Last Updated on 29 May 2022 by Herman Tan Manado

Kawasan Pasar Glodok merupakan sebuah wilayah Pecinan di kota Jakarta. Kawasan ini merupakan salah satu wilayah Pecinan terbesar di Indonesia, dan menjadi salah satu motor penggerak ekonomi di Jakarta sejak dulu hingga kini.

Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, pernah menyatakan pada Februari 2018 lalu, bahwa pihaknya ingin menjadikan kawasan Petak Sembilan, Glodok, sebagai kawasan cagar budaya untuk menarik wisatawan asing.

Hal ini dimaksudkan untuk menarik kunjungan wisatawan, terutama dari wisatawan asal Tiongkok.

Kawasan ini memang telah lama terkenal sebagai salah satu pusat permukiman dan kompleks pertokoan Tionghoa, meskipun sekarang lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat perdagangan saja, daripada untuk tempat tinggal.

Mayoritas warga yang menghuni kawasan Glodok adalah keturunan Tionghoa yang tinggal selepas Perang Jawa (1741-1743).

Dari Stasiun Jakarta Kota, wisatawan dapat berjalan kaki dan menemukan lokasi ini dengan mudah. Terdapat deretan toko-toko, mulai dari toko makanan, toko souvenir, toko sembako, toko elektronik, hingga toko obat-obatan.

Laiknya kawasan Pecinan lain, tentu saja terdapat tempat ibadah masyarakat Tionghoa, seperti Kelenteng dan Vihara di Glodok.

Contohnya seperti Kelenteng Jin De Yuan di Jalan Kemenangan III, Petak Sembilan, Tamansari, Jakarta Barat, dan Vihara Dharma Bhakti yang melegenda, dan menjadi kelenteng tertua di ibukota.

A. Sejarah Glodok; Dibangun Diatas Darah Warga Tionghoa!

Glodok Tempo Dulu
Tampak jejeran pertokoan di kawasan Glodok tempo dulu. (Foto : tirto.id)

Baca juga : Kerusuhan Mei 1998 : Inilah Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa di Indonesia!

Kawasan Glodok, seperti kawasan terkenal lain, menyimpan sejarah dan cerita dari masa lalu yang tidak boleh terlupakan. Meskipun sejarah tidak selalu merupakan kenangan yang baik, bukan berarti hal ini terus membayangi warga Glodok dalam perkembangannya.

Kawasan Glodok, dulunya dulunya merupakan bekas tempat isolasi bagi warga Tionghoa. Pada abad ke-17, VOC (Verenigde Oost Indie Compagnie) menempatkan masyarakat Tionghoa dalam satu wilayah, yang kini dikenal sebagai Pecinan, yakni wilayah di sekitar kawasan Petak Sembilan, Kota Tua, Glodok (dekat Wihara Dharma Bhakti).

Strategi itu diterapkan demi alasan keamanan para kolonis Belanda, dan warga penghuni benteng pasca peristiwa Geger Pecinan, yang diawali dengan pembantaian ±10.000 orang Tionghoa di dalam kompleks Benteng Batavia, pada Oktober 1740.

Sebagai kawasan luar tembok benteng Batavia, di daerah Glodok pernah didirikan sebuah benteng kecil dari tanah (redoute) untuk mengantisipasi serangan dari Mataram atau Banten.

1. Glodok Pada Jaman Penjajahan Belanda

Pada Oktober 1740, warga Tionghoa dianggap sumber masalah (sosial) di sekitar kota Batavia oleh orang-orang Belanda. Serdadu-serdadu VOC membantai orang-orang Tionghoa, dan kemudian terjadi pemberontakan di utara Jawa.

Ketika itu Gubernur Jenderal VOC dijabat Adriaan Valckenier.

Penjara Glodok
Penjara Glodok, yang kini menjadi pertokoan Harco (Foto : Republika.co.id)

Baca juga : Inilah Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia!

Tak jauh dari kawasan dagang Glodok, terdapat penjara kolonial bernama Strafinrichting Glodok. Penjara ini mulai dibangun pada tahun 1743. Penjara itu sempat digunakan untuk menahan orang-orang Tionghoa.

Pada November 1926, penjara Glodok diserbu pemberontak yang jumlahnya sekitar ±200 orang. Mereka bergerak dari daerah Karet (Tanah Abang). Sementara itu, rombongan lainnya dari daerah Mangga Dua, Jakarta Kota. Mereka menyerang di malam hari, waktu Bioskop Orion yang letaknya berdampingan penjara bubar.

Mereka berusaha merusak dan membuka pintu penjara untuk membebaskan para narapidana. Pertempuran kemudian meluas dan terjadi di Meester Cornelis (Jatinegara).

Awalnya, penjara Glodok ini hanya digunakan untuk menahan warga Tionghoa saja. Namun, Koes Bersaudara juga pernah mendekam di sana, karena membawakan lagu The Beatles.

Penjara itu kini sudah tak ada, dan berubah menjadi Gedung pertokoan Harco.

2. Glodok Pasca Kemerdekaan Indonesia

Dalam perkembangannya, Glodok yang awalnya adalah tempat isolasi, justru menjadi pusat perekonomian dan perdagangan. Kawasan Glodok dan Kawasan Pancoran sejak dahulu menjadi urat nadi perekonomian Jakarta, hingga akhir dekade 1990-an.

Hingga saat ini, masih banyak pedagang grosir besar hingga eceran yang berjualan di kawasan Glodok.

 

Tampak suasana pertokoan masyarakat Tionghoa jaman dulu (Foto : koleksi editor)

Baca juga : Asal Usul Kampung Cina (Kawasan Pecinan) di Indonesia

Pada era tahun 1950-an hingga 1960-an, sebagian besar uang beredar di kawasan Glodok. Sampai pertengahan 1960-an, Glodok bersama Pasar Baru merupakan pusat perdagangan dolar gelap (ilegal). Kala itu, pemerintahan Sukarno menutup pintu terhadap Amerika Serikat.

Di masa sekarang, Glodok terkenal sebagai pusat pertokoan gadget dan elektronik. Tempat ini diramaikan oleh orang-orang yang berburu barang elektronik, mulai dari DCD bajakan sampai alat2 rumah tangga.

Di Glodok kontemporer, masih bisa mendapati para sinshe (tabib cina) dan importir obat-obat dari Tiongkok. Berkat keuletan dan semangat berbisnis warga sekitar Glodok, tempat yang memiliki masa lalu yang kelam ini mampu merubah peruntungannya menjadi pusat perniagaan strategis.

B. Asal Nama Glodok; Bukan Dari Bahasa Cina

Nama Glodok sendiri bukanlah dari bahasa Tionghoa. Namun terdapat beberapa versi dalam penamaannya. Versi pertama, dulunya terdapat kata ‘grojok’ atau suara hujan turun, namun oleh masyarakat Tionghoa kata ‘grojok’ itu berubah menjadi ‘glodok’.

Petak sembilan merupakan tempat utama mencari pernak-pernik Imlek (Foto : jakarta-tourism.go.id)

Baca juga : Inilah Daftar Kosakata Indonesia Yang Merupakan Serapan Dari Bahasa Tionghoa

Versi kedua, kata Glodok berasal dari tempat menampung hujan, atau tempat menampung grojokan air. Versi ketiga, yakni adanya nama tokoh masyarakat setempat yang bernama I Gede Glodok. Namun, menurut cerita, I Gede Glodok tinggal di kawasan itu setelah nama Glodok sudah mulai dikenal masyarakat.

Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa nama Glodok berasal dari mata air di sekitar kawasan. Sumber mata air pancuran tersebut berada cukup jauh, yakni sekitar 3 kilometer dari pancuran, dan dialirkan menggunakan pipa.

Sumber mata airnya berasal dari semacam kincir kayu yang terus berputar ,dan saat berputar mengeluarkan suara ‘glodok, glodok’.

Petak Sembilan (Petak 9)

Tidak ada yang tahu pasti darimana nama ‘Petak Sembilan‘ berasal. Warga sekitar pun mengakui tidak ada yang tahu pasti tentang awal mula kawasan ini disebut Petak Sembilan.

Kabar yang beredar selama ini, penamaan Petak Sembilan diambil karena dulu, di kawasan ini ada rumah petak yang berjumlah 9 buah.

Menurut salah seorang warga, dulu di depan rumah petak itu, ada warung kopi. Kalau orang mau minum kopi, dan ditanya mau ke mana, mereka menjawabnya dengan mengatakan ke Petak Sembilan.

Sebenarnya, dulu sejarah Petak Sembilan ini sudah pernah dibukukan. Namun, sampai saat ini buku tersebut belum diketahui keberadaannya, dan masih dalam pencarian.

C. Berwisata Ke Glodok; A Step Into The Past

Glodok tak hanya terkenal sebagai pusat penjualan barang2 elektronik. Tetapi, banyak pula tempat wisata di Glodok dan sekitarnya, yang menarik banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri.

Terdapat tempat2 yang layak untuk dikunjungi (historikal) dan makanan khas yang patut dicoba di kawasan Glodok. Berikut beberapa tempat ketika mengunjungi Glodok :

1. Gang Gloria

Gang Gloria
Wisata kulinerdi Gang Gloria (Foto : cruisinwithcharissa.blogspot.com)

Baca juga : Tahukah Pembaca Arti Kata Gocap, Cepek, Gopek, Seceng, Noceng, Goceng, Ceban, Goban, Cepek Ceng, Cetiao, Gotiao?

Gang Gloria di kawasan Pecinan Petak Sembilan Glodok ini merupakan pusat kuliner khas masyarakat etnis Tionghoa.

Di sepanjang gang kecil ini, para wisatawan bakal disuguhkan dengan berbagai macam jajanan makanan dan minuman khas Tionghoa. Mulai dari nasi hainan, bakmi amoy, bakmi gloria, soto betawi, es kopi, dan makanan lainnya.

Masuk terus ke dalam, akan bertemu dengan persimpangan, dimana terdapat kantin yang dijuluki Kantin Gloria, dengan berbagai macam penjual makanan, yang katanya ini merupakan kuliner khas Tionghoa sejak jaman dahulu, seperti Gado-Gado Direksi, Kopi Es Gayo, Cakwe, Kari Lam, dan lain sebagainya.

2. Vihara / Kelenteng Tanda Bhakti

Vihara Tanda Bhakti
Bagian dalam (altar utama) dari Vihara Tanda Bhakti (Foto : pegipegi.com)

Baca juga : Kelenteng : Asal Usul dan Berbagai Jenisnya

Vihara (Kelenteng) ini memiliki tampilan arsitektur yang unik. Begitu masuk, warna merah dan emas terlihat dominan; dimana bagi etnis Tionghoa warna2 ini merupakan simbol kemakmuran.

Berdiri sejak 1650, Vihara Tanda Bhakti ini juga merupakan (tuan) rumah bagi sang Dewa Pelindung, Tan Seng Ong.

Sedikit mengenai riwayatnya, dulunya beliau adalah seorang pejabat militer di daerah Zhangzhou, Fujian. Beliau bernama Chen Yuan Guang, yang hidup pada jaman Dinasti Tang, masa pemerintahan Kaisar wanita Wu Ze Tian.

Di Indonesia, pemujaan terhadap beliau dimulai dari kaum imigran yang bermarga Chen (Tan).

Pada awal 2014 lalu, Vihara Tanda Bhakti mendapatkan pengakuan khusus dari Pemerintah Indonesia melalui Pemprov DKI Jakarta, menjadikan kelenteng ini sebagai salah satu warisan sejarah yang bernilai di tanah air.

Vihara ini memiliki desain interior dan eksterior ala bangunan Negeri tirai bambu, dimana para pengunjung akan disambut oleh 2 patung singa (penjaga) yang mengapit kuil kecil di depan. Plafon keramik yang ada di bagian dalam kelenteng melambangkan 3 hal : kebahagiaan, kemakmuran dan keabadian.

3. Pasar Petak Sembilan

Tampak berbagai pernak-pernik Imlek yang dijual di petak 9 (Foto : pegipegi.com)

Baca juga : 9 Hal Yang Cuma Dimengerti Orang Tionghoa di Indonesia

Mengunjungi Glodok untuk berwisata, tak lengkap tanpa mengunjungi Pasar Petak Sembilan. Petak 9 sendiri merupakan nama sebuah gang kecil. Pasar ini dihias dengan pernak-pernik lampu lampion merah.

Di kanan-kiri jalan, ada banyak kios/toko yang menyediakan rupa-rupa peralatan untuk keperluan ibadah umat Buddha dan Konghucu, dimana wisatawan bisa mencium bau khas aroma hio.

Disini juga terdapat toko obat tradisional, penjual baju, perlengkapan rumah tangga, dan terdapat pula macam2 makanan snack/camilan khas Tionghoa.

Saat mendekati momen Imlek, kawasan ini akan didominasi penuh oleh warna merah. Menyusuri jalanan ini, dan mengamati transaksi penjual dan pembeli, dan segala yang ada di dalamnya menjadi keasyikan tersendiri.

4. Museum Bank Indonesia (Kota Tua)

Museum Bank Indonesia
Museum Bank Indonesia (Foto : travel.detik.com)

Baca juga : 7 Rahasia Kenapa Bisnis Pengusaha Tionghoa Selalu Sukses

Sekitar ±700 meter dari kawasan Glodok, wisatawan bisa mengunjungi Museum Bank Indonesia. Museum BI menempati gedung BI Kota, yang sebelumnya digunakan oleh De Javasche Bank, pada era pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Indonesia kini menetapkan bangunan tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Selain gedungnya yang bersejarah, Museum BI juga memiliki koleksi benda2 dan dokumen2 bersejarah didalamnya.

Pengunjung museum dapat menikmati koleksi berbagai macam uang dari berbagai masa. Di museum ini, pengunjung dapat mengenal sejarah uang dan perkembangan perbankan di Indonesia. Selain uang, berbagai dokumen yang terkait dengan sejarah perbankan juga dipamerkan.

Selain itu, ada timbunan emas imitasi dan diorama dengan memanfaatkan teknologi modern. Contohnya adalah, adanya satu ruangan yang temboknya menampilkan gambar uang koin yang berjatuhan.

Jika uang koin tersebut ditangkap, maka akan muncul deskripsi dan sejarah uang tersebut.

5. Gereja Santa Maria de Fatima

Gereja Santa Maria de Fatima
Interior Gereja Santa Maria de Fatima yang bertema oriental (Foto : suara.com)

Baca juga : Arsitektur Atap Tradisional Tionghoa dan Filosofinya

Gereja yang terletak 200 meter dari kawasan Glodok ini memiliki keunikan tersendiri. Gereja ini memiliki ornamen khas oriental. Gereja Santa Maria de Fatima adalah sebuah gereja Katolik yang mempertahankan gaya bangunan khas Fujian, atau Tiongkok Selatan.

Dari luar, gaya Tionghoa sudah sangat jelas bisa terlihat. Khususnya pada bagian atap (melengkung) berjenis ian boe heng (ekor walet) dan pintu masuk yang dikawal sepasang patung singa, yang memiliki lambang kemegahan bangsawan Cina.

Karena Gereja Santa Maria de Fatima ini terletak di kawasan Pecinan, maka sebagian besar jemaatnya adalah etnis Tionghoa. Di gejera ini, setiap 1 minggu sekali ada misa yang menggunakan bahasa Mandarin.

By Nabilla Khudori

Saya seorang Head of Business Development di sebuah startup. Dengan menulis, saya dapat belajar dan berbagi pengalaman dengan khalayak. Memahami budaya Tionghoa menarik bagi saya yang lahir dan besar di lingkungan yang plural. Hal ini juga menjadikan saya memiliki banyak referensi mengenai budaya dan adat Tionghoa. Meskipun begitu, saya merasa masih harus belajar lebih untuk memahami budaya Tionghoa itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?