Last Updated on 14 July 2023 by Herman Tan Manado
Ingat Kerusuhan Mei 1998 ? sebagian besar orang mungkin akan berpikir bahwa momen tersebut melahirkan sebuah era REFORMASI. Memang benar! Tetapi ada catatan sejarah menyedihkan yang tersimpan di baliknya; yakni sebuah kerusuhan, yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai TUMBAL REFORMASI!
Peristiwa ini sebagai pengingat abadi : Bahwa Negara PERNAH GAGAL dalam melindungi warga Negaranya!
Kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 merupakan salah satu memori terkelam etnis Tionghoa di Indonesia, yang masih menyimpan sebuah tanda tanya : KENAPA HARUS MEREKA?
Beberapa kasus masih belum terselesaikan akibat tragedi tersebut. Pada artikel kali ini, kami mengajak pembaca untuk mengulas balik tragedi berdarah Mei 1998 yang melibatkan warga beretnis Tionghoa. Tentu ini adalah VERSI TIONGHOA, yang tidak akan kalian temukan dalam buku pelajaran sejarah manapun di Indonesia.
Baca juga : Peristiwa Mei 1998 di Jakarta : Titik Terendah Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia
1. Awal Mula Kerusuhan Mei 1998 : Nilai Tukar Rupiah 17 Ribu/Dolar!
Kerusuhan Mei 1998 sebenarnya adalah puncak dari konflik-konflik yang terjadi jauh-jauh hari sebelumnya. Lebih tepatnya, yaitu sejak tahun 1997, ketika Indonesia mengalami krisis moneter (krismon) yang cukup parah. Krisis ini awalnya diakibatkan oleh jatuhnya nilai tukar mata uang negara Thailand, yaitu Baht terhadap dollar Amerika.
Hal ini mempengaruhi kondisi ekonomi di beberapa negara Asia, dan Indonesia menjadi salah satu Negara yang mendapat imbas yang cukup buruk. Masyarakat mulai khawatir karena bahan-bahan pokok mulai naik.
Dengan pandangan bahwa kondisi akan semakin memburuk, sebagian masyarakat mulai berbondong-bondong menyimpan stok bahan pokok. Namun, tindakan ini justru membuat permintaan lebih besar daripada ketersediaan, yang tentu saja menyebabkan harga kebutuhan pokok semakin naik.
Kepanikan dalam masyarakat pun semakin menjadi-jadi, sebab tidak hanya harga kebutuhan yang semakin meningkat, tetapi banyak diantara mereka yang terpaksa kehilangan pekerjaan, terkena PHK akibat krisis moneter. Pengangguran dan kemiskinan pun semakin menjadi ancaman bagi Negara.
Mahasiswa, yang notabene merupakan “pelajar paling senior” pun sudah melihat situasi dan kegelisahan yang dirasakan masyarakat akhirnya mulai melakukan tindakan. Pada bulan Maret hingga April 1998, mereka melakukan banyak aksi demo, menuntut Soeharto sebagai presiden Indonesia saat itu untuk menyelesaikan masalah ekonomi.
Melihat nihilnya perubahan pada kondisi ekonomi, mahasiswa pun semakin gencar berdemo. Mereka merencanakan aksi demo massal, dengan berbondong-bondong turun ke jalan, menuju gedung DPR kala itu.
Pada bulan Mei 1998, mereka memaksa Soeharto untuk turun dari jabatannya. Kejadian ini tidak hanya mengakibatkan kerusakan materi, tetapi juga menimbulkan banyak korban jiwa.
Banyak mahasiswa terluka, bahkan beberapa di antaranya meninggal akibat adanya bentrok dengan aparat keamanan. Dan yang paling diingat orang, adalah meninggalnya 4 mahasiswa Trisakti. Mereka justru DITEMBAK oleh tentara, ketika sedang berdemo di dalam kampusnya sendiri.
Kejadian peristiwa Trisakti inilah yang menjadi pelecut peristiwa berdarah, yang melibatkan masyarakat Tionghoa dimulai.
Baca juga : Benarkah Krisis Moneter di Indonesia Ada Hubungannya Dengan Para Naga?
2. Munculnya Berbagai Aksi Kekerasan Berbau SARA : Sentimen ANTI CINA!
Semenjak penembakan yang terjadi di Trisakti, suasana semakin ricuh. Masyarakat yang telah terprovokasi ini mulai nekat melakukan banyak aksi pembakaran dan penjarahan. Aksi ini dimulai dengan membakar truk dan mobil yang berlalu-lalang. Bahkan, massa tidak segan-segan melawan aparat keamanan dengan melempari batu dan botol.
Selain dari munculnya berbagai aksi kerusuhan, aksi-aksi yang berlatar belakang rasialis pun juga semakin nampak jelas. Masyarakat Tionghoa, yang sejak dulu didiskriminasi dan TIDAK DIANGGAP sebagai warga negara Indonesia asli, juga turut menjadi sasaran dari kerusuhan ini.
Situasi terpanas dari kerusuhan ini terjadi pada tanggal 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya.
Tidak hanya kata-kata rasis yang ditujukan kepada masyarakat beretnis Tionghoa, massa juga mulai beramai-ramai memasuki toko dan ruko mereka untuk menjarah barang-barang dari toko tersebut, seperti barang elektronik dan bahan sembako.
Banyak gedung dan ruko usaha pun ikut dibakar. Naasnya, beberapa orang di dalamnya meninggal terbakar karena tidak sempat melarikan diri.
Selain itu, sekelompok massa juga mendatangi rumah warga keturunan Tionghoa dan melempari rumah mereka dengan batu dan benda-benda sekitar. Kejadian-kejadian ini merupakan ancaman bagi keturunan Tionghoa saat itu.
Mereka panik, dan demi menghindari amarah yang lebih besar, banyak dari mereka pindah ke daerah lain untuk berlindung. Sejak kejadian ini, banyak masyarakat Tionghoa yang mulai menanyakan jati diri mereka.
Apakah mereka tidak dianggap sebagai Warga Negara Indonesia? Padahal, apabila ditelusuri, masyarakat Tionghoa sudah ratusan tahun hidup di Indonesia.
Mayoritas keturunan Tionghoa sebenarnya sama halnya dengan keturunan pribumi saat ini. Keduanya tidak benar-benar lahir dari keturunan asli Indonesia. Mereka hanya merupakan pendatang di masa lalu.
Bedanya adalah : Rata-rata masyarakat Tionghoa Itu MAPAN, sementara masyarakat pribumi itu SUSAH.
Kecemburuan sosial sebenarnya akar dari semua ini…
Dan yang paling miris adalah kasus pemerkosaan yang dilakukan terhadap perempuan Tionghoa. Cerita ini mungkin jarang terdengar, namun faktanya, pada saat itu banyak perempuan Tionghoa yang menjadi sasaran, dan diperkosa secara biadab dengan cara digilir, direndahkan etnisnya, dan diancam untuk tidak memberitahu kepada orang lain.
Kalau tidak, pelaku akan melakukan hal yang sama pada anggota keluarga korban lainnya.
Salah satu contoh dari kejadian tersebut disaksikan sendiri oleh seorang wartawan dari Media Indonesia. Kala itu, tepatnya di daerah Jakarta Barat, ia melihat 2 perempuan Tionghoa dipaksa keluar dari mobilnya oleh sekelompok orang. Mereka lantas ditelanjangi, diseret secara paksa ke satu bangunan, dan diperkosa beramai-ramai disana.
Selain kejadian itu, ada pula yang dilaporkan telah disiksa secara fisik, atau diperkosa hingga meninggal.. Namun sayangnya, kasus pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa belum memiliki kejelasan hingga saat ini. Pelakunya masih hidup enak di luar sana, sedangkan para korban berusaha keras mencari harapan untuk melangkah ke depan.
Kalian mau lihat foto korban wanita Tionghoa? Jangan buka di situs Google, apalagi Google Indonesia, karena sudah disensor pemerintah. Bukalah di situs BAIDU, dengan kata kunci yang tepat, kalian masih bisa menemukan foto-foto otentik.
Baca juga : Citra Indonesia Ternyata BURUK di Situs Baidu, Googlenya Tiongkok
3. Mengapa Etnis Tionghoa Menjadi Kambing congek Hitam? Mbeekkk!
Banyak generasi muda Tionghoa akan bertanya-tanya, mengapa masyarakat Tionghoa menjadi sasaran pada saat kerusuhan Mei 1998?
Sudah jelas, karena di buku pelajaran sejarah SMA, paling banter mereka hanya diberikan fakta mengenai penculikan puluhan aktivis oleh tim mawar bentukan Prabowo cs, atau jasa para mahasiswa yang telah menumbangkan era orde baru.
Tampaknya, pemerintah kita berusaha memperbaiki citranya dimata generasi muda, dengan mencoba mengaburkan, mengkerdilkan masalah yang telah terjadi 🙂
Namun apabila ditilik dari situasi terakhir sebelum kejadian tersebut, ada alasan mengapa warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran amarah dari masyarakat. Ketika itu, banyak politikus dan pejabat petahana, yang menggiring opini publik dan menanamkan kecurigaan terhadap masyarakat Tionghoa.
Meskipun tidak memiliki background ekonomi, para politikus ini berpendapat bahwa masyarakat Tionghoa telah memberikan sumbangsih besar terhadap krisis moneter yang terjadi saat itu.
Mereka mengatakan bahwa SEBAGIAN BESAR BOS CUKONG TIONGHOA TELAH MELARIKAN UANGNYA KELUAR NEGERI (ke bank Singapore, Hongkong, Swiss, Australia, dsb);
sementara Tionghoa yang kecil-kecil, menguasai barang kebutuhan pokok (sembako) dengan menyetoknya (umumnya masyarakat Tionghoa hidup berdagang, bertoko), sehingga harga naik dan masyarakat tidak mampu membelinya.
Lahir dari situasi itulah, masyarakat pribumi mencoba mengekspresikan amarah atas kesulitan yang terjadi, dengan mencari orang-orang yang bisa disalahkan. Dan etnis Tionghoa lah kelompok minoritas yang paling empuk untuk dijadikan sansak kemarahan. Lalu mengapa banyak perbuatan biadab diterapkan terhadap perempuan Tionghoa?
Selain karena etnisnya, tentu saja karena mereka perempuan, gender yang selalu dianggap lemah dan lebih mudah untuk dijadikan pelampiasan, alias double minority.
Sejatinya, perempuan yang berasal dari kalangan Tionghoa mengalami hal yang jauh lebih mengerikan. Mereka menjadi target utama, karena dianggap paling rentan, dan paling mudah dijadikan sasaran amuk massa.
Berdasarkan konstruksi masyarakat Indonesia, perempuan yang berasal dari etnis Tionghoa dapat digolongkan sebagai double minority (Tionghoa dan Perempuan).
Perempuan Tionghoa secara demografis tentu adalah minoritas, karena pada waktu itu etnis Tionghoa jumlahnya kurang dari 2% dari seluruh penduduk di Indonesia.
Bahkan menurut pemahaman dari Ita F. Nadia (seorang aktifis tim relawan pada waktu kejadian Mei 1998), perempuan etnis Tionghoa dapat dikatakan sebagai golongan triple minority; karena :
(1) mereka perempuan, (2) berasal dari etnis Tionghoa yang minoritas, dan (3) beragama non-Muslim, sehingga mereka paling tepat dijadikan korban dalam kerusuhan berbasis politik tersebut, karena mereka pasti akan sulit membela diri.
Baca juga : Kerusuhan Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa
4. Bagaimana Sejarah Kebencian RAS Terhadap Masyarakat Tionghoa?
Namun, apabila ditilik lebih jauh lagi, sentimen terhadap warga keturunan Tionghoa di Indonesia sebenarnya bermula sejak ratusan tahun yang lalu, lebih tepatnya tahun 1740.
Pada saat itu, terdapat sekelompok petani Cina, membawa senjata dan memberontak di Kota Batavia karena tidak terima dengan batasan yang diterapkan VOC. Kedatangan mereka membuat masyarakat curiga bahwa semua masyarakat Tionghoa yang berada di kota turut membantu para pemberontak tersebut.
Kecurigaan tersebut semakin meluas, dan puncaknya adalah pembantaian dan penjarahan besar-besaran yang dilakukan VOC untuk membalas masyarakat Tionghoa. Sekitar 6000-7000 rumah orang Tionghoa dibakar, dan orang-orang Tionghoa yang dipenjara di balai kota dibunuh dengan keji atas perintah Adrian Volckanier, gubernur jenderal saat itu.
Diperkirakan, total korban akibat peristiwa ini mencapai 10.000 orang!
Tindakan rasialis ini pun kembali terjadi, diantaranya adalah kerusuhan di Solo pada tahun 1912, kerusuhan di Kudus pada tahun 1918, gerakan anti etnis Tionghoa di Tanggerang pada tahun 1946, Bagan Siapi-api pada 1956, Palembang pada tahun 1947, dan pembantaian masyarakat Tionghoa oleh PGRS di Kalimantan Barat pada tahun 1967.
Kebencian terhadap masyarakat Tionghoa seakan mendarah daging di Indonesia. Meskipun dalam situasi normal masyarakat menerima, namun apabila kondisi semakin memburuk, masyarakat Tionghoa sering sekali menjadi sasaran. Lihat saja bagaimana ketika rupiah kembali melemah hingga 15 ribu/dolar pada Oktober 2018.
Masyarakat curiga pada para pebisnis Tionghoa, yang mencoba mengambil keuntungan dengan menukar rupiah ke dolar, dan penyimpan uangnya ke luar negeri. Padahal, sudah bukan rahasia umum lagi, dimana para pegawai swasta maupun sipil sekalipun, gemar menyimpan mata uang kuat sebagai investasi.
Bahkan para pejabat dan elit politik di negeri inipun sebenarnya GEMAR MENABUNG DOLAR, CUMA ENGGAN MEMBICARAKANNYA! Bukti? Lihat saja kasus-kasus tangkapan KPK, sebagian besar pasti ada mata uang dolar yang terselip!
Kecurigaan tersebut seakan tidak ada habisnya, dan tertanam dari generasi ke generasi. Mereka akan selalu dianggap pendatang dan bahkan menjadi ancaman.
Baca juga : Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia
Baca juga : Kisah PGRS Paraku di Kalimantan Utara : Habis Manis Sepah Dibuang, Kisah Perang Antara Guru dan Murid
5. Dampak Aksi Kekerasan Terhadap Tionghoa : Gedung BCA pun Terbakar!
Dampak dari aksi-aksi kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa tentu menimbulkan banyak kerugian. Ada pemilik toko yang merintis karirnya dari nol jatuh terpuruk atas pembakaran yang dilakukan massa. Mereka mengalami depresi dan kesulitan untuk bisa bangkit lagi. Beberapa juga memutuskan pindah dari tanah air karena trauma atas kerusuhan Mei 1998.
Menurut data yang disampaikan mantan gubernur DKI saat itu, Sutiyoso, pembakaran pada saat kerusuhan Mei 1998 menimbulkan banyak kerugian materi, diantaranya adalah hangus dan rusaknya 1026 unit rumah warga, 4939 bangunan, 1119 mobil pribadi, 66 angkutan umum, dan 821 unit motor.
Selain itu, beberapa gedung pusat perbelanjaan dan kantor bank pun berhasil dijarah dan dibakar massa, diantaranya adalah Mall Diamond, Mall Klender, Lippo Supermall, Hero Supermarket, Matahari Mall, kawasan gedung Glodok Plaza yang berisi sekitar 600 toko, hingga bank-bank yang terindikasi milik etnis Tionghoa, seperti BCA, Lippo, dsb.
Menurut data relawan, korban jiwa akibat pembakaran massal ini mencapai angka 1190 jiwa!
Sedangkan untuk korban pemerkosaan, dampaknya jauh lebih parah. Ada beberapa dari mereka yang tidak kuat menanggung malu, memutuskan untuk bunuh diri…
Bahkan ada pula yang sampai dikeluarkan dari rumah karena dianggap sebagai aib keluarga! Tidak sedikit perempuan Tionghoa korban pemerkosaan menjadi sangat tertutup, dan takut bertemu dengan orang-orang baru, terutama laki-laki.
Inilah yang menjadi kesulitan para relawan untuk membantu mereka. Saat itu, relawan berusaha keras untuk mendapat kepercayaan para korban agar dapat membantu memulihkan keadaan mereka.
Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan pemerintah (sebenarnya karena desakan/tekanan asing), sedikitnya terdapat 66 korban pemerkosaan dan 86 kasus pelecehan seksual. Jumlah ini jauh lebih sedikit dari data tim relawan yang menyebutkan jumlah korban pemerkosaan sebanyak 152 orang, dengan 20 di antaranya meninggal dunia.
Angka tersebut sebenarnya bisa lebih besar, apabila banyak korban lainnya berani untuk buka mulut. Namun mengapa banyak diantara mereka yang memilih diam? Baca terus ulasannya dibawah 🙂
Berikut lampiran Laporan RESMI Pemerintah Indonesia Lewat Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF), mengenai Kerusuhan 13-15 Mei 1998 : Link hasil TEMUAN Tim Gabungan Pencari Fakta.
Baca juga : Mengapa Pemukiman Mereka HABIS DIJARAH? Kajian Historis Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)
6. Kenapa Kasus Pemerkosaan Perempuan Tionghoa JARANG DILAPORKAN? Teror Kasus Ita Martadinata!
Foto-foto pencarian seperti ini tidak akan pernah temukan di Google. Dengan kata kunci yang tepat, pembaca masih bisa menemukannya di situs pencarian luar negeri, seperti di Baidu.
Kepastian mengenai kasus-kasus pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa ketika itu memang terkesan ditutupi, dianggap belum jelas, dan hanya dianggap sekadar gosip. Bahkan B.J.Habibie, sebagai presiden yang menggantikan Soeharto kala itu juga tidak sepenuhnya percaya bahwa pemerkosaan massal itu benar-benar terjadi.
Meskipun pada akhirnya, Beliau akhirnya mengakui, dan membentuk TGPF – Tim Gabungan Pencari Fakta yang diresmikan pada tanggal 23 Juli 1998.
Sebagai info, TGPF ini sejatinya dibentuk atas desakan & tekanan berbagai pihak asing, yang menginginkan pemerintah untuk membentuk tim independen, untuk mengumpulkan berbagai fakta atas kejadian Mei 98 ini.
Pemerintahan yang baru pasca Soeharto lengser SEJATINYA tidak ingin “memperpanjang” masalah ini. karena menganggapnya sebagai bagian dari TUMBAL REFORMASI YANG HARUS ADA!
Namun, pembentukan tim ini tidak serta-merta membuat masalah menjadi lebih jelas. Nyatanya, tim TGPF tidak mampu untuk mengusut dan menemukan siapa saja pelaku pemerkosaan. Dan kasus pemerkosaan ini perlahan-lahan semakin memudar setelah kasus pembunuhan terhadap Ita Martadinata.
Ita adalah seorang siswi SMA beragama Buddha, yang menjadi salah satu korban pemerkosaan pada tanggal 15/16 Mei 1998. Ia dibunuh sehari sebelum keberangkatannya ke New York, Amerika Serikat, guna memberi kesaksian kepada pembela hak asasi Internasional!
Sebelum dibunuh, pelaku sempat memerkosa Ita di dalam rumahnya sendiri. Darahnya berceceran di lantai dan tembok rumah. Jenazahnya sendiri ditemukan telanjang, dan lehernya hampir putus (digorok dengan pisau tua), kemudian di duburnya (anus) ada kayu yang tertancap. Dikamarnya, darah sudah mengenang banyak di lantai.
Pelakunya bangs4t memang!!
Beberapa orang berpendapat bahwa pembunuhan terhadap Ita adalah sebuah BENTUK TEROR. Meskipun sebelumnya juga terdapat berbagai teror terhadap para relawan, untuk tidak mengusut lebih jauh mengenai kasus pemerkosaan, tetapi kasus pembunuhan Ita lah yang menjadikan teror itu terasa lebih jelas.
Sejak kejadian itu, baik korban, orang tua korban, dan komunitas Tionghoa langsung TUTUP MULUT …
Meskipun kepolisian mengatakan, bahwa pelaku pembunuhan terhadap Ita Martadinata adalah tetangganya sendiri yang kecanduan narkoba, tetapi masyarakat tahu bahwa tindakan tersebut adalah suatu bentuk teror.
Sebab, siapa tetangga itu, dimana tetangga tersebut, dan bahkan bagaimana nasib tetangganya tersebut, sampai saat ini tidak ada yang mengetahui.
Source : Wawancara TEMPO.CO
Menurut Ita Fatia Nadia, Relawan Mei 98 / Mantan Direktur Kalyanamitra :
“Kasus Ita Martadinata menjadikan seluruh proses Mei 98, terutama perkosaan itu menjadi selesai, berhenti. Jadi kami menganalisisnya, bahwa Ita Martadinata ini adalah TEROR, untuk Hei kepada kamu, siapa saja yang akan bicara tentang siapa pemerkosa, ini loh, akibatnya seperti ini, (dibantai) kayak Ita Martadinata!”.
Baca juga : Korban Mei 1998 : Mengapa Harus Perempuan Tionghoa?
Baca juga : Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)
7. Analisis Mengenai Kerusuhan Mei 1998 : Siapa Provokatornya? Wiranto? Prabowo? Atau?
Menurut Dewi Anggraeni, seorang penulis buku, tujuan utama dari kerusuhan bukanlah untuk menghabisi masyarakat Tionghoa. Sentimen terhadap masyarakat Tionghoa, yang sudah melekat di Indonesia lah yang dimanfaatkan untuk menciptakan kerusuhan tersebut.
Dewi berpendapat, bahwa tujuan utama dari skenario kerusuhan adalah untuk mencapai kepentingan politik.
Dalam analisisnya, ia berpendapat bahwa massa tidak serta merta melakukan gerakan kekerasan dan penjarahan terhadap masyarakat Tionghoa, karena krisis moneter yang terjadi. Sebelumnya, mereka telah di provokasi untuk membenci masyarakat Tionghoa, dan dipancing untuk melakukan penjarahan dan pemerkosaan.
Analisis ini didasari oleh fakta bahwa banyak penjarah yang justru ikut terbakar di dalam gedung. Jadi, mereka dipancing agar masuk ke dalam gedung-gedung mall untuk menjarah barang-barang di dalamnya, kemudian kelompok provokator atau perusuh yang sebenarnya mengunci mereka di dalam dan membakarnya dari luar.
Sumber (ext) : Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 1998 Itu Memang Ada (Tinjauan Buku)
Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang di Data Oleh Tim gabungan Pencari Fakta (TGPF)
Selama kerusuhan berlangsung, hampir tidak ada aparat keamanan yang terlihat melakukan tindakan pengamanan atau memberikan perlindungan yang memadai atau mencegah terjadinya perusakan, penjarahan, dan pembakaran.
Temuan TGPF menyebutkan bahwa di beberapa tempat, sama sekali tidak ada aparat keamanan yang berjaga. Polisi dan pasukan huru-hara Kodam Jaya tiba di tempat setelah kerusuhan berlangsung, malah ada tempat-tempat dimana penjarahan berlangsung, dan aparat keamanan terlihat hanya berdiam diri.
Para pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 terbagi atas massa dan provokator. Massa adalah orang-orang yang berkumpul ditengah jalan, di lokasi keramaian, dan tempat-tempat strategis.
Kebanyakan mereka terdiri dari penduduk setempat, dengan status ekonomi sosial yang lebih rendah dibanding sasaran-sasaran kerusuhan, dengan jenjang usia dari anak-anak, remaja (SMP-SMA), pemuda, hingga orang tua.
Pelaku provokator umumnya terdiri dari 3-10 orang, dan pada beberapa tempat kerusuhan merupakan kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Para pelaku jenis ini datang dan bercampur dengan kerumuman massa, atau datang dan membentuk kerumuman massa, atau tiba ditempat kerusuhan secara berkelompok.
Umumnya pelaku jenis provokator ini bukan dan tidak dikenal penduduk setempat. Mereka tiba di wilayah kerusuhan menggunakan kendaraan, termasuk mobil pick-up, kopaja, metromini, dan motor.
Secara fisik, para pelaku provokator ini tampak berotot, dan gerakannya amat terlatih dalam melakukan pembakaran, seperti pembakaran motor dengan bensin dengan terlebih dahulu melepas selang bensin, serta terlatih dalam merusak dan menghancurkan barang atau gedung.
Pada sebagian lokasi, pelaku provokator ini membawa kotak botol berisi batu, ada yang membawa cairan yang mudah terbakar yang dibawa dalam kantong plastic atau tas punggung. Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat apa yang dikemukakan oleh korban kerusuhan dan para saksi mata.
Menurut mereka, pelaku provokator ini terdiri dari kelompok pemuda yang berpenampilan beraneka macam; ada kelompok pemuda berpakaian pelajar SMA atau pakaian mahasiswa, ada kelompok remaja yang berpakaian lusuh dan berwajah sangar, namun umumnya mereka berbadan kekar, berambut cepak/pendek ala militer, dan memakai sepatu lars tentara, dan bertato.
Baca juga : Siapakah Provokator dan Rekayasa Peristiwa Mei 1998?
8. Kehidupan Masyarakat Tionghoa Setelah Tragedi Mei 1998 : Hidup Dibalik Rumah Berterali Besi
Baca juga : Kapan ‘Kecinaan’ Akan Berhenti?
Wajar memang apabila aksi-aksi massa yang mengancam masyarakat Tionghoa pada saat kerusuhan menimbulkan trauma yang mendalam. Meskipun itu sudah lebih dari 2 dekade lalu, namun rasa takut itu masih ada.
Trauma tersebut nampak jelas dari inisiatif mereka memasang tralis dan gerbang secara masif di setiap rumah untuk melindungi diri. Berdasarkan pengamatan sosiolog, pemasangan tralis ini dianggap sebagai manifestasi pencarian rasa aman.
Masyarakat yang tidak tahu alasan tindakan tersebut mungkin akan menganggap bahwa masyarakat Tionghoa cenderung tertutup, dan tidak mau berbaur dengan masyarakat sekitar, tapi sebenarnya mereka hanya takut kejadian di masa lalu akan terulang kembali.
Dan lagi, meskipun sekarang tidak ada kejadian seperti Mei 98, diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa pun masih melekat di kehidupan masyarakat. Sentimen anti cina masih terus berlangsung. Contoh yang paling jelas adalah :
1. Kasus DI PENJARANYA AHOK karena ucapannya, yang dianggap menghina umat Islam. Baca : Ahok dan Isu Sentimen Anti Tionghoa di Indonesia.
2. Dibakarnya 11 Vihara dan Kelenteng di Tanjung Balai Medan, hanya gara-gara suara toa masjid, oleh Ibu Meiliana. Baca : Para Terdakwa Kasus Pembakaran Vihara Tanjung Balai Hanya Divonis 2 Bulan, Ahok “Keseleo Lidah” Divonis 2 Tahun.
3. Patung KWANKONG di Tuban, Jawa Timur, yang DIPOCONGI, dan diancam dirobohkan hanya gara-gara dianggap patung asing dan berhala oleh masyarakat pencinta anti toleran. Baca : Inilah Realita Toleransi di Indonesia : Patung Dewa Kwan Kong Ditutup KAIN PUTIH.
Nah, itu dia adalah sekelumit penjelasan mengenai peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang telah berhasil menorehkan luka untuk masyarakat Tionghoa. Semoga artikel ini dapat membuat kita lebih terbuka dan tidak mudah terprovokasi, baik untuk masyarakat Tionghoa, maupun masyarakat pribumi.
Ingat, meninggalkan identitas kecinaan mu bukanlah sebuah jalan keluar …
Ketika Anda memutuskan untuk tidak peduli, Anda secara implisit setuju dan menerima tindakan diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada Anda, membuat Anda bersedia menjadi “peserta” dalam sistem rasis dan diskriminatif di negeri ini.
Menolak Lupa ?
1. Kejadian bukan hanya di tahun 1998 ( sudah berkali kali)
2. Kalo kalian bisa membuat sejarah indonesia di jajah dari zaman VOC – 1945, kenapa sejarah orang cina di jajah bangsa sendiri di tutup2 ?
kurang BANGSAT apa coba ?
MUNAFIK ?
Maaf menurut saya ada beberapa pemakaian istilah atau tulisan yang mungkin kurang tepat di gunakan dalam artikel ini (misal: Rata-rata masyarakat Tionghoa Itu MAPAN, sementara masyarakat pribumi itu SUSAH dan ada juga beberapa tulisan yang mungkin akan menimbulkan multitafsir kedepannya) . Saya pribadi adalah seorang yang silsilahnya ada garis keturunan Chinesse juga. Sejarah memang harus di ingat, tapi tidak baik juga ketika di jadikan tulisan publik ada di tambah tambahkan dengan kata kata yang kasar atau merendahkan. bahkan menyinggung orang lain. Mari kita saling menghormati orang lain tanpa merendahkannya 🙂 Salam.
Terima kasih masukannnya.
Tapi seperti itulah fakta di lapangan, dari sudut pandang masyarakat lokal, kalau Anda mengkritisi lagi masalah penggunaan kata pribumi.
Masalah kebencian terhadap etnis minoritas di Indonesia ini, sudah sampai pada tahap dimana pemilihan diksi yang baik TIDAK LAGI akan mengecilkan masalah.
Tugas kami adalah memberi info kebenaran kepada generasi muda Tionghoa, bahwa, “oh seperti ini toh fakta yg sebenarnya”.
Karena di buku2 sekolah, pada sejarah Mei 98 tidak lagi mencantumkan masalah isu ras ini.
Terimakasih sudah memberi penjelasan dengan baik atas masukan dari saya. Kalau kita bicara dari akar pemasalahan kenapa banyak orang di sini membenci orang Cina/Tionghoa menurut saya adalah bangsa Indonesia juga mempunyai masa kelam bernama G30S/PKI pada tahun 1965 atau pembunuhan oleh orang orang yang mengaku komunis dan di Cina sendiri menganut paham tsb. Saya sendiri menyadari sebenarnya jika orang orang membenci Cina itu salah, yang harus di benci itu sebenarnya sistem komunisnya, bukan malah membenci individualismenya. Tapi ya namanya kita manusia, ya mau gimana lagi. Kadang akal sehat bisa dikalahkan dengan rasa kebencian dan hasutan hasutan. Salam hangat, semoga kita selalu bisa bergandengan tangan, saling menghormati dan saling menjaga.
Yg menolak mengungkit ini, antara 2 :
1. Mereka itu pelaku, atau saudara/i pelaku, atau ada keuntungan dibalik kejadian mei 98 tersebut. Bisa juga mereka pendukung pemerintah, entah itu PNS, atau keluarga PNS, atau pejabat, atau keluarga pejabat. Pemerintah biasanya paling anti dgn hal2 spt ini. Slogan pemerintah kan, jilat pantat tuannya. hehe. Hal2 spt ini, sejarah kelam bangsa, tentu saja harus diberangus. Sejak jaman dinasti Qin, model2 pemberangusan fakta ini sudah lazim min! Yg menang, yg berkuasa, dialah sumber fakta.
2. Mereka orang2 tionghoa, yg sudah kadung/terlanjur nyaman dengan situasi yg ada. Ntah karna diuntungkan pemerintah, atau bukan korban langsung. Orang2 kalo sudah merasa nyaman, ujung2nya jadi egois, “ada gua, tidak ada kamu”.
Saya dukung 100% topik2 spt ini rutin diposting, terlepas dari suka/tidak suka, wong Allah, Jesus, Mohammad, Budha, Dewa Wisnu, dsb saja , tidak 100% manusia yg suka. Apalah kita2 yg hanya manusia biasa ini.