Last Updated on 1 May 2021 by Herman Tan Manado
Lama terkubur dari gempita media massa, kasus Tang Kargo tiba-tiba terkuak lagi. Beberapa pekan ini, intrik seputar harta karun yang diangkat Tilman dari kawasan Belitung pada 1998 itu menjadi sajian media asing.
Misalnya, harian Hong Kong The South China Morning Post, edisi akhir Februari, mengungkap persiapan Pemerintah Indonesia menggugat Hans-Michael Jebsen dan adik iparnya, Matthias Draeger.
♦ Pemerintah Indonesia hanya menerima 2,5 juta dolar (sekitar 33 miliar).
♦ Sementara saat ini nilai jual artefak yang berjumlah ±60.000 keping itu diperkirakan bernilai lebih dari 1 triliun!
♦ Selain tidak punya uang dan biaya pemeliharaan yang mahal, pada waktu itu pemerintah Indonesia sama sekali tidak berkeinginan mendapatkan bagian secara fisik (karena artefak tersebut bukan berasal dari kebudayaannya).
♦ Sementara pemerintah Singapore dengan bangganya pamer sewaktu di liput National Geographic Channel tahun 2014. Mereka mengatakan, akan butuh waktu beberapa generasi dari mereka untuk meneliti semua hasil temuan ini. Mereka bangga karena bisa memiliki temuan kapal dinasti Tang ini.
Harta Nusantara di Pelukan Singapura
Kasus harta karun Tang Kargo merebak lagi. Kali ini, unsur suap-menyuap masuk gunjingan. Pemerintah Indonesia hanya kebagian porsi kecil dari penjualan Tang Kargo.
Niat tersebut terkait dengan dugaan terjadinya penyuapan atas pejabat Indonesia dan kejanggalan pembagian keuntungan dari penjualan muatan kapal karam dari era Dinasti Tang itu. Pemerintah Indonesia juga diberitakan akan melapor ke Interpol agar meringkus pemburu harta karun pemegang paspor Jerman, Tilman Walterfang.
Hans-Michael Jebsen, keturunan kelurga terpandang di Jerman, yang bakal dibidik Jakarta, menuturkan bahwa dirinya tak pernah menjadi bagian dari negosiasi Tang Kargo.
“Saya belum pernah ke Indonesia, dan saya belum pernah melihat kargo yang ditemukan itu,” ujar pemimpin sebuah perusahaan trading di Hong Kong itu. Gatra mengonfirmasikan hal itu kepada Draeger melalui telepon internasional. Sayang, mitra Tilman dalam pengangkatan Tang Kargo itu enggan bicara.
Sebelum berita di koran Hong Kong itu muncul, majalah mingguan Jerman Der Spiegel mengupas intrik di balik pengangkatan harta Tang Kargo. Kisah yang dibumbui gosip suap itu menyenggol perwira tinggi TNI dan sejumlah pejabat RI.
Akibat pemberitaannya itu, Der Spiegel digugat oleh Tilman. Pemburu harta karun yang malang melintang di perairan Nusantara pada era 1990-an itu menilai berita Der Spiegel tidak sesuai fakta. Heboh Tang Kargo di mancanegara ternyata tidak membuat Pemerintah RI tergelitik.
Saat ditanya Gatra, Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, tidak memberi jawaban lugas. Menurut dia, pemerintah tak akan mengungkit kasus itu lagi.
“Tapi kita tetap berusaha mengejar janji mereka,” katanya. Apakah itu sebuah isyarat bahwa pemerintah berancang-ancang untuk menagih janji yang tak dipenuhi? Freddy emoh menjawab.
Harta muatan kapal tenggelam dari Dinasti Tang ini ditemukan beberapa nelayan pencari teripang pada 1998 di daerah Batu Hitam, perairan Belitung Timur.
Tilman Walterfang, yang membentuk perusahaan bernama Seabed Exploration, bersama Matthias Draeger, dengan sokongan biaya dari Hans-Michael Jebsen, pun berusaha mengeduk harta tersebut. Sebelumnya Tilman telah mengangkat dua bangkai kapal lain, yakni Maranei dan Intan Cargo.
Pengangkatan Tang Kargo dimulai pada pertengahan 1998 dan berakhir April 1999. Proyek pengangkatan ini sempat terhenti antara Oktober 1998 dan Maret 1999, karena ombak laut bergolak, tapi kemudian berlanjut.
Sampai saat ini, jumlah artefak yang dapat diangkat masih simpang siur. Sumber Gatra yang pernah terlibat menyebutkan, jumlahnya mencapai 70.000 hingga 80.000 keping.
Tetapi laporan Seabed Exploration kepada Pemerintah Indonesia menyebut angka 47.000. Kepada Gatra, Tilman mengaku hanya menjual 55.000 hingga 60.000 keping. Sementara itu, media Singapura menyebutkan, Departemen Pariwisata di negeri pulau itu membeli 53.000 keping.
Bekas karyawan Seabed pernah melaporkan penghancuran sekitar 20.000 keping sisa kargo untuk menghindari inspeksi pihak Pemerintah Indonesia. Pengaduan itu sampai ke Direktur UNESCO (United Nations Edicational, Scientific and Cultural Organization) perwakilan Jakarta, Prof. Stephen Hill, pada Juli 2005.
Toh, tak ada reaksi nyata. Sebagian muatan di situs Batu Hitam akhirnya dibawa ke Selandia Baru untuk menjalani proses desalinasi atau pencucian, perbaikan, serta perawatan. Alasannya, karena Indonesia tak memiliki fasilitas untuk desalinasi.
PT Sulung Segara Jaya, mitra lokal Seabed Exploration, bertugas menyiapkan semua dokumen untuk memudahkan keluarnya benda bersejarah tersebut. Akhirnya, Seabed membawa artefak itu ke Selandia Baru. Celakanya, benda-benda antik itu tak pernah kembali lagi ke Indonesia. Seabed langsung menjualnya.
Di dalam korespondensi Tilman dan Okky Otto dari Sulung Segara, yang salinannya diterima Gatra, dikatakan bahwa tugas membagi-bagi duit dipercayakan pada Okky.
Kalau dokumen itu benar, disebut ada keterlibatan seorang perwira tinggi Departemen Pertahanan dan Keamanan, dan ada pula peran orang dalam lingkar istana yang membantu terbitnya dokumen yang dibutuhkan Tilman. Tentu ada imbalannya.
Dalam dokumen itu, Okky disebut bak Sinterklas yang menebar duit dari Tilman ke para pejabat. Tapi ia menolak keras. ”Untuk mengangkat Tang Kargo, duit Tilman memang masuk ke perusahaan kami.
Tapi bukannya untuk dibagi-bagi,” kata Okky. Toh, ia mengakui, sesuai prosedur, pengeluaran benda untuk desalinasi perlu surat. “Itu kan perlu biaya!” katanya.
Menurut Okky pula, untuk mengeluarkan barang Indonesia cuma perlu sepucuk surat izin. Karena benda itu milik Pemerintah Indonesia, maka izin harus dikeluarkan oleh pemerintah. “Tidak untuk dijual atau dialihkan ke pihak ketiga. Kalau mau dilelang, harus ada izin lagi dari pemerintah,” Okky menambahkan.
Setelah direstorasi dan diselidiki aspek kesejarahannya, benda-benda antik dari Tang Kargo itu siap dipasarkan. Harga yang akhirnya disetujui museum Singapura adalah US$ 40 juta. Tapi Balai Lelang Sotheby’s hanya menaksir seluruh koleksi kapal Tang Kargo ini senilai US$ 7 juta.
Itu yang disampaikan kepada tim pemburu bentukan Panitia Nasional BMKT (Benda Muatan Kapal Tenggelam) pimpinan Safri Burhanuddin setelah bernegosiasi dengan Tilman.
Ketika itu, Safri mengaku kesulitan mendapatkan patokan harga. ”Satu-satunya taksiran resmi, ya, dari Sotheby’s itu,” ujar mantan pejabat di Departeman Kelautan yang dicopot Freddy Numberi pada Desember 2004 itu.
Ia, yang kini menjabat sebagai Asisten Deputi Menteri Pemuda dan Olahraga, mengungkapkan bahwa pengejarannya maksimal. “Hasil US$ 2,5 juta itu ditambah konpensasi menguntungkan Indonesia. Misalnya, penyerahan seluruh Intan Cargo hasil pengangkatan Seabed, yang merupakan kekayaan asli Indonesia,” Safri memaparkan.
Saat ini, Pemerintah Singapura telah membeli seluruh temuan bangkai kapal Dinasti Tang tersebut. Dalam korespondensi melalui e-mail dengan Gatra, Robin Goh, Corporate Communication Manager Sentosa Leisure Group, mengakui adanya pameran benda-benda artefak dari kapal karam Dinasti Tang hasil pengangkatan di Belitung.
Pameran itu berlangsung dari 15 Juni hingga 31 Juli 2005 di Asian Civilizations Museum, Singapura.
Website Sentosa Island Singapura menyebutkan, Singapura sedang membentuk sebuah yayasan baru bernama Maritime Heritage Foundation (MHF).
Yayasan ini bertanggung jawab membangun dan memamerkan berbagai artefak, dokumen, catatan, dan informasi mengenai sejarah atau budaya yang berkaitan dengan Singapura sebagai salah satu bandar pada jalur sutra perdagangan Asia, ratusan tahun lalu.
Singapura membeli hasil pengangkatan harta Tang abad ke-9 itu pada Februari 2005. Sebagai kontribusi pada MHF, pengelola Pulau Sentosa membantu pengumpulan dana untuk pembelian tersebut yang nantinya diharapkan menjadi atraksi tetap maritim Singapura.
Sebuah museum permanen yang dinamai Singapore Maritime Silk Route Museum akan dibangun di bawah pengawasan Singapore Tourism Board. Sampai saat ini, mereka belum menemukan tempat yang cocok untuk membangun museum yang dapat menampung 53.000 artefak, termasuk beberapa bagian dari kapal Dinasti Tang.
Apa boleh buat, bukti sejarah maritim yang terkubur berabad-abad di laut Nusantara itu akhirnya jatuh ke pelukan tetangga.
Pengeluaran Ekstra PT Sulung Segara
DARI sejumlah dokumen yang diperlihatkan beberapa sumber yang terlibat operasi Tang Kargo, ada rincian yang menarik. Di situ disebutkan adanya transfer dalam jumlah Rp 3,7 milyar ke seorang pejabat di Departemen Pertahanan. Uang itu untuk biaya resmi (deposit) dan tidak resmi, ditransfer empat kali lewat dua bank berbeda.
Jumlah itu baru pengeluaran untuk satu pos. Ada pula pos untuk aparat keamanan laut di Belitung dan atasannya di Jakarta, seluruhnya Rp 200 juta.
Ada juga uang ciprat untuk pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Rp 50 juta. Jajaran pejabat pemda, tokoh masyarakat Belitung, dan aparat kepolisian setempat Rp 500 juta. Seorang di lingkar dalam istana mendapat bagian Rp 500 juta.
PT Sulung Segara Jaya juga disebut mengeluarkan uang untuk mengurus dokumen dan entertainment para pejabat terkait Rp 150 juta. Tapi Okky Otto menolak tuduhan menebar uang sebanyak itu. Ia mengaku mengeluarkan biaya sekadarnya hanya untuk mengurus dokumen yang diperlukan (arsip gatra.com/2006).
Asal Usul Harta Karun Belitung
Sebuah kapal layar jenis dhow mengarungi lautan dari Afrika ke Tiongkok sekitar 830. Namun, saat berlayar pulang ia tenggelam di titik 1,6 kilometer dari lepas pantai Pulau Belitung. Tilman Walterfang, seorang direktur perusahaan beton asal Jerman ikut andil menemukan harta karun bernilai jutaan dolar itu. Ia menyelam ke dasar lautan.
“Saya mendarat di apa yang tampak seperti bagian terumbu karang biasa. Benar-benar mirip gundukan bawah air seukuran sebuah bukit kecil yang terbentuk dari puluhan ribu keping keramik yang terawat dengan baik.” kata Walterfang kepada majalah Jerman Der Spiegel saat penemuannya itu.
Harta karun itu punya makna sejarah besar sehingga pihak Shanghai, Singapura, dan Doha di Qatar saling berlomba untuk membelinya. Sekitar 60 ribu artefak dikumpulkan tim Walterfang dari dasar laut, termasuk kendi minuman anggur, mangkuk teh dengan pola timbuk dari emas, piala perak, juga piring berusia 1.200 tahun.
Bangkai kapal ini berkontribusi terhadap 2 penemuan besar bagi para arkeolog, yakni koleksi artefak tunggal terbesar dari zaman Dinasti Tang yang ditemukan di puing-puing kapal, yang dikenal dengan sebutan “harta karun Tang”.
Yang ke-2 adalah harta karun lain, yaknin kapal dhow Arab, yang melahirkan gagasan baru bahwa hubungan perdagangan antara Arab dan Tiongkok telah terjalin pada periode tersebut.
konten yang bagus, di website kampus saya juga memberikan berita tentang Museum Budaya UNAIR Punya Koleksi Benda Antik dari Dinasti Tiongkok, saya punya tautan untuk referensi Anda atau kunjungi di bawah.
wah baru tau nie berita