Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Perjuangan dan ketelatenan Guo Shijun, seorang mahasiswa asal Tiongkok, ini patut diacungi jempol dan layak menjadi panutan bagi setiap orang.
Bagaimana tidak? Ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sulit antara memilih melanjutkan studinya atau merawat ayahnya yang lumpuh, ia memilih keduanya dengan risiko harus membagi ruang dan waktunya yang serba sempit.
Guo Shijun kuliah sekaligus harus merawat ayahnya yang lumpuh di asrama dekat kampusnya dengan telaten, bahkan meskipun ia harus membagi ruang kamarnya yang sempit. Sebelumya, Shijun telah meminta izin kepada otoritas kampus agar mengizinkannya untuk merawat ayahnya yang lumpuh di asrama dekat kampus.
Terkesan dengan dedikasinya dalam menghadapi cobaan berat, pihak kampus pun mengizinkan Shijun merawat ayahnya di asrama dekat kampus.
Shijun tetap bisa berbakti kepada orang tua sekaligus meluangkan sisa waktu untuk terus belajar. Ayahanda Shijun mengalami kelumpuhan setelah jatuh dari ketinggian 15 meter dari jembatan di Kota Lu’an, Tiongkok.
Lelaki tua itu mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Kondisi itu melengkapi cobaan Shijun yang ibunya telah mengalami cacat mental ketika ia masih kecil. Ibunya kini dirawat oleh sang kakek.
Sayangnya, kakek Shijun menyatakan ketidaksanggupannya untuk merawat ibu sekaligus ayahanda Shijun secara bersamaan. Itulah sebabnya, Shijun memutuskan memboyong ayahnya untuk tinggal bersamanya di sebuah ruangan kecil yang ia sewa di dekat kampus perguruan tingginya.
Berada di dekat ayahnya membuat Shijun leluasa memastikan kondisinya ketika ia tengah beristirahat kuliah saat jam makan siang, atau di sela-sela jam pelajaran.
Walaupun dia disibukkan dengan dua aktivitas yang membutuhan curahan tenaga dan pikiran sekaligus, Shijun tak patah semangat. Ia dengan telaten merawat ayahnya yang lumpuh tanpa bersungut-sungut.
Ia bahkan menjadi mahasiswa dengan nilai tertinggi di universitasnya yang juga merupakan salah satu univesitas ternama di Tiongkok.
Shijun berasal dari keluarga miskin dengan masa kecil yang serba kekurangan. Kini pun tak beda. Untuk biaya kuliah saja, ia mestinya harus membayar sekitar Rp40 juta/tahun.
Beruntung, karena prestasinya, ia mendapatkan beasiswa dari otoritas pengelola universitas. Sedangkan untuk biaya hidup dan biaya perawatan ayahnya, ia meninjam uang dari teman-temannya yang bersimpati kepadanya.
Menghadapi kehidupannya yang serba sulit itu, Shijun tak pernah mengeluh dan tetap optimistis dalam menjalani hidup demi menyambut masa depannya yang lebih cerah. “Saya tidak bisa mengatakan hidup itu mudah, tapi satu-satunya jalan keluar dari masalah ini adalah dengan bekerja keras sehingga saya tidak mengeluh.
Setelah saya lulus saya berpikir hal-hal akan jauh lebih baik,” ungkap Shijun.