Last Updated on 25 June 2023 by Herman Tan Manado
Pada peristiwa Mei 1998, lebih dari 150 orang perempuan etnis Tionghoa mengalami perkosaan dan pelecehan seksual, dimana ±20 orang diantaranya meninggal dunia. Demikian menurut catatan tim relawan pada kasus Mei 1998.
Jumlahnya bisa lebih besar dari itu, karena banyak korban memilih diam. 21 tahun kemudian, kasus-kasus perkosaan inipun juga tak kunjung terungkap, dan tak ada pelaku yang pernah disidangkan.
Ita F Nadia, Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan menyebutkan, perkosaan Mei 1998 merupakan “perkosaan politik”, di mana tubuh atau seksualitas perempuan dijadikan alat teror dari situasi politik yang kacau.
Peringatan! Artikel ini mengandung konten kekerasan seksual. Pembaca harap bijak…
Baca juga : Peristiwa Mei 1998 di Jakarta : Titik Terendah Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia
A. Kisah Pilu Perkosaan Terhadap Kaum Perempuan Tionghoa – Mei 1998
Meski telah 21 tahun berlalu, Ita F Nadia mengatakan, mendampingi para korban perkosaan Mei 1998 merupakan momen mencekam dan tragis dalam hidupnya. Dia masih ingat bagaimana mendampingi salah seorang korban, seorang anak perempuan berusia 11 tahun yang meninggal setelah diperkosa di kawasan Tangerang.
“Dia meninggal di pangkuan saya. Dia diperkosa dan (maaf) vaginanya dirusak. Ibu dan kakak perempuannya juga diperkosa, tapi sudah meninggal beberapa jam sebelumnya,” ungkap Ita.
Sedangkan Ayah dari korban tersebut mengalami depresi hebat. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa satu keluarganya diperlakukan seperti itu.
“Saya dan pendeta mengurusnya. Saya membopongnya ketika didoakan pendeta, memandikannya, kemudian menunggunya sampai selesai dikremasi. Saya selalu tidak tega untuk mengingatnya.” kata Ita.
Korban merupakan keturunan Tionghoa, yang dikenal dengan sebutan ‘Cina Benteng‘. Wilayah Tangerang merupakan salah satu tempat terjadinya perkosaan massal pada Mei 1998, selain Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan sejumlah wilayah dan kota lain seperti Surabaya dan Medan.
Pada 13 Mei 1998 malam, Ita Fathia pertama kali mengetahui terjadinya perkosaan massal setelah menemui korban kejadian di kawasan Jembatan Tiga, Jembatan Empat, dan Jembatan Lima di Jakarta Barat. Ia menemukan korban itu setelah mendapatkan informasi dari sejumlah orang melalui telepon anonim.
“Pertama, telepon dari seorang laki-laki, katanya ada perkosaan terhadap etnis Tionghoa di Jakarta Utara. Kami pikir itu bohong, namun sekitar jam 8 malam, ada lagi seorang perempuan menelpon, yang mengatakan ada perkosaan di Jembatan Tiga di Cengkareng,” jelas Ita.
Baca juga : Kerusuhan Mei 1998 : Inilah Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa di Indonesia!
Akhirnya malam itu, Ita bersama 2 rekannya dari LSM Kalyanamitra pun memutuskan untuk pergi ke kawasan Cengkareng dengan taksi, meski belum mengetahui dengan jelas rumah para korban.
“Waktu itu di Jakarta Barat sudah ramai, taksi tak bisa masuk, demi keamanan supir taksi menyarankan saya menggunakan syal sebagai kerudung ketika keluar taksi,” kata Ita.
Dia dan 2 rekannya pun berjalan kaki ke Jembatan Tiga. Jalanan ketika itu sudah kacau, banyak orang menggedor pintu toko. Sampai di Jembatan Tiga, Ita bertemu dengan camat setempat yang menunjukkan rumah korban perkosaan.
“Sebelumnya dia menyarankan jangan ke sana karena berbahaya, tapi setelah tahu kami ingin mendatangi korban, camat itu mendatangi saya dan mengatakan ibu masih ingin ke sana, dia menunjuk arah beberapa rumah, yang korban di sana, sana dan sana,” jelas Ita.
Ketika mendatangi rumah pertama yang ditunjuk camat tersebut, Ita bertemu dengan korban perkosaan yang diperkirakan berusia 18-19 tahun.
“Tatapan matanya sudah kosong, saya lalu mendatangi rumah ke-2 dan ke-3. Benar saja, saya langsung menemukan korban dalam keadaan yang sama : sudah mengucurkan banyak darah. Mereka dari kalangan Cina miskin,” kata mantan Direktur Kalyanamitra ini.
Ita mengaku saat itu kebingungan dalam menangani para korban, karena belum punya pengalaman menangani kasus perkosaan massal seperti itu.
“Akhirnya saya tanya, apakah punya betadine untuk luka, dan kunci pintu dulu, sebelum mencari bantuan,” jelas Ita.
Setelah memberikan pertolongan pertama sebisanya kepada para korban di Jembatan Tiga, Ita dan rekannya kembali ke kantor. Di sana para relawan menerima banyak telepon kasus perkosaan.
Selama 13-14 Mei 1998, kasus perkosaan banyak dilaporkan. Ita pun mendatangi para korban, yang diantaranya terdapat mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang diselamatkan di pastoran.
“Sampai di sana, ada 2 perempuan yang dadanya (hanya) ditutup plastik hitam, kaki saya bergetar ketika membukanya, mereka menderita luka pada payudara dan vaginanya, semuanya mengeluarkan darah,” ungkap Ita.
Dia bersama rekannya dari tim relawan dan pastor tersebut berupaya membawanya ke rumah sakit, namun dalam perjalanan, keluarga mereka memutuskan untuk membawa korban langsung ke bandara, untuk diterbangkan ke Singapura.
“Karena mereka mengalami pendarahan hebat, dan sampai di bandara, mereka dapat diterbangkan ke Singapura, tanpa paspor ataupun visa.” jelas Ita.
Situasi bandara Soekarno-Hatta kala itu sangat padat dan kacau. Banyak orang (Tionghoa) yang mencari tiket, untuk segera pergi dari Indonesia.
Baca juga : Korban Mei 1998 : Mengapa Harus Perempuan Tionghoa?
Baca juga : Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)
Ketika melintas di kawasan Jakarta Barat, dalam perjalanan kembali dari bandara, Ita dan rombongan melihat sebuah mobil yang dikerumuni massa, dan penumpangnya suami istri dan seorang anak. Mereka pun segera ditolong dan diantar ke bandara.
Di kawasan Cengkareng, Ita mengatakan melihat banyak perempuan keturunan Cina yang berlarian sambil berteriak. Ita dan sejumlah rekannya pun menghentikan kendaraan untuk berupaya menolong korban.
“Tiba-tiba muncul seorang Pak Haji. Beliau membantu kami menolong perempuan-perempuan tersebut, dengan membawanya ke tempat tinggalnya.” kata Ita.
Untuk menangani korban, dibentuk Tim Relawan Untuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Tim ini mendapatkan bantuan dari sejumlah organisasi keagamaan Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, serta petugas medis. Salah satunya dr. Lie Dharmawan.
Ita mengatakan, komunitas agama dan medis memberikan tempat penampungan yang aman bagi para korban. Kemudian korban ditangani luka fisiknya, setelah itu pemulihan trauma.
Dr Lie mengatakan, ada beberapa korban perkosaan yang mengalami trauma berat dan sangat ketakutan jika melihat laki-laki. Dia lebih banyak menangani para korban yang memerlukan pembedahan sesuai dengan keahliannya.
“Kasus yang saya ingat, ada korban yang mencoba untuk bunuh diri, dengan meloncat dari lantai 3, sehingga mengalami patah tulang iga. Ada gadis berusia belasan tahun yang kakinya sudah bernanah, karena terkena beling ketika berlari untuk bersembunyi,” jelas dokter Lie.
Romo Sandyawan Sumardi, yang merupakan anggota TGPF, mengatakan sempat dihubungi dokter Lie ketika terjadi kasus kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswi universitas swasta di Jakarta.
“Korban mengalami luka pada perut dan vaginanya, karena ditusuk besi penyangga gorden, korban selamat meski mengalami pendarahan yang cukup hebat,” kata Sandyawan.
Kekerasan seksual itu terjadi setelah 15 Mei. Korban yang mengalami trauma hebat kemudian didampingi oleh Sandyawan dan salah satu penyintas kekerasan seksual lainnya.
Menurut Sandyawan, penyintas yang menjadi ‘pendamping’ korban tersebut turut mengalami perkosaan di taksi selama 9 jam. Lalu dia dibuang di suatu tempat dan diantar pulang oleh seorang supir taksi.
“Supir melihat ada KTP dan alamat lengkapnya, jadi diantar keluarganya. Saya mengetahuinya setelah dihubungi susteran,” kata Sandyawan yang juga pendiri Tim Relawan Untuk Kemanusiaan.
Berikut cerita si penyintas, yang menjadi pendamping korban perkosaan diatas
Dewi (nama samaran), berusia 23 tahun saat tragedi Mei 1998. Dia baru tiba dari Jakarta setelah menyelesaikan pendidikan psikologi dari sebuah universitas di Inggris. Dewi pulang ke tanah air sembari membawa rencana pernikahan dengan kekasihnya.
Malang tak terduga. Sepekan setelah peristiwa penembakan 4 mahasiswa Universitas Trisakti, saat Dewi bepergian dengan taksi seorang diri, tiba-tiba 2-3 orang masuk ke dalam taksi yang ditumpanginya. Kala itu, taksi yang dicegat berhenti di bawah jembatan Semanggi. Taksinya dirampas, dan sopirnya diturunkan.
Dengan ancaman akan dibunuh, Dewi diperkosa bergantian oleh para pria berbadan tegap. Peristiwa bejat itu terjadi di dalam taksi yang melaju mengelilingi Jakarta selama 9 jam. Tak dijelaskan dimana taksi itu berhenti.
Para pemerkosa kemudian meninggalkan Dewi di pinggir jalan. Sebelum pergi, mereka memintanya tutup mulut. “Mereka mengancam apabila korban membongkar cerita, seluruh keluarganya akan dibunuh dan dibakar,” kata Sandyawan Sumardi yang ketika itu menjabat Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK).
Seorang sopir taksi lain menemukan Dewi tergeletak di pinggir jalan, dan mengantarkannya pulang ke rumah. Orangtua Dewi menceritakan pengalaman tragis sang putri kepada Sandyawan. Sejak peristiwa itu, Dewi sempat 4 kali berniat bunuh diri. Dia pun bungkam seribu bahasa. “Selama saya mengunjunginya 3 kali, dia belum bersedia berbicara,” kata Sandyawan.
Selain Romo Sandyawan, ada juga tokoh-tokoh lain yang memberikan kesaksian seputar pemerkosaan massal dan kekerasan seksual selama tragedi Mei 1998. Para pemberi kesaksian itu adalah keluarga korban, saksi, dokter dan pendamping/konselor. Menurut data para saksi kepada TGPF, terdapat 85 kasus kekerasan seksual, dimana 52 di antaranya merupakan pemerkosaan dalam bentuk gang rape.
Seorang saksi lain menuturkan kepada TGPF mengenai pemerkosaan yang dilihatnya pada 14 Mei 1998 di Muara Angke, Jakarta Utara.
Sekitar jam 11.30, saya melihat beberapa orang mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik 2 gadis keluar dari mobil. Mereka melucuti pakaian 2 perempuan itu dan memerkosanya beramai-ramai. Ke-2 perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia.
Setelah 2 gadis itu berhasil melepaskan diri dari kumpulan orang biadab itu, saya mendekati dan mendekapnya. Saya kemudian membantunya mencarikan jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu, saya hafal jalan pintas menuju jalan raya.
Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuan dalam keadaan telanjang, dengan muka yang ditutup koran. Perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat.
Setelah menolong 2 perempuan itu, saya pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan sudah tidak ada lagi. Ke mana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?
Menurut penelusuran Romo Sandyawan, beberapa mayat korban perkosaan sengaja dibuang ke bangunan yang telah terbakar, dengan tujuan untuk menghilangkan jejak.
B. Bertemu Presiden BJ Habibie dan Utusan Khusus PBB
Sepanjang Mei 1998, Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan melakukan pendataan para korban perkosaan, tak hanya di wilayah Jakarta, namun juga di Medan dan Surabaya. Kala itu, jumlah korban sudah mencapai 150 orang, namun diperkirakan banyak yang tidak melaporkan kasusnya.
Dibantu Prof. Saparinah Sadli yang juga anggota tim relawan, Tim bertemu dengan Presiden BJ Habibie.
Dalam pertemuan itu, Habibie secara khusus bertanya mengenai kekerasan seksual yang dialami perempuan keturunan Cina.
“Ya saya ingat, saudara saya (seorang dokter perempuan yang dia sebut namanya) juga pernah menceritakan hal serupa. Dia tidak bohong pada saya“, ujar Habibie, seperti dikutip dari laporan Komnas Perempuan terhadap Tragedi Mei 1998.
Baca juga : Pemerkosaan Perempuan Tionghoa Pada Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta
Setelah itu Habibie bersedia membuat permintaan maaf atas nama pemerintah. Sikap Habibie itu dipertanyakan oleh Letjen Sintong Pandjaitan, yang kala itu menjadi penasihat militer kepresidenan.
“Pak, apakah hal ini tidak perlu dibahas di sidang kabinet terlebih dulu?” Namun Habibie menjawab “Can I have my own opinion? Kebetulan saya setuju dengan ibu-ibu tokoh masyarakat ini”. Begitu kisah Ita Fathia nadia.
Saat itu juga, permohonan maaf langsung disusun untuk dibacakan di depan wartawan di Istana yang hadir. Selain menyatakan mengutuk dan meminta maaf atas kerusuhan Mei 98 kepada para korban, Presiden juga membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta, dan keputusan untuk mendirikan Komnas Perempuan.
Ita Nadia dan Sandyawan menjadi anggota TGPF, namun Ita kemudian keluar, setelah anggota TGPF dari kepolisian bersikeras untuk bertemu dengan korban perkosaan.
Sebelumnya, tim telah berupaya untuk bertemu dengan pelapor khusus kekerasan perempuan PBB, Radhika Coomarswary, di Sri Lanka. Dari hasil pertemuan itu, tim diminta untuk memfasilitasi laporan tersebut, yaitu Asia Pasific Women Law and Development di Bangkok, Thailand.
Radhika kemudian membuat laporan ke Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa Swiss, dan melakukan investigasi ke Indonesia pada November 1998.
“Saat itu kami mempertemukan korban dengan Radhika, ada beberapa yang bersedia dan kami berupaya agar pertemuan berlangsung tertutup, bahkan ada yang memberikan kesaksian di dalam mobil box agar identitasnya tidak diketahui media,” ujar Ita.
Tak hanya kasus perkosaan Mei, kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh, Papua dan Timor Leste juga dilaporkan ke PBB.
Kesaksian di depan komunitas internasional juga pernah disampaikan seorang korban (cerita diatas) yang mengalami perkosaan selama 9 jam di dalam taksi.
Bersama dengan penyintas dan keluarga korban Mei 1998 lainnya, korban yang didampingi Sandyawan dan Karlina Supeli, menyampaikan kesaksian di depan komunitas internasional PBB di Jenewa Swiss dan juga di Kongres PBB di Newyork, USA.
Namun setelah memberikan kesaksian tersebut, korban tidak dapat kembali ke Indonesia terkait masalah keamanannya.
“Sampai di Singapura dia tak bisa pulang, dia dikejar dan sampai detik ini tak bisa pulang. Saat itu, dia dari Singapura langsung kembali ke AS setelah dijemput tunangannya,” ungkap Sandyawan.
C. Ancaman dan Pembunuhan Terhadap Para Korban Perkosaan
Berbagai ancaman diterima oleh para korban, saksi, dan juga para pendamping yang berbicara mengenai perkosaan Mei 1998 secara terbuka.
Sandyawan mengatakan, ada seorang saksi yang melihat langsung kekerasan seksual, ketika dia berjalan kaki dari bandara menuju rumahnya. Dia pernah memberikan kesaksian di media nasional.
“Dia itu mahasiswi, dan diberikan pakaian laki-laki oleh seorang pak haji supaya selamat. Lalu setelah tampil di media, malamnya dia dikejar oleh seseorang dan ketakutan, lalu lari ke luar negeri,” jelas Sandyawan.
Pada Oktober 1998, seorang anggota tim relawan, Ita Martadinata Haryono (18 tahun) dibunuh 1 minggu sebelum menyampaikan kesaksiannya di kongres PBB, bersama dengan ibunya Wiwin Haryono dan komunitas Buddha.
Ita Nadia dan Sandyawan yang pertama datang ke rumah Ita Martadinata di kawasan Sumur Batu Jakarta mengatakan, dia meninggal akibat luka pada bagian leher (digorok), dan (maaf) vaginanya ditancapkan sebuah batang kayu.
“Ketika saya ke kamarnya, darah Ita masih hangat, ” kata Ita Nadia.
Ita dibunuh dikamarnya ketika pulang sekolah. Pembunuhnya sampai saat ini tak pernah terungkap.
Setelah pembunuhan Ita Martadinata, para relawan pendamping diminta untuk tidak berbicara tentang kasus perkosaan sementara waktu, sampai situasi mereda. Semua data dan bukti pun disimpan dengan rapi.
“Semua hardisk yang berisi data kasus perkosaan dicopot dari komputer, lalu disimpan di luar kantor,” kata Ita. 2 hari setelah pembunuhan Ita Martadinata, kantor Kalyanamitra dibobol orang yang berusaha mencuri harddisk.
Setelah kejadian itu, Ita Nadia mendapatkan telepon ancaman dari seseorang, yang mengancam untuk memperkosanya dan menculik anaknya.
“Kalau kamu tidak berhenti bicara tentang perkosaan, saya akan memperkosa kamu dan saya akan ambil 2 anak kamu,” kata Ita, mengisahkan lagi ancaman itu.
Menurut Ita, bahkan ada orang yang datang ke sekolah anaknya, mengaku diminta menjemput, namun kepala sekolahnya tak mengizinkan. Anak-anaknya kemudian diungsikan ke Yogyakarta, di rumah orang tua Ita.
Baca juga : Teror Kasus Ita Martadinata : Kenapa Perkosaan Perempuan Tionghoa Mei 1998 Jarang Dilaporkan?
Ancaman melalui telepon juga beberapa kali diterima dr. Lie Dharmawan, bahkan sampai 1 tahun pasca kerusuhan Mei terjadi.
“Halo dokter Lie ini Cina ya, sekarang ini Cina-Cina enak ya boleh bersuara seenaknya, ngomong seenaknya,” demikian salah satu telepon gelap itu seperti ditirukan dr. Lie.
“Malam berikutnya, ada telepon lagi, bilangnya, “Halo dokter Lie, saya ini Jenderal lho membawahi preman-preman, dan saya akan mengirimkan preman yang saya bina untuk membawa hadiah pada Anda‘”.
Mendengar kata “hadiah”, dr. Lie langsung teringat granat aktif yang diletakkan di depan kantor Sandyawan, untuk meneror tim relawannya.
“Granat itu dijinakkan oleh gegana polisi,” kata dia.
Dr. Lie akhirnya memutuskan untuk pergi ke Jerman dan tinggal di sana selama setahun.
Sementara Ita melawan teror tersebut dengan menyampaikan pernyataan melalui televisi.
“Saya bilang di TV, bahwa saya tidak akan berhenti mengurus perkosaan 98, dan tidak akan takut menghadapi siapapun, dan kami para relawan pun masih terus mengurusi korban,” kata Ita.
D. Kondisi Korban Perkosaan Pasca Kerusuhan Mei 1998
Sejumlah korban yang sempat didampingi Ita kembali membangun kehidupannya yang sempat hancur karena perkosaan.
“Yang mahasiswi keduanya sudah lulus dan bekerja. Ada juga yang akhirnya memilih untuk MELEPAS KE-WARGANEGARAAN NYA, dan tinggal menetap di AS, ” kata Ita.
Aktivis perempuan & mantan Komisioner Komnas Anti Kekerasan Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, alih-alih mengungkapkan apa yang terjadi, para korban perkosaan Mei 1998 yang sebagian besar beretnis Tionghoa, memilih menyelamatkan diri ke luar negeri (Amerika, Kanada, Australia, Hongkong, Singapore & Malaysia), membentuk keluarga baru, dan melupakan peristiwa yang terjadi.
Korban yang telah memiliki keluarga baru sama sekali enggan membahas lagi peristiwa tersebut. Mereka khawatir keluarga barunya akan mengetahui tragedi pahit itu. Andy tak tahu pasti berapa banyak korban yang masih bertahan di Indonesia hingga saat ini.
Dalam laporan Komnas Perempuan yang berjudul “Disangkal!”, dikisahkan seorang korban dengan nama samaran Lani, seorang pedagang kue yang diperkosa, lalu diselamatkan Haji Ramli (bukan nama sebenarnya).
Ketika mengetahui Lani merupakan korban perkosaan, suaminya tidak mau mengakui dia sebagai istrinya, tidak mau menyapa, dan bahkan mengusirnya karena dianggap sebagai pembawa petaka dan aib keluarga. Lani pergi bersama 3 anak dan ibunya mendatangi Pak Haji yang membantunya menyewakan sebuah rumah.
“Dia sempat ingin bunuh diri, namun teringat ibu dan anak-anaknya. Dengan bantuan keluarga Pak Haji, Lani perlahan kembali bangkit dari trauma. Bermodalkan uang pinjaman dari Pak Haji, Lani pun kembali berjualan, dan bisnisnya semakin berkembang,” kisah Ita lagi.
Lampiran : Foto korban yang hangus terbakar pada peristiwa Mei 1998 (indonesia.tripcanvas.co)
Kepada pendampingnya, Lani mengatakan “Sampai sekarang saya tidak habis pikir, mengapa hanya karena pergantian presiden (Soeharto), ada segelintir orang tega memperkosa keturunan Cina dan membakari rumah orang Cina?
Mengapa ada orang yang tega menelanjangi dan memperkosa seorang perempuan beramai-ramai, seperti laiknya binatang?”
E. Fakta Sejarah : Negara Pernah Gagal Dalam Melindungi Segenap Rakyatnya!
Pembaca harap bijaksana. Foto mengandung unsur kekerasan, untuk usia 21+ :
♦ Korban perkosaan perempuan tionghoa Mei 1998
♦ Korban perkosaan perempuan tionghoa Mei 1998
♦ Pemerkosaan Perempuan Amoi di Jakarta Saat Insiden Mei 1998 (ext.link)
♦ Para Fankui Berseragam Memperkosa Gadis Amoi Tionghoa Saat Insiden Mei 1998 (ext.link)
Aktivis perempuan Andy Yentriyani menyayangkan ketidakhadiran aparat penegak hukum saat peristiwa kerusuhan dan pemerkosaan terjadi pada 13-15 Mei 1998. Padahal, sebelum ada peristiwa penembakan yang menewaskan 4 mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, pasukan pengamanan (TNI) menyebar hampir di seluruh titik ibu kota.
Namun dari tanggal 13 hingga 15 Mei 1998, nyaris tak ada aparat berjaga.
“Pertanyaannya, dimana pasukan tersebut? Itu penting sebagai pertanggungjawaban Negara atas perlindungan rakyat,” tuturnya.
Menurut Andy, pemerintah Indonesia seakan-akan tak percaya ada korban pemerkosaan dan kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998. Saat ini pun, pemerintah masih dianggap lalai, karena membiarkan laporan dari TGPF tanpa ada tindak lanjut. Andy mengkritik aparat yang mensyaratkan adanya laporan langsung dari korban untuk memproses kasus tersebut.
“Padahal ada trauma dan perasaan dari korban, bahwa itu aib yang tidak bisa diungkapkan,” kata Andy.
Poses pengungkapan kebenaran ini pun, sampai sekarang dibiarkan menggantung oleh pemerintah. Sebagai info, posisi terakhir dari kasus Mei 1998 ini, terhenti di pihak Komnas HAM.
Pemerintah lewat Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan, tetapi untuk menuju ke tahap hukum selanjutnya, yaitu dimana Jaksa Agung dapat melakukan penyelidikan & pengadilan atas dugaan pelanggaran HAM pada kasus Mei 1998, PERLU rekomendasi dari DPR.
Nah, permasalahannya adalah, para wakil DPR kita yang terhormat ini “ogah” mengeluarkan rekomendasi tersebut. Apa kendala mereka?
Apakah sebegitu banyaknya tokoh Orde Baru yg masih eksis di pemerintahan saat ini, sehingga mereka tidak bisa/belum boleh disentuh? Semenjak 1998, setidaknya sudah 4 periode, sudah berkali-kali ganti anggota dewan, namun jawabannya SAMA.
“Dari data TGPF, ada indikasi kuat keterlibatan Negara, baik kekerasannyam maupun pembiarannya. Tapi Negara lalai dan itu dibiarkan sampai sekarang,” kata dia.
Referensi :
1. BBC Indonesia – Perkosaan Mei 1998 ‘tak pernah terungkap, tak pernah dituntaskan’
2. Deretan Kisah Mengerikan Pemerkosaan Massal Mei 1998