada di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, yang pendiriannya berada di bawah pengelolaan yang ia pimpin tidak mengadakan acara khusus pada Tahun Baru Imlek.
Walaupun kebanyakan jamaah masjid yang mendatangi Masjid Lautze di dominasi dari etnis Tionghoa.
“Kami mengadakan kegiatan yang sesuai dengan Alquran dan Hadits saja, supaya nanti tidak menjadi kebiasaan,” kata Karim. Ali juga mengatakan jika memperingati Imlek, tentunya memiliki niat yang baik.
Ali mencontohkan, sebagian masyarakat yang salah kaprah dalam memaknai kegiatan agama menjadi hal-hal yang menyimpang untuk ritual-ritual yang tidak diajarkan dalam Alquran dan Hadis, misalnya mencuci barang pusaka yang dilanggar Islam.
B. Sebagai Ajang Silaturahmi Bersama Keluarga Besar
Ali mengatakan bahwa Tahun Baru Imlek bukan hanya milik warga etnis Tionghoa yang beragama Kong Hu Cu, Buddha, dan lainnya saja. Namun warga etnis Tionghoa muslim juga bisa memanfaatkan momen hari penting ini untuk saling bersilaturahmi dengan keluarga yang belum memeluk Islam.
Saat Tahun Baru Imlek, biasanya keluarga-keluarga Tionghoa berkumpul. Menurut Ali, etnis tionghoa Muslim sah-sah saja untuk ikut berkumpul dan saling bersilaturahmi bersama anggota keluarganya yang belum memeluk Islam, dan menjalin kedekatan antar keluarga.
Sebab menurut Ali, silaturahmi adalah suatu hal yang dianjurkan dalam ajaran Islam.
“Tunjukkan bahwa setelah memeluk Islam, hidup menjadi lebih baik. Berdakwah tidak harus dengan lisan, namun juga bisa dengan sikap akhlak yang baik,” tutur Ali. Dengan menjalin silaturahmi bersama keluarga, etnis Tionghoa Muslim justru bisa melakukan syiar untuk meghilangkan pandangan negatif umat agama lain terhadap agama Islam.
Karena toleransi antar umat beragama adalah hal yang terpenting bagi Negara ini.
Menurut Ali, Imlek bukanlah sebuah perayaan agama. Salah satu warga etnis Tionghoa yang baru saja memeluk Islam, (1.) Rully Djohan Subadha, yang saat di wawancara berumur 36 tahun mengatakan bahwa keluarganya masih merayakan Tahun Baru Imlek.
Namun walaupun Rully sudah memeluk Islam, ia masih tetap berkumpul untuk bersilahturahmi bersama keluarganya pada hari Imlek tersebut.
Sejarah Tahun Baru Imlek dimulai pada jaman Dinasti Han (202 SM – 200), tepatnya pada masa kekaisaran Raja Han Wu Di (汉武帝), setelah dinasti-dinasti sebelumnya gagal menciptakan sistem penanggalan baku yang bisa digunakan di seluruh Tiongkok.
Rully Djohan Subadha telah menjadi seorang mualaf dan mengikrarkan kalimat syahadat di Masjid Lautze. Menurutnya, Islam tidak datang untuk menghapuskan budaya yang sudah ada. Satu hal lain yang selalu dijaga Rully saat berkumpul dengan keluarga, sahabat atau rekan kerjanya dalam perayaan Imlek adalah soal makanan.
“Harus berhati-hati juga saat berkumpul bareng keluarga dan makan bersama, karena mungkin ada makanan yang tidak halal bagi Muslim (mengandung babi,-ed).
Alhamdulillah, keluarga besar saya mengerti dan memisahkan makanan yang bisa saya makan atau tidak,” tandasnya. Hal yang dilakukan keluarga Rully, menunjukkan bahwa Indonesia adalah Negara yang sangat toleran dan menghargai antar umat beragama.
Hal yang sama juga dilakukan oleh (2.) Andi Suryadi mualaf Tionghoa lain yang berusia 41 tahun juga mengikrarkan keislamannya di Masjid Lautze.
Andi Suryadi merupakan seorang etnis Tionghoa yang memeluk Islam sejak tahun 2001. Dia pun mengaku masih berkumpul untuk mempererat tali silaturami bersama dengan keluarga besarnya saat perayaan tahun baru Imlek.
Baca juga : Inilah 6 Hal Muslim Tiongkok Yang Perlu Anda Ketahui; Yang Nomor 5 nya Mencengangkan!
C. Tahun Baru Imlek, Sama Halnya dengan Idul Fitri
Andi berkata, jika Tahun Baru Imlek itu hanya perayaan tahun baru untuk berkumpul dengan keluarga, sama halnya seperti saat Idul Fitri.
Meski tidak merayakan perayaan Imlek di kelenteng, namun sebagian warga Tionghoa muslim tetap memperingatinya sebagai sebuah tradisi leluhur. Caranya dengan mempererat silaturahmi di tengah perayaan Imlek, seperti yang dilakukan (3.) Gautama Setiaji, warga Semarang, Jawa Tengah, baru-baru ini.
Gautama Setiaji yang sejak tahun 1980 telah menjadi seorang muslim termasuk yang masih memperingati Hari Perayaan Imlek. Gautama yang sudah pergi haji ini mengaku tetap meneruskan tradisi leluhurnya.
Namun, tidak dalam bentuk ritual keagamaan Tridharma berupa persembahyangan di kelenteng atau di rumah. Namun Gautama melakukannya dengan cara mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek dan bersilaturahmi kepada sanak saudara.
Sebagai perwujudan budaya, Gautama juga menggantung hiasan aksesoris Imlek di rumahnya, seperti pohon angpau, kertas bertuliskan karakter Fu (福), lampion merah, dsb. Sejumlah lukisan dan kaligrafi berciri khas Negeri Tiongkok juga terpajang di dinding, berjejer dengan kaligrafi Islam. Gautama ternyata masih menyukai dan memajang aksesoris Imlek.
Hal ini menunjukkan bahwa Gautama tidak menghilangkan cirinya sebagai bagian dari warga etnis Tionghoa, walau kini sudah memeluk Islam.
Perayaan Imlek maknanya hampir sama dengan Tahun Baru Islam Hijriah, disikapi Gautama sesuai keyakinannya. Imlek diperingati sebagai sebuah kebiasaan, tradisi leluhur dan budaya, sementara Hijriah diperingati dengan cara-cara keagamaan berupa pengajian bersama komunitas Tionghoa muslim lainnya.
Gautama berupaya untuk menempatkan diri sebagai makhluk yang tetap menghargai leluhur, tidak lupa darimana dirinya berasal, sekaligus tetap pada keyakinannya.
Sama halnya dengan suku Hui (回族; Huízú) dan suku Uygur (维吾尔族; Wéiwú’ěr zú), yang merupakan etnis minoritas Tiongkok yang mendiami daerah barat Tiongkok.
Alih-alih meninggalkan identitasnya dan berkiblat 100% ke budaya Arab, mereka tetap memperingati hari Imlek dan hari-hari tradisi Tiongkok lainnya, sebagai bagian dari tradisi yang berakar dari kebiasaan leluhurnya.
inilah indahnya Indonesia