Last Updated on 1 May 2021 by Herman Tan Manado
Di Indonesia, sosok Tilman malah dikenal punya reputasi buruk. Warga negara Jerman ini diberitakan membawa kabur harta karun muatan kapal Dinasti Tang di Tiongkok, yang tenggelam di perairan Belitung. Tilman Walterfang bak seorang bintang di Indonesia.
Demikian tulis Der Spiegel, majalah ternama di Jerman, mengawali kisah mengenai penjualan kapal kargo jaman dinasti Tang yang tenggelam di Belitung. Benarkah?
♦ Pemerintah Indonesia hanya menerima 2,5 juta dolar (sekitar 33 miliar).
♦ Sementara saat ini nilai jual artefak-artefak itu diperkirakan bernilai lebih dari 1 triliun!
♦ Selain tidak punya uang dan biaya pemeliharaan yang mahal, pada waktu itu pemerintah Indonesia sama sekali tidak berkeinginan mendapatkan bagian secara fisik (karena artefak tersebut bukan berasal dari kebudayaannya).
♦ Sementara pemerintah Singapore dengan bangganya pamer sewaktu di liput National Geographic Channel tahun 2014. Mereka mengatakan, akan butuh waktu beberapa generasi dari mereka untuk meneliti semua hasil temuan ini. Mereka bangga karena bisa memiliki temuan kapal dinasti Tang ini.
Tilman Walterfang bak seorang bintang di Indonesia. Demikian tulis Der Spiegel, majalah ternama di Jerman, mengawali kisah mengenai Tang Kargo. Benarkah?
Alih-alih menjadi bintang, di Indonesia sosok Tilman malah dikenal punya reputasi buruk. Warga negara Jerman ini diberitakan membawa kabur harta karun muatan kapal Dinasti Tang di Tiongkok, yang tenggelam di perairan Belitung. Isu suap ke pejabat Indonesia, untuk meloloskan isi perut kapal Batu Hitam, itu pun bergulir bak bola salju.
Ketika dihubungi Gatra melalui sambungan telepon internasional, Tilman yang kini tinggal di Selandia Baru awalnya enggan bicara. Ia merasa dipojokkan oleh beberapa media yang menulis soal Tang Kargo.
Namun, setelah Gatra menjelaskan pentingnya pemberitaan yang berimbang, akhirnya ia bersedia menjawab beberapa pertanyaan Miranti Soetjipto dan Heru Pamuji dari Gatra. Wawancara dilakukan lewat telepon serta surat elektronik.
1. Berapa banyak artefak Tang Kargo yang Anda berikan pada Indonesia dan berapa nilai totalnya?
Hukum tidak mensyaratkan pembagian kargo secara fisik. Pemerintah Indonesia tidak tertarik untuk mendapatkan bagian secara fisik. Sebagian dari US$ 2,5 juta sudah dibayarkan pada Pemerintah Indonesia oleh Seabed Explorations. Ini penghasilan tertinggi yang pernah diperoleh Indonesia dari pengangkatan kapal tenggelam.
Selain itu, ada kompensasi lain, yakni membiayai pelatihan ahli benda purbakala Indonesia ke Eropa dan Amerika, mengawasi konservasi 100.000 keping artefak kapal karam yang dimiliki Indonesia, membiayai pembangunan Museum Maritim, dan sebagainya.
Selain itu, mereka juga wajib menyerahkan sebuah buku setebal minimal 800 halaman yang memuat studi mengenai Tang Kargo oleh para pakar arkeologi taraf internasional dalam bahasa Indonesia, dan menyerahkan 100 keping dari koleksi Tang Kargo kepada Museum Nasional di Jakarta.
Kami juga menyerahkan isi Intan Kargo yang sudah kami angkat. Sayangnya, peninggalan Intan Kargo itu masih menumpuk di dok Jakarta, menunggu jemputan dari Panitia Nasional. Padahal sudah dikirim lebih dari setahun lalu.
Sampai sekarang, kami masih membayar sewa gudang (custom storage fee) 1.500 euro per bulan, karena tak ada seorang pun dari pemerintah Anda mengambil koleksi kargo yang tak ternilai itu.
Kami masih menunggu konfirmasi dari Panitia Nasional. Meskipun sudah bertemu dengan Menteri Kelautan dan Perikanan serta Panitia Nasional, kami masih menunggu jawabannya.
2. Berapa banyak artefak yang Anda jual ke Pemerintah Singapura dan berapa harganya?
Tang Kargo adalah sebuah penemuan arkeologi. Walaupun di antaranya ada yang bernilai sangat komersial, sebagian besar artefak itu hanya memiliki nilai sejarah dan nilai komersial terbatas.
Contohnya, dari 55.000 hingga 60.000 artefak yang dibeli Singapura, hanya 10.000 artefak di kapal Tang itu yang diakui memiliki harga jual, dan hanya 50 bagian di antaranya memiliki nilai jual sangat tinggi.
Sisanya, sebesar 45,000 artefak, hanya memiliki nilai sejarah, tapi tetap membutuhkan biaya mahal untuk konservasi dan penanganan. Kami melihat nilainya dari penelitian dan pendidikan, dan memutuskan artefak-artefak itu harus tetap dilindungi dan dirawat.
Singapura hanya setuju membayar kargo itu senilai US$ 32 juta pada Februari 2005. Kami harus mencapai harga minimum ini, agar dapat membayar seluruh biaya operasional yang telah keluar dan memenuhi semua perjanjian yang dibuat perusahaan kami.
(Beberapa media di luar negeri mengungkapkan bahwa Tang Kargo dijual seharga US$ 40 juta. Sumber Gatra menyatakan, saat bertemu Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dan pejabat Panitia Nasional BMKT pada November lalu, Tilman mengaku menjual Tang Kargo senilai US$ 20 juta.
Sedangkan negosiasi antara Tilman dan tim pemburu Tang Kargo bentukan Pannas BMKT yang dipimpin Safri Burhanuddin pada 2003 berpedoman pada taksiran Balai Lelang Sotheby’s yang hanya US$ 4,5 juta hingga US$ 7,3 juta.
3. Berapa besar sesungguhnya biaya pengangkatan harta karun itu?
Proyek Tang Kargo makan waktu delapan tahun, dari survei sampai penjualan. Biaya proyek ini mendekati US$ 30 juta, sebagian besar ditujukan untuk perawatan dan perbaikan atau konservasi isi kargo. Sebagian pembiayaan juga ditujukan bagi pembangunan masyarakat di Pulau Belitung.
Masyarakat nelayan di Belitung tentu mendapat keuntungan secara finansial dari proyek ini. Setelah penjualan, sebuah masjid yang lebih besar didanai pembangunannya untuk masyarakat setempat di Pulau Belitung.
4. Kami mendapat informasi bahwa Anda menyuap beberapa pejabat Indonesia untuk memperoleh dokumen yang dibutuhkan.
Itu tidak benar. Selama delapan tahun saya bekerja keras bersama-sama pihak Pemerintah Indonesia, seperti Prof. Indroyono dan Safri Burhanuddin dalam pengangkatan harta karun itu.
Sekitar November dan Desember 2005, saya bertemu dengan Menteri Freddy Numberi sert para pejabat DKP. Mereka malah menyarankan saya menggelar jumpa pers di Indonesia untuk meluruskan informasi soal Tang Kargo.
5. Benarkah Anda menuntut majalah Der Spiegel atas tulisan mengenai Tang Kargo?
Tulisan itu 100% bohong. Tidak ada kebenaran dari awal sampai akhir. Yang benar hanya penulisan nama saya. Sebetulnya saya hanya minta tulisan itu ditarik kembali.
Pernyataan ini bertentangan dengan informasi dari kantor Der Spiegel di Hamburg, Jerman, bahwa para pengacara Tilman menuntut 440,000 euro. (arsip gatra.com/2006).
Pameran Harta Karun dari Indonesia Jadi Kontroversi di New York
Harta karun dari Abad ke-9 Masehi itu diangkat dari kapal yang karam di perairan Belitung, Indonesia. Gerabah dari emas, perak, cermin perunggu dan artefak lain dari masa Dinasti Tang yang ditemukan pada tahun 1998. Isi kapal itu secara ajaib terlindung dari dari erosi dan kerusakan di dasar Laut Jawa.
Harta karun tersebut untuk kali pertamanya dijadwalkan dipamerkan di Amerika Serikat, di Museum Kota New York. Namun, pameran tersebut menuai kontroversi. Sehari sebelum pameran dibuka, pada 6 Februari 2017 penentangan datang dari pihak Advisory Council on Underwater Archaeology.
Mereka mengirimkan surat kepada Asia Society, lembaga non-profit yang menjadi penyelenggara pameran. Alasannya, pundi-pundi itu tak diperlakukan sebagai warisan berharga, bukan diambil melalui ekskavasi yang semestinya, melainkan lewat perburuan harta karun.
“Museum yang memamerkan harta karun itu memang tak berniat mempromosikan perburuan harta karun. Tapi itulah dampaknya,” kata Marco Meniketti, arkeolog dari San Jose State University di California yang mengepalai Advisory Council on Underwater Archaeology, seperti dikutip dari situs Nature, Kamis (9/2/2017).
Itu bukan penolakan pertama. Pada 2012 lalu, artefak dari bangkai kapal di Belitung (Belitung Wreck) itu juga akan dipamerkan di Sackler Gallery di Washington DC. Namun, acara tersebut batal setelah mendapat penentangan dari para ilmuwan Smithsonian Institution.
Memamerkan hasil ekskavasi komersial, menurut Filipe Castro, arkeolog di Texas A&M University, sama saja dengan mendukung perburuan harta karun, “yang membungkam semua pertanyaan yang bisa dijawab dari bangkai kapal pengangkutnya”.
Pertanyaan yang dimaksud adalah data-data sejarah, yang berguna untuk menguak kehidupan dan budaya masa lalu.
Sebelumnya, penyelenggara pameran di New York, Asia Society mengatakan, penonton Amerika Serikat harus menyaksikan pameran yang bertajuk Secrets of the Sea: A Tang Shipwreck and Early Trade in Asia untuk bisa memahami.
“Isi dari kapal karam Belitung adalah saksi bisu dari skala dan kemajuan kontak antara umat Islam dan Buddha pada masa lalu, lebih dari1000 tahun lalu, demikian dikutip dari situs Asia Society. Sementara, Seabed Explorations, perusahaan yang melakukan ekskavasi juga membela diri.
“Tanpa eksplorasi Seabed Explorations, tak akan ada data tentang kapal karam Belitung,” kata Tilman Walterfang.
Berlomba dengan Penjarah
Dengan lebih dari 17.000 pulau dan posisinya yang sentral untuk perdagangan maritim sejak dulu, Indonesia menyimpan banyak bangkai kapal. Namun, Indonesia tak punya sumber daya (termasuk biaya) untuk melindungi dan melakukan studi atas bangkai-bangkai kapal kuno itu.
Setelah nelayan kali pertama menemukan bangkai kapal Belitung hampir 20 tahun yang lalu, para penjarah hilir mudik datang. Perusahaan Seabed Explorations of Nelson, New Zealand menerima kontrak dari pemerintah Indonesia untuk mengangkat harta-harta yang karam di dasar laur.
Mereka mengangkat sekitar 60.000 artefak selama ekspedisi lapangan pada tahun 1998 dan 1999. Pada tahun 2005, sebuah anak perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah Singapura membeli kargo harta itu senilai US$ 32 juta. Artefak-artefak tersebut saat ini menjadi milik Asian Civilisations Museum di Negeri Singapore.
Para arkeolog berpendapat, penjualan itu tak legal, atas dasar konvensi UNESCO 2001 yang menyatakan bahwa “warisan budaya bawah air tidak akan diperdagangkan, dijual, dibeli atau ditukar sebagai barang komersial“.
Seabed Explorations mengakui bahwa sebagian artefak tidak didokumentasikan dengan baik. Namun, tuntutan dari pemerintah Indonesia dan ancaman penjarahan, membuat mereka melakukan ekskavasi dengan tergesa-gesa.
Ketika Smithsonian membatalkan pameran pada 2012, para pejabat museum mengatakan bahwa mereka akan melakukan penelitian lebih lanjut dari situs kapal karam Belitung.
Namun, pemantauan kembali yang dilakukan pada tahun 2013 menyimpulkan bahwa seluruh lambung kapal telah terkoyak oleh para penjarah. Bahkan jika Smithsonian diberikan izin untuk eksplorasi, tidak akan ada lagi yang tersisa untuk dipelajari. (liputan6.com/2017)