Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Mungkin tulisan saya kali ini bisa dinilai sebagai Out of Topic, alias OOT, alias gak nyambung dengan topik blog. Namun ini adalah kisah nyata yang sedang terjadi di Amerika Serikat.
Sebagaimana kita ketahui, Amerika saat ini sedang menjadi sorotan dunia pasca pemilihan presiden tanggal 8 November lalu, yang menghasilkan Donald Trump sebagai presiden terpilih (president elect).
“Pada akhirnya aku akan kembali menjadi debu. Yang harus kulakukan hanyalah menjadikan hidupku ini berguna” (John Chiang)
Masyarakat dunia cukup terkejut dikarenakan image yang ditimbulkan beliau semasa kampanye yang pro-rasisme, pro-dominasi kulit putih, xenophobia (anti imigran), sinophobia (anti Tionghoa), dan Islamophobia (anti Muslim).
Jadi, apakah dengan dimulainya era kepemerintahan Trump akan menjadi akhir dari era non-kulit putih di Amerika Serikat? Untuk itu saya agak ragu. Mengapa?
Sebut saja John Chiang (江俊辉; Jiāng Jùnhuī).
Pria Tionghoa kelahiran New York, 31 Juli 1962, yang berasal dari keluarga imigran Taiwan ini saat ini tengah menjabat sebagai Treasurer of California – pen: pejabat pemerintah yang bertanggung jawab terhadap masalah keuangan di negara bagian California, dan sudah mengumumkan niatannya untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur California pada pemilihan 2018 mendatang.
Kepada The New Yorker, John Chiang sempat mengisahkan tentang perlakuan diskriminatif yang dialami keluarganya saat ia bertumbuh di wilayah pinggiran kota Chicago.
Berbagai tulisan seperti, “Pulang ke negaramu, tolol!”, “Pulang ke negaramu, mata sipit!”, dan “Pulang ke negaramu, Jepang!” dicoret oleh orang-orang yang pro-rasisme di garasi rumah mereka – pen.
Banyak orang Amerika yang tidak dapat membedakan orang Asia satu dan lainnya, dan dikarenakan sentimen anti Jepang saat perang dunia II maka semua yang bermata sipit, berambut hitam, dan berkulit kuning dianggap sebagai orang Jepang.
Namun ‘pukulan’ yang paling memotivasi dirinya untuk bangkit dan melakukan perubahan (terhadap diskriminasi kaum minoritas di Amerika) adalah saat adik kandungnya, Joyce Chiang, pengacara urusan layanan imigrasi dan naturalisasi di Washington DC, dibunuh pada tahun 1999, dan hingga saat ini pembunuhnya tidak tertangkap (atau diungkap).
John Chiang memutuskan untuk serius terjun ke dunia politik.
Mengawali karier politiknya sebagai anggota badan persamaan hak di negara bagian California (1997), John Chiang kemudian menjabat sebagai pengawas keuangan (2007 – 2015), dan Treasurer of State (2015 – saat ini).
Prestasinya yang paling luar biasa adalah pada ketika ia, sebagai pengawas keuangan California, menolak perintah Gubernur (saat itu) Arnold Schwarzenegger untuk menurunkan gaji para pegawai pemerintah di negara bagian setempat – pen: gaji mereka kelak akan dibayar penuh setelah anggaran yang diajukannya mendapat persetjuan dewan.
Chiang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan strategi yang bodoh. Chiang bahkan menyebut para pegawai pemerintah California sebagai “korban politik yang tidak berdosa”. Apakah Schwarzenegger marah? Tentu saja!
Beliau menuntut Chiang dan membawa masalah tersebut ke pengadilan. Namun tuntutannya tidak pernah terpecahkan, dan kasus tersebut kemudian ditutup (ditiadakan) oleh pengganti Schwarzenegger, Gubernur (saat ni) Jerry Brown. Apapun hasilnya, kasus tersebut telah mendongkrak popularitas John Chiang di mata masyarakat California.
Apa alasannya menolak perintah Gubernur Schwarzenegger yang menjadi atasannya saat itu?
Berikut penjelasan Chiang: “Menurut saya, kita selalu harus kembali kepada hati nurani kita dalam melihat segala permasalahan. Ada saatnya kita menang, ada saatnya kita gagal. Namun untuk hanya berdiam diri tanpa berbuat apa-apa adalah tindakan yang kelak akan mendatangkan penyesalan dalam hidup”.
Kisah perjalanan hidup dan karier John Chiang mungkin saja berbeda dengan Ahok, kandidat Gubernur DKI Jakarta; namun perjuangan mereka melawan diskriminasi dan etika kerja mereka yang anti korup telah menjadi titik temu bagi kedua karakter ini di mata saya.
Simak posting-an terbaru John Chiang di halaman FB-nya kemarin :
Menang atau kalah, itu urusan kedua. Yang terpenting dan yang paling membanggakan tentunya adalah bahwa kedua pejuang keadilan dan kemanusiaan ini merupakan Tionghoa perantauan.
Jia You! John Chiang!
Sumber :
• Morrison, Toni et al., “Aftermath: sixteen writers on Trump’s America”, The New Yorker, November 2016
• johnchiang.com
• digital.library.ucla.edu
• latimesblogs.latimes.com
• facebook.com/johnchiangforgovernor2018/
Ahok ini ibarat SIMBOL KEBANGKITAN etnis Tionghoa di Indonesia. Jika Ahok ‘dijegal’ agar kalah di pilkada DKI Jakarta, artinya jangan harap etnis Tionghoa bisa berkembang di Indonesia.
Keberagaman etnis masih sulit diterima di Indonesia.
Memang ada beberapa tokoh2 Tionghoa yang telah menduduki posisi penting dalam pemerintahan, seperti Kwie Kian Gie dsb; namun yang benar2 terekspos publik adalah sosok beliau ini.