Last Updated on 18 April 2021 by Herman Tan Manado

Foto ini di share dari halaman Facebook GNPF-MUI pada 9 Oktober 2017. Mereka seolah mempermasalahkan terdapat seperangkat alat sembahyang (dupa dan hiolo) dalam ruang sidang.

Tampak alat sembahyang dalam ruang sidang yang dipermasalahkan GNPF MUI

Padahal dalam pasal 160 ayat 3 KUHAP yang berbunyi : Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut tata cara agamanya masing-masing”.

Pengambilan sumpah dilakukan berdasarkan agama yang dianut oleh saksi, dengan dibantu oleh rohaniawan sebagai juru sumpah”.

Jadi, apabila ada saksi yang disumpah bukan dengan tata cara agamanya, maka pengambilan sumpah menjadi tidak sah karena dalam Pasal 160 ayat 3 KUHAP telah menyatakan bahwa pengambilan sumpah harus dilakukan menurut cara agama saksi.

Selain itu, apabila seorang saksi tidak memenuhi perintah majelis hakim dengan cara misalnya sengaja minta disumpah dengan cara Islam padahal ia beragama Konghucu, maka saksi dapat dikenakan ketentuan Pasal 224 Kitab KUHP, yang berbunyi :

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :

1.    dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan,
2.    dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan.

Padahal selain altar sembahyang, juga selalu disediakan Al Qur’an untuk saksi yang beragama Islam, Bible/Injil untuk saksi yang beragama Kristen Protestan dan Katolik, serta dupa dan canang sari untuk saksi yang beragama Hindu.

Berikut postingan yang terdapat pada halaman Facebook GNPF MUI yang mempermasalahkan penggunakan hio dalam ruang sidang di Pengadilan Negeri Surabaya.

Mohon ijin bertanya… Barusan ana menghadiri Persidangan Ustadz Alfian Tanjung di Sby 09/10/17. Yang jadi pertanyaan, di dinding yang saya lingkari itu apa ya? Apakah memang disemua ruang sidang ada hal tersebut? Mohon penjelasan.

Kejadian dupa hio yang tertempel di dinding ruang sidang ini juga rupanya pernah terjadi di PN Surabaya, dan diangkat menjadi berita pada 24 januari 2017

Tampak seperangkat alat sembahyang di salah satu ruangan sidang PN Surabaya, bagi yang beragama Buddha dan Konghucu.

Pengunjung Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dibuat bertanya-tanya terkait adanya hio atau dupa, serupa media yang biasanya digunakan oleh komunitas tertentu untuk melakukan ritual sembayang, yang terdapat di seluruh ruang sidang PN Surabaya baru-baru ini.

Hio atau dupa itu terpasang di salah satu sudut ruang sidang dan sengaja diletakan sedikit diatas lebih tinggi dari kursi pengunjung dan hakim.

Ketua PN Surabaya Sujatmiko saat dikonfirmasi menjelaskan, bahwa hio atau dupa itu bukan alat untuk ritual sembayang.

Itu (hio, red) sebagai pelengkap untuk pengambilan sumpah bagi saksi yang keterangannya diperdengarkan di persidangan, dan merupakan kelengkapan bagi umat beragama tertentu, seperti Buddha maupun Konghucu,” jelasnya, Selasa (24/1/2017).

Dupa berwarna merah mencolok itu terpasang di dinding ruang sidang sejak lebih dari sepekan lalu. Dupa itu berdiri di atas semacam mangkuk kuni keemasan yang bertengger di atas papan kecil. Di kanan-kiri, terdapat satu lilin merah berdiri.

Papan kecil penopang dupa dan lilin itu melekat di sebuah papan lebih besar berwarna merah, yang terekat di permukaan dinding. Tulisan huruf China tertera di papan merah itu. Benda khas warga Tionghoa itu terpasang di sembilan ruang sidang yang ada di Pengadilan Surabaya.

Dupa China itu pertama kali jadi perhatian pengunjung kala sidang perkara Trisulowati Jusuf alias Chin Chin, terdakwa penggelapan dokumen perusahaan yang dilaporkan suaminya, digelar di Ruang Cakra. Kala itu pengacara kondang yang mendampingi, Hotman Paris Hutapea, hadir di sidang untuk pertama kali.

Mulanya, sebagian pengunjung menduga dupa berhuruf aksara China itu bagian ritual dari pihak beperkara. Maklum, terkadang memang ditemui sejumlah pihak beperkara tepergok menggunakan aksi ‘perdukunan’ saat sidang di Pengadilan Negeri Surabaya.

Dugaan itu meleset karena dupa itu ada di semua ruang sidang. “Dupa itu bukan karena momentum menjelang Imlek atau urusan perdukunan. Tersedianya dupa itu di ruang sidang merupakan hal wajib yang dilakukan oleh setiap pengadilan.

Coba deh dilihat pengadilan-pengadilan lain, pasti juga ada dupa serupa yang terpasang di tiap ruang sidang,” tambah Sujatmiko.

Tertempelnya dupa di tiap ruang sidang Pengadilan Negeri Surabaya tersebut sempat menarik perhatian pengunjung sidang di PN Surabaya. Faisal, misalnya. Selama menunggu sidang, tatapan mata warga Krian Sidoarjo ini tak lepas dari posisi dupa yang menempel di salah satu sisi dinding ruang sidang Kartika PN Surabaya.

Dia mengaku bertanya-tanya apa arti dan tujuan dipasangnya dupa tersebut oleh pihak PN Surabaya. Namun saat dijelaskan tujuan dipasangnya dupa itu, ia akhirnya mengaku paham. “Oh..sekarang saya tahu, saya kira untuk peringatan Imlek. Ternyata untuk sarana kelengkapan pengambilan sumpah saksi,” ujarnya (sumber berita : duta.co)

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

2 thoughts on “Ketika Asap Dupa dan Hiolo Dipermasalahkan Dalam Ruang Sidang”
  1. izinkan sy bertanya beberapa hal.
    1. pd umumnya agama org cina apa.?
    a. apakah tionghoa itu suku.? dan apa hubungan nya dengan konghucu,? apakah keyakinan atau agama.!
    b. menurut saudara mengapa cara ibadah org cina terkesan aneh di masyarakat.? khususnya Indonesia!

    2. kira2 bahasa org cina yang ada di Indonesia sama tidak dengan bahasa org cina yang ada di Cina.?

    3. mengapa penyebutan Cina di indontesia terkesan sara.? (mnurut saya klw memang org cina yh gpp dong, baik itu merujuk kepada sebuah suku, ataupun sebuah negara.)

    4. adakah org cina yang ada di indonesia berkeinginan utk kembali kenegara asalnya?

    sy berharap pertanyaan sy dijawab tanpa harus dialihkan ke situs/laman/refrensi lain.

    maaf, tidak ada maksud lain, hanya utk keperluan penelitian semata.

    1. Jawab :
      1. Agama orang Cina Daratan itu Kepercayaan Tradisional Tionghoa/Chinese Folk Religion, dengan persentase > 73%. Kalau di Indonesia, karena sejak KTP mulai diberlakukan, seluruh warga negara “dipaksa” oleh pemerintah untuk memeluk 1 agama, maka agama Buddha, lalu diikuti agama Konghucu menjadi agama orang Cina (Tionghoa) perantauan di Indonesia yang paling banyak dianut.

      a. Tionghoa itu berasal dari dialek bahasa Hokkian, orang2 propinsi Fujian Tiongkok dan sekitarnya, yakni kata “Tiong” (Hanzi : 中; Pinyin : Zhōng) dan “Hoa” (Hanzi : 华; Pinyin : huá). Mengingat mayoritas pendatang orang Tiongkok di Indonesia berasal dari daerah ini, maka sebutan Tionghoa menjadi sebutan baku dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), yang artinya “orang Tiongkok-peranakan”. Padahal, sama seperti Indonesia, di Tiongkok sendiri terdapat banyak suku, yakni > 52 suku. Tapi karena semua datang dari Tiongkok, maka dapat digolongkan menjadi orang Tionghoa.

      Agama Konghucu adalah istilah yang muncul sebagai akibat dari keadaan politik di Indonesia. Agama Khonghucu atau Konfusianisme juga muncul dalam bentuk agama di beberapa negara seperti Korea, Jepang, Taiwan, Hong Kong dan Tiongkok. Dalam bahasa Tionghoa, agama Khonghucu seringkali disebut sebagai Kongjiao (孔教) atau Rujiao (儒教).

      b. Kami sama sekali tidak merasa aneh dengan tata cara persembahyangan kami. Terlepas dari memang ada beberapa yang melenceng dari konsep agama, dapat dianggap bahwa itu adalah sebuah bentuk diserapnya budaya lokal. Contohnya ritual Tatung/Loktung yang di Kalimantan, timbul karena menyerap/tercampurnya budaya setempat, dayak.

      2. Sama. Bahasa Mandarin, yang disebut Guoyu (國語) atau Huayu (華語). Selain dari itu ada juga dialek2 daerah nya, seperti dialek Hokkian, Kanton, Khek, dsb.

      3. Logikanya, kalau tidak SARA, tidak mungkin penggunaannya dilarang. Saat ini penggunaan kata CINA sudah dilarang, baik pengucapan maupun penulisannya ditingkat administrasi resmi Negara hingga kelurahan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada awal tahun 2014 lalu mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 yang isinya tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 mengenai penggunaan istilah Cina. Lebih lengkapnya, silahkan baca isi surat Keppres nya disini.

      4. Pertanyaannya normatif, sama seperti saya bertanya, apakah orang-orang keturunan arab di Indonesia tidak terbesit keinginan untuk kembali kembali ke Negara asalnya? Demikian pula pada orang-orang keturunan India? Kita sendiri pada tahun 1949-1980 awal pernah “diusir” oleh pemerintah karena tidak diperbolehkan memiliki Dwi kewarganegaraan yang pernah ada pada tahun 1960-1962.

      Orang2 ini disebut Guijiao (orang Tionghoa yang pulang ke Tiongkok). Orang2 Tionghoa di Indonesia dibuat tidak nyaman setelah aksi 930S/PKI tahun 1965, dan kerusuhan Jakarta pada Mei 1998. Tidak sedikit yang memilih pulang ke kampung halamannya akibat perlakukan diskriminatif akibat dari kejadian tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang memilih bertahan serta berjuang demi nama baik bangsa ini.

      Anda seharusnya malu jika melihat Malaysia, Negara tetangga kita ini begitu bangga dengan aneka ragam etnis suku dalam masyarakatnya. Sampai-sampai di Malaysia ada semboyan Malaysia truly Asia. Karena komposisi etnis nya tidak ada yang mendominasi, baik Melayu, Tionghoa, Arab, India, sampai orang barat (sisa2 ex Britania Raya). Hanya disini yang begitu bangganya dengan semboyan PRIBUMI nya.

      Demikian kira-kira penjelasan saya pribadi. Semoga dimengerti, beberapa hal harus dihubungkan dengan link referensi keluar karena panjangnya pembahasan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?