Last Updated on 13 June 2021 by Herman Tan Manado
Wajar memang apabila aksi2 massa yang mengancam kehidupan masyarakat Tionghoa pada saat terjadi kerusuhan, seperti Kerusuhan Mei 1998, masih menimbulkan trauma yang mendalam. Meskipun itu sudah terjadi lebih dari 2 dekade silam, namun rasa takut itu masih ada.
Link artikel diatas adalah penjelasan mengenai peristiwa kerusuhan Mei 1998 dari sisi warga keturunan (bukan dari versi AD!), yang telah berhasil menorehkan luka untuk masyarakat Tionghoa.
Trauma tersebut nampak jelas dari inisiatif mereka (masyarakat Tionghoa) yang memasang tralis dan gerbang (pagar) secara masif di setiap rumah dan tokonya, untuk melindungi diri.
Berdasarkan pengamatan sosiolog, pemasangan tralis besi ini dianggap sebagai bentuk manifestasi pencarian rasa aman (dari ancaman luar).
Mulai dari gerbang masuk sudah ada pagar rumah tinggi, serta ditutup penghalang seperti PVC kanopi, agar orang dari luar tidak bisa mengintip langsung ke dalam. Demikian pintu masuk utama diperkuat. Tak jarang terdapat rangka pintu besi tambahan dibaliknya.
Sementara di setiap lantai (ruko) juga kerap dipasangi sekat/pintu besi tambahan, agar orang tidak mudah untuk langsung naik keatas.
Demikian pula di bagian depan setiap lantai balkon, juga dipasang tralis jendela yang terbuat dari besi, yang akan menjadi penghalang bagi mereka yang berniat memanjat masuk, atau untuk menghalangi benda2 yang dilempar dari luar, agar tidak langsung masuk ke dalam.
Kehidupan seperti itu memang tak ada bedanya dengan hidup di balik terali besi, atau dalam sangkar besi.
Tapi itu dianggap perlu untuk dilakukan, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah yang rawan, seperti kawasan pertokoan atau pasar; bukan di kawasan perumahan yang biasanya relatif lebih aman. Lebih2 lagi bagi mereka yang memiliki anak atau saudara perempuan.
Baca juga : Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian Historis Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)
Masyarakat yang tidak tahu alasan tindakan tersebut akan menganggap bahwa masyarakat Tionghoa cenderung tertutup, serta tidak mau berbaur dengan masyarakat sekitar. Atau men-cap masyarakat keturunan sebagai gold digger, dan hanya mencari keuntungan semata.
Tapi sebenarnya mereka hanya takut kejadian di masa lalu akan kembali terulang, dengan pola2 yang serupa. Apalagi bagi mereka yang dulu pernah mengalaminya langsung, baik sebagai korban, famili korban, maupun sebagai teman seperantauan. Rasa was-was itu akan tetap ada.
Tidak bisa hanya dengan ucapan2 yang menenangkan, seperti “oh, aman, aman, sekarang sudah aman, lagian ada satpam, polisi, tentara, bla, bla bla. Dulunya kemana mereka semua itu?
Dan meskipun sekarang tidak ada lagi kejadian serupa kasus Mei 98, namun diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa pun masih melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan setelah era reformasi, di beberapa tahun terakhir ini sentimen Anti Cina masih terus terjadi di masyarakat.
Beberapa yang “terkenal” diantaranya adalah :
1. Kasus DIPENJARAKANNYA AHOK yang karena ucapannya, dianggap telah menghina ummat Islam (2017). Baca : Ahok dan Isu Sentimen Anti Tionghoa di Indonesia.
2. Dibakarnya 11 Wihara dan Kelenteng di lingkungan Tanjung Balai Medan, hanya gara2 SUARA TOA MASJID, oleh Ibu Meiliana (2017). Baca : Para Terdakwa Kasus Pembakaran Vihara Tanjung Balai Hanya Divonis 2 Bulan, Ahok “Keseleo Lidah” Divonis 2 Tahun.
3. Patung Kongco Kwankong di Tuban, Jawa Timur, yang DIPOCONGI, serta diancam untuk DIROBOHKAN hanya gara2 dianggap patung asing dan berhala oleh masyarakat pencinta anti toleran (2017). Baca : Inilah Realita Toleransi di Indonesia : Patung Dewa Kwan Kong Ditutup KAIN PUTIH.
4. Pada 2018, seorang BIKSU/BANTE yang DIPERSEKUSI, dengan membuat surat pernyataan bermaterai oleh sekelompok masyarakat mayoritas di desa tersebut. Warga resah karena mengira Biksu tersebut akan mengajak orang lain untuk masuk agama Buddha.
Permasalahan tersebut terselesaikan setelah pihak kepolisian, tokoh2 agama, dan pemerintah setempat duduk bersama untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah itu disepakati, agar Biksu Mulyanto Nurhalim TIDAK BOLEH memajang ornamen keagamaan di depan rumah.
Adapun Ornamen2 yang dimaksud, yakni benda2 yang menyerupai kegiatan peribadatan umat Buddha (seperti rupang/patung Buddha, lilin, dupa, bunga, dsb), AGAR DISINGKIRKAN KE DALAM RUMAH, dan tidak ditampilkan mencolok di depan rumah, yang dapat menarik kecurigaan warga sekitar.
Tidak tahu apakah ini yang dimaksud Bhineka Tunggal Ika?
Lalu bagaimana dengan rumah2 masyarakat yang ada di Bali?
Atau bagaimana jika dibandingkan dengan acara2 pengajian yang digelar di rumah warga yang beragama Muslim?
Ini sama saja seperti di era Orde Baru, yang melarang segala atribut keagamaan masyarakat minoritas ditampilkan depan publik, meskipun itu di halaman depan rumah sendiri.
Kasus inipun sempat disorot media2 barat, serta mengundang keprihatinan komunitas buddhist di Singapore, Malaysia, Thailand, dan Taiwan.
Baca juga : Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)
Semoga artikel ini dapat membuka pikiran kita, serta tidak mudah terprovokasi, baik untuk masyarakat Tionghoa maupun bagi masyarakat umumnya.
Ingat, meninggalkan identitas kecinaan bukanlah sebuah jalan keluar …
Ketika Anda memutuskan untuk tidak peduli, Anda secara implisit setuju dan menerima tindakan diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada Anda, membuat Anda bersedia menjadi “peserta” dalam sistem rasis dan diskriminatif di negeri ini.