Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Potehi berasal dari kata serapan dialek Hokkian (bukan bahasa), yakni : poo (artinya kain), tay (artinya kantong), dan hie (artinya wayang); sedangkan dalam bahasa Mandarin disebut 布袋戯 (baca : Bu Dai Hu); yang secara harfiah berarti wayang yang berbentuk kantong kain.
Orang yang berperan sebagai dalang memainkannya dengan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut. Wayang Potehi, terdiri dari 2 kata yaitu ‘wayang’ dan ‘potehi’; dan jelas juga berasal dari kata bahasa Indonesia dan dari kata serapan dialek Hokkian.
Kata ‘wayang’ sendiri dipercaya bukan kata murni bahasa Indonesia atau Melayu, tapi merupakan serapan dari bahasa Jawa atau Sansekerta yang artinya kurang lebih bayangan. Walaupun dalam penerapan dan konteks ‘wayang potehi’ sangat jauh dari ‘bayangan’.
Lebih tepatnya, dalam bahasa Mandarinnya adalah Bu Dai Xi dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Glove Puppetry. Nama lainnya antara lain adalah : budai mu’ouxi, shoucao kuileixi, shoudai kuileixi, xiaolong, atau zhihuaxi.
Jadi kurang lebih arti kata Wayang Potehi itu sendiri adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tsb dan memainkannya seperti layaknya wayang jenis lain. Wayang ini dimainkan menggunakan kelima jari tangan.
Tiga jari tengah (telunjuk, jari tengah, dan jari manis) berfungsi mengendalikan bagian kepala wayang, lalu ibu jari dan jari kelingking berperan menggerakkan bagian tangan wayang.
Kesenian ini diperkirakan sudah berumur lebih dari 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok. Tapi jejak awal yang tercatat adalah dari abad 17, berasal dari provinsi Fujian, yaitu di Quanzhou, Zhangzhou. Selain di 2 daerah itu, banyak juga dimainkan di provinsi Guangdong, dan ditemukan juga di Chaoshan, Taiwan.
Wayang ini merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari Tiongkok bagian selatan. Menurut sejarah, diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin (265 – 420 Masehi) dan berkembang pada Dinasti Song (960-1279).
Wayang potehi bisa sampai ke Indonesia melalui orang-orang Tionghoa yang datang sekitar abad ke 16. Saat masuk pertama kali di Indonesia, Wayang potehi dimainkan dalam Bahasa Hokkian.
Namun seiring berkembangnya waktu, Bahasa dan latar cerita yang disuguhkan pun menyatu dengan budaya Indonesia. Kini, banyak dalang Wayang potehi yang bukan dari peranakan Tionghoa, tetapi dari suku lain seperti suku Jawa.
Interaksi penduduk asli dan pendatang berlangsung mulus, terutama dengan cara perkawinan, beranak pinak, turun temurun sampai dengan sekarang ini.
Uniknya, kelenteng-kelenteng di seluruh pesisir utara Pulau Jawa menyembah dewa atau dewi yang sama, terutama dewi, yaitu dewi yang berhubungan dengan laut, sesuai mata pencaharian penduduk pesisir dari dulu sampai sekarang, yaitu melaut untuk mencari ikan.
Wayang Potehi pada masa keemasannya di awal-awal kemerdekaan republik ini, akan berpentas jika ada acara-acara khusus, termasuk acara-acara dari penduduk asli setempat. Pesta perkawinan, tahun baru, Imlek, dsb.
Lakon Wayang Potehi
Di masa-masa awal masuknya Wayang Potehi ke Indonesia, sampai dengan berkembang di awal abad ke-20. Lakon yang dibawakan kebanyakan masih ‘asli’ dari negeri Tiongkok. Lakon yang umum adalah Sie Djin Kui (Ceng Tang dan Ceng See).
Ini adalah kisah peperangan 2 negara, di mana salah satu negara dipimpin oleh seorang jenderal yang konon punya peliharaan tak kasat mata, seekor harimau putih, sehingga dia ini sakti mandraguna dan ditakuti lawan-lawannya.
Sub-judul Ceng Tang dan Ceng See adalah menunjukkan episode peperangan. Ironisnya, Sang Jenderal ini mati dibunuh oleh putranya sendiri Sie Teng Shan. Cerita lengkapnya saya terus terang sudah samar-samar sekali. Masih ada juga lelakon Poei Si Giok alias Fang She Yu yang pernah dimainkan oleh Jet Li beberapa tahun lalu.
Poei Si Giok dan Sie Djin Kui ini adalah 2 contoh lelakon klasik yang wajib dipentaskan dalam pementasan Wayang potehi.
Di masa-masa awalnya, pementasan sudah dilakukan dalam bahasa Indonesia, walaupun beberapa percakapan, tembang dan sajak masih dibawakan dalam dialek Hokkian, yang dianggap ‘bahasa aslinya’, dan kebanyakan dipentaskan di halaman kelenteng-kelenteng yang tersebar di kota-kota di sepanjang pesisir utara Jawa.
Tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia, beberapa lakon yang sering dibawakan dalam Wayang potehi adalah Si Jin Kui (Ceng Tang dan Ceng Se), Hong Kiam Chun Chiu, Cu Hun Cau Kok, Lo Thong Sau Pak, dan Pnui Si Giok.
Setiap wayang bisa dimainkan untuk berbagai karakter, kecuali karakter Kwan Kong, Utti Kiong, dan Thia Kau Kim yang warna mukanya tidak bisa berubah.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, lakon yang dipentaskan mulai melebar ke arah yang lebih modern seperti Sun Go Kong. Juga mulai berasimilasi dengan budaya setempat, termasuk bahasa setempat yaitu bahasa Jawa.
Alat musik pengiring utama adalah tambur, kendang, suling, kecer dan rebab. Kombinasi harmonis dari alat-alat musik ini menimbulkan perasaan tersendiri di hati penontonnya.
Lelakon Wayang Potehi ternyata ada yang diadopsi ke dalam cerita Indonesia, yaitu ke dalam Lelakon Ketoprak. Tokoh Sie Djin Kui diadopsi menjadi Joko Sudiro, atau tokoh Prabu Lisan Puro yang diambil dari tokoh Lie Sie Bin, salah satu cerita kuno dari Tiongkok.
Seiring perjalanan waktu, pementasan Wayang Potehi juga bercampur dengan selipan bahasa Jawa. Para dalang Wayang potehi yang keturunan Tionghoa juga makin berkurang, makin ditinggalkan, tapi justru para dalang yang penduduk asli makin banyak.
Wayang Potehi sudah bukan milik orang tionghoa saja, namun sudah menjadi kesenian peranakan milik Indonesia. Bukan sekadar seni pertunjukan, Wayang potehi bagi etnis Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual.
Potehi itu bukan wayang gantung ya?
Belum pernah lihat bagaimana model/bentuk wayang gantung, jadi belum boleh jawab apakah sama atau tidak.
Potehi dengan Wayang Gantung sepengetahuan saya berbeda. Wayang Gantung bkesenian orang-orang Hakka. Orang-orang Hakka banyak menidami pulau Kalimantan, terlebih di Singkawang. Jika ingin mengetahu mengenai kesenian Wayang Gantung sudah ada yang menulis, salah satunya dari balai Penelitian Pontianak, yang menulis kalau tidak salah Benedikta. Selain itu dari Untan dan Unhas juga pernah membahas Wayang Gantung.