Last Updated on 12 May 2022 by Herman Tan Manado
Apabila menilik sejarah dari hubungan antara masyarakat yang mengaku asli Indonesia dan didefinisikan serta mendefinisikan diri sebagai pribumi dengan masyarakat pendatang yang berasal dari negeri Tiongkok, maka dapat dikatakan bahwa sentimen yang muncul diakibatkan oleh adanya pengklasifikasian struktur sosial oleh kolonial Belanda pada waktu itu.
Bangsa Tiongkok yang datang ke Indonesia kebanyakan bertujuan untuk berdagang, mereka melakukan perdagangan dengan Indonesia yang terkenal dengan rempah-rempah dan tembakau yang menjadi komoditas mahal di dunia.
Setelah beberapa lama, banyak yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di Indonesia dan menikah dengan masyarakat asli. Pada masa peralihan kekuasaan, Belanda menjadikan para pedagang Tiongkok ini sebagai kelas yang memungut pajak, mengambil insentif dari warga, dan perantara perdagangan.
Imbalan yang mereka terima antara lain adalah hak mereka untuk tetap berdagang dan memperjualbelikan kuli pribumi ke negara Tiongkok. Hal ini disinyalir memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa bangsa Tiongkok lah yang merepresentasikan penindasan kepada mereka sehngga muncul suatu stigmatisasi dan sentimen negatif.
Pada masa setelah kemerdekaan dapat dikatakan hubungan antara pribumi dan etnis Tionghoa juga terus berlanjut dengan rasa saling curiga. Kedudukan warga Tionghoa menjadi kelompok yang disisihkan dan selalu dicurigai sebagai bagian dari rezim Soekarno yang pro Komunisme.
Puncak dari segala sentimen ini dapat terlihat pada tragedi berdarah Mei 1998 tersebut. Hal ini kemungkinan besar terjadi akibat kecemburuan ekonomi dan faktor keyakinan dan rasial dalam kasus ini.
Konsep scapegoating atau pengkambing-hitaman juga dapat diterapkan dalam kasus pemerkosaan dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998 ini.
Baca juga : Peristiwa Mei 1998 di Jakarta : Titik Terendah Sejarah Etnis Tionghoa di Indonesia
Dalam situasi dimana ada krisis nasional, masyarakat secara otomatis akan mencari kelompok yang dapat mereka salahkan dan menjadikannya sebagai tempat amukan atau menumpahkan kemarahan, hal ini dipahami sebagai pengkambinghitaman atau scapegoating.
Berdasarkan pendapat mayoritas masyarakat, etnis Tionghoa yang secara ekonomi sukses dan menduduki posisi ekonomi strategis, dilain pihak mereka telah distigmatisasi secara negatif dan kebanyakan memiliki keyakinan berbeda, secara tidak beruntung dijadikan sebagai dislike minority.
Hal inilah yang menjadikan mereka sebagai target utama dari kerusuhan tersebut, terlepas dari kerusuhan itu diorganisasikan oleh pihak tertentu atau tidak.
Perempuan yang berasal dari etnis Tionghoa mengalami hal yang lebih mengerikan pada saat terjadinya kerusuhan ini. Mereka menjadi korban utama, karena dianggap paling rentan dan paling mudah dijadikan sasaran amukan massa.
Secara tidak langsung, berdasarkan konstruksi masyarakat Indonesia yang ada perempuan yang berasal dari etnis Tionghoa dapat dikatakan termasuk kedalam golongan yang didefinisikan sebagai double minority (Tionghoa dan Perempuan).
Perempuan Tionghoa secara demografis tentu adalah minoritas karena pada waktu itu etnis Tionghoa jumlahnya tidak mencapai 2% dari seluruh penduduk di Indonesia, dan mereka yang merupakan perempuan adalah bagian dari kelompok minoritas perempuan Indonesia.
Bahkan menurut Ita F. Nadia (Aktifis tim relawan pada waktu kejadian Mei 1998), perempuan etnis Tionghoa dapat dikatakan sebagai golongan triple minority;
karena mereka (1) perempuan, (2) berasal dari etnis Tionghoa yang minoritas, dan (3) beragama non-Muslim sehingga mereka paling tepat dijadikan korban dalam kerusuhan berbasis politik tersebut, karena mereka pasti akan sulit membela diri.
Lampiran : Data Korban Kejadian Mei 1998
Berdasarkan data yang dihimpun dari Tim Gabungan Pencari Fakta 13-15 Mei 1998 yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia pimpinan presiden B.J. Habibie, dipastikan bahwa terdapat 85 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual yang berlangsung dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998.
Lampiran : Tampak aksi massa yang menjarah (foto 1 dan 2) serta tampak para korban (foto 3)
Dengan rincian 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual.
*Data ini dikumpulkan dari yang melapor, sedangkan yang tidak melapor diperkirakan jumlahnya hingga 10x lipat (red); apalagi pada waktu itu pemerintah terkesan menutup-nutupi kejadian ini kepada dunia dan media massa.
Tim juga menemukan fakta bahwa sebagian besar dari korban adalah perempuan yang memiliki etnis Tionghoa, dan hampir semuanya adalah korban dari gang rape, dimana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian dalam waktu yang bersamaan.
Bahkan kebanyakan kasus juga dilakukan di depan orang lain. Tim juga mengakui bahwa terdapat keterbatasan dalam pencatatan dan verifikasi keseluruhan korban ini karena adanya pendekatan hukum positif yang mengisyaratkan harus ada laporan dan tanda-tanda kekerasan yang dialami.
Menurut sumber yang secara langsung diwawancarai oleh jurnalis dari media Tempo, Ita F. Nadia selaku Koordinator Divisi Pendampingan Korban Perempuan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan pada saat itu; dapat memastikan bahwa keseluruhan dari para korban perempuan yang melaporkan pengalaman mengerikan ini berasal dari etnis Tionghoa.
Ia mengatakan bahwa temuan yang ia dapatkan di lapangan dapat dipastikan lebih mengerikan, karena ia mengaku bahwa berdasarkan pengalaman para korban yang sungguh menderita akibat kekerasan seksual yang mereka alami banyak yang mengalami shock dan trauma berkepanjangan, bahkan banyak yang memilih untuk meninggalkan Indonesia.
Lebih miris lagi, ia mengatakan bahwa beberapa memilih untuk langsung mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri setelah mendapatkan perlakuan yang begitu keji tersebut.
Baca juga : Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian Historis Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian I)
Menurut pemahaman dari Psikolog, Universitas Gajah mada, Prof. Dr. Djamaludin Ancok, ia mengatakan bahwa kejadian yang begitu mengerikan ini sebenarnya dapat terjadi karena ada sebuah sistem, yang meskipun samar dimata para awam tapi cukup dapat dibuktikan oleh para ahli sosial politik.
Meskipun fenomena amuk massa memang bukan tidak mungkin dapat menimbulkan sikap brutal, yang biasanya tidak muncul ketika individu sendiri, tapi pihak yang dijadikan sasaran disini jelas terkait dengan suatu etnis dan ciri tertentu.
Ia menilai bahwa ini adalah sebuah proses ketika memang masyarakat yang sedari dulu dikenalkan dengan kebijakan pribumi-non-pribumi oleh pemerintah yang merupakan warisan dari Belanda.
Sentimennya meletus dikarenakan berbagai hal yang mungkin terjadi seperti kecemburuan ekonomi atau dendam-dendam yang tidak logis karena ditanamkan sejak kecil.
Baca juga : Siapakah Provokator dan Rekayasa Peristiwa Mei 1998?
Berdasarkan temuan data lain yang dihimpun oleh tim investigasi Komnas HAM pada masa itu, kekerasan yang menimpa golongan etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 ini sudah jelas diprovokasi dan awalnya diinisiasi oleh suatu golongan yang terorganisir.
Berdasarkan pengakuan berbagai saksi, para pelaku tidak pernah sebelumnya terlihat di area tempat kejadian kerusuhan atau kekerasan. Beberapa dari mereka berpakaian sekolah, namun perawakannya sudah begitu tua dengan badan yang begitu tegap seperti layaknya preman-preman bayaran.
Komnas Perempuan yang terbentuk karena kejadian mengerikan ini juga membuat sebuah laporan sepuluh tahun dari kejadian ini. Mereka mengatakan bahwa korban-korban yang berasal dari etnis Tionghoa ini, sampai sekarang masih mengalami trauma.
Banyak dari mereka yang sampai sekarang tidak ingin mengakui adanya kejadian tersebut, meninggalkan Indonesia, ataupun menghilang dari masyarakat sama sekali.
Baca juga : Kerusuhan Mei 1998, Harga Yang Harus Dibayar Oleh Etnis Tionghoa
Ancaman yang sempat diterima mereka apabila melapor, tidak adanya inisiatif dan pengabaian dari sistem peradilan pidana untuk menyelesaikan kasus ini.
Selain itu, tekanan dari industri media pada saat dan setelah kejadian mengerikan itu, seakan-akan menjadi sebuah reviktimisasi bagi para korban ataupun keluarga korban yang memiliki pengalaman yang sangat menyakitkan terkait posisi mereka yang sangat rentan pada saat itu.
Terlebih lagi, mereka seakan dijadikan sebagai kompensasi dari adanya reformasi yang selalu diagung-agungkan dan dijadikan cita-cita luhur para kalangan revolusioner saat itu.
Konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang terbentuk seperti itu memang dipengaruhi oleh sosialisasi dan internalisasi dari masyarakat yang tidak mampu menghargai posisi perempuan dan minoritas dan eksistensinya di masyarakat.
Stigma-stigma yang terus muncul dalam masyarakat, membuat perempuan menjadi sulit untuk mendapatkan tempat di ruang publik.
Terlebih lagi, dalam masyarakat orde baru saat itu, internalisasi yang ditanamkan adalah perempuan yang baik itu perempuan yang mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik, mendidik anak-anaknya, dan patuh terhadap suaminya.
Tanpa menghiraukan peran aktif perempuan, stigmatisasi ini terus saja terjadi dan terinternalisasi sehingga menjadi konstruksi sosial dalam masyarakat.
Hal lain yang juga mengerikan dan dialami oleh para korban, perempuan etnis Tionghoa adalah ketidakhadiran sistem peradilan pidana untuk membela mereka. Dalam relasi dengan diskriminasi yang ada dalam masyarakat, praduga rasis juga hadir di dalam sistem peradilan pidana dan hal ini kontradiktif dengan kewajiban mereka.
Dalam hal ini, mungkin memang kenyataannya adalah hingga sekarang, pihak-pihak yang bertanggungjawab dan menjadi aktor intelektual dari kerusuhan yang tentu saja paling merugikan etnis minoritas dan perempuan etnis Tionghoa ini sampai sekarang belum ditangkap.
Meskipun fakta-fakta yang ada dari kejadian mengerikan yang menimpa perempuan etnis Tionghoa ini telah mendorong pemerintah untuk setidaknya merespon dengan pembentukan TPGF (Tim Gabungan Pencari Fakta) dan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan di tahun 1998 sebagai upaya maksimal yang bisa dilakukan.
Link : Berikut hasil akhir laporan Tim Gabungan Pencari Fakta
Saya sangat menyayangkan kejadian ini sebenarnya indonesia beragam dari berbagai bangsa suku yang berbeda-beda jika seandainya dari dulu indonesia berbentuk federal tidak dipaksakan jadi satu bangsa mungkin baik pribumi dan non pribumi semuanya sama saja dan menurut sejarah juga nenek moyang orang indonesia asalnya pendatang tidak ada pribumi asli
Sengaja saya browsing artikel semacam ini, karena sampai detik ini saya belum menemukan jawaban yg logis kenapa etnis tionghoa yang menjadi korban elite politik. Apa tionghoa dianggap sebagai threat nation?.. padahal tionghoa di indonesia ya Indonesia dong.
Kenapa tidak logis? Kejadian seperti ini sudah banyak terjadi di negara lain. Hitler bunuh orang Yahudi (jews), Sri Lanka target orang Tamil, Pakistan bunuh orang Bengalis. Coba Cari di Google ‘List of Ethnic Cleansing’, ada banyak sekali contoh seperti ini dalam sejarah.
Tidak penting apakah orang tionghoa benar2 threat di indo atau bukan. Utk membuat kerusuhan, perlu memecah belah bangsa. Biasanya yg ditarget suku minoritas. Org tionghoa di indo anggapannya banyak yg kaya dan sombong. Cocok lah mereka utk dijadikan sasaran.
Oleh karena itu, janga mudah terhasut omongan org. Hanya perlu setitik nila utk merusak susu sebelanga.
Semoga kejadian” buruk tidak terulang, dan semua orang bs mengintrospeksi diri dan bisa lebih mawas diri dan dekat kepada sang pencipta. Amin
Maaf sblmnya jika saya salah. Akan tetapi saya ingin sekali mengutarakan beberapa kata dan pertanyaan di sini.
1. Apakah betul adanya sistem ya? Atau di sebut dengan jalan sutera. Itu memang benar” ada? Dan apakah benar dengan adanya perkumpulan rahasia khusu etnia tionghoa saja? Karena hal ini tentang perkumpulan pernah saya dengar sendiri saat bos saya dulu mengatakan hal ini ke anaknya ( bos saya orang tionghoa)
2. Apakah betul adanya sistem kapitalis dalam perdagangan di indonesia yg di pakai orang pedagang” atau pengusaha tionghoa? ( saya mohon maaf sekali kalau salah, ini pertanyaan orang polos yg ingin tau kebenaran atas semua yg ada…)
3. Benarkah seseorang etnia tionghoa haram hukumnya dan akan di cabut warisanya apabila menikahi orang di luar etnis tionghoa?
4. Benarkah adanya penggajian yg minim atau prmberian upah minim kepada perkerja memang di berlakukan untuk sebuah sistem perdagangan yg di anut oleh orang tionghoa?
5. Saya minta maaf atas segala pertanyaan saya, ini bukan buat menyudutkan. Tp saya cm ingin tau kebenaranya, saya sama sekali tidak mendukung perpecahan. Cm gk mungkin saya nanya langsung ke ybs atau salah satu org tionghoa. Bs ba malah ribut nnti. Mohon kebesaran hatinya untuk pertanyaan saya. Karena jujur pertanyaan ini yg sering saya dengar saat saya ngbrl” dengan orang lain… thanks.. dan hidup NKRI INDONESIA NEGARA YG KITA CINTAI INI. Binekha tunggal ika salam…
Terima kasih untuk pengetahuan nya .
Kalo saya liat tragedi 98 itu atas dasar ‘Politik’ yang mengatas nama kan ras/agama (jadi gak hanya etnis tionghoa tapi juga dg etnik yg lain bahkan agama yg lain jg )
Kalo gak sepaham ya habis !
Nama nya juga politik ,
Jadi ambil hikmah nya aj,
“Setiap sesuatu di dunia tidak ada yang diciptakan sia-sia. Selalu ada hikmah di balik sebuah peristiwa. Hanya saja kita butuh kesadaran lebih untuk dapat melihatnya.” -Confucius
“Disalahkan atau dituduh sesuatu bukanlah sebuah masalah. Menjadi masalah ketika kita terus mengingatnya menjadi sebuah dendam yang menggerogoti hati dan membuang waktu kita.” – Confucius
Xiexie
mendengar org China, dibenak saya orgnya cakep2 kaya, pekerja keras, perhitungan, pelit, ada juga yang baik hati… tak menyangka mengalami tragedi seperti ini (maklum anak kemarin sore, 1996. gak suka berita soalnya 😂) yakinlah tdk semua org Indonesia begitu semua, apa lg yg muslim, pake baju seperti kami gak mesti mewakili akhlak kami. Jujur sampai sekarang dimata saya org China tuh the greatness, selalu jd contoh org2 yg gila kerja kerasnya, tp pelitnya ngga hehehehe.
Saya turut berduka atas kejadian 1998 tsb…
maaf, sy mau bertanya. sedkit mungkin utk kawan2. “kenapa nama2 org cina di bbrapa tempat di indonesia diganti kenama yang berkonotasi ke-indonesiaan.?”
harap maklum,
Hi Rudi, artikel ini dapat menjawab pertanyaan Anda : Salah satu efek yang paling terasa adalah soal “KEBIJAKAN” Ganti Nama
Apakah point2 diskriminatif terhadap etnis china di indonesia masih berlaku sampai hari ini?
Zaman Pak Soeharto nama Mandarin gk boleh di pakai, makanya sekarang banyak yang pakai nama ke-indoan
Stop using “pribumi”, “non pribumi”, minoritas, mayoritas. Itu menunjukkan kita blm tuntas memahami NKRI. Kita semua sama WNI, kita semua statusnya pendatang, kita warga negara yg sama, bukan bilangan. Shit happens everyday, jika pengacau mulai meracau, cuma ada satu pilihan : LAWAN!
Bisa anda berikan buktinya foto korban yang ditampilkan di foto itu tionghoa ? bukan mahasiswa atau kejadian lainnya ?
Karena saya percaya fakta, bukan kata-kata.
Cari saja di google image dengan kata kunci “korban perempuan tionghoa mei 1998”.
Mohon maaf kita ada kebijakan tidak meng-upload foto2 yang tidak manusiawi seperti itu, karena bisa dituntut dengan UU ITE.
Demikian info
Saya sudah melihatnya tapi tidak ada foto jelas menunjukkan wajah yang menggambarkan itu korban orang tionghoa.
Anda bisa cek sendiri
Ya udah berarti saudara tidak diizinkan untuk melihat hal itu.
Tidak masalah mau percaya atau tidak.
Pembantaian dan pemerkosaan etnis tionghoa
https://yinnihuarendexueleishi.blogspot.com/2010/02/1998_21.html?m=1
Impresif,respeck for all…
Semoga tdk terulang kerjadian sprti ini lg.
Berjalan bersama tanpa RASISMUdE,
Semoga kejadian2 seperti ini tidak terulang dikemudian hari. Indonesia milik kita semua tidak mengenal satu ras maupun Agama. Tetap bersatu dan mawas diri. ?❤️
sgt sedih sekali mengenang kejadian itu, tp syukur Tuhan msh menjaga sy sekeluarga dr amukan massa saat itu, padahal terjadi penjarahan di toko kelontong dekat rumah. usia sy mgkin sekitar 9 thn saat itu dan tepat pd hr ulang tahun saya 13 Mei. Tapi peringatan tragedi Mei 98 kenapa hanya membicarakan tentang reformasi oleh teman teman mahasiswa yg telah tiada? Apakah kedukaan wanita wanita keturunan tionghoa yang tewas, diperkosa, dirusak, tidak pantas diperingati? Bagaimana menurut pendapat sdr Herman?
Saya sangat setuju dengan kenyataan dinegara kita Indonesia cintai ini dengan menggantikan kata ‘cina’ ke ‘Tiongkok, dalam hal ini terdapat kesadaran dari pemerintah.
Saya sebagai orang etnis tionghoa lahir dan makan ditanah air Indonesia, berharap agar kasus ini dapat dipecahkan, generasi kian peduli terhadap kasus tentang minoritas ini.
Di Medan, jujur saja, pada orang tua etnis tionghua yang persis tau tentang peristiwa ini, telah men-cap atau membuat simbol tentang mayoritas pribumi bahwsanya pribumi tidak baik dan biang kerusuhan, harap ini menjadi maklum bagi semua, bagi saya semuanya sama karena kita hidup disatu atap negara Indonesia, 4 (empat) pilar negara, UUD 1945 dan Pancasila merupakan bukti nyata.
Harapan saya, terdapat kesadaran kepada semua masyarakat Indonesia sekalipun dunia untuk berubah bersama-sama untuk kehidupan yang lebih baik dari sekarang.
Terima kasih / Kamsia.
Di Medan, jujur saja, pada orang tua etnis tionghua yang persis tau tentang peristiwa ini, telah men-cap atau membuat simbol tentang mayoritas pribumi bahwsanya pribumi tidak baik dan biang kerusuhan, harap ini menjadi maklum bagi semua, bagi saya semuanya sama karena kita hidup disatu atap negara Indonesia, 4 (empat) pilar negara merupakan bukti nyata.
Hi Raven,
Untuk itu kita harus ikut menunjang ‘program’ pemerintah ini dengan sebisa mungkin menggunakan kata TIONGKOK dan menghindari kata CINA. Bagaimana orang lain mau mengikuti, sementara kita yang TIONGHOA saja enggan untuk menggunakan kata TIONGKOK ini di kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh : Ada salah satu penulis wanita di suatu majalah/media online yang saya kenal. Ybs masih menggunakan kata CINA di semua artikel blog pribadinya. Artikel2 tersebut malah terkesan mengangkat rasial etnis Tionghoa (dan ybs memang sengaja menulis kata ‘cina’ tersebut dengan pembenaran pemikirannya sendiri). Artikel2 tersebut sudah pasti banyak dicari di search engine dengan kata kunci ‘cina’; ditambah ybs juga cukup dikenal banyak orang di Indonesia karena profesinya tersebut. Meski blog pribadi, tapi itu dibaca oleh publik. Beda jika blognya di PRIVATE. Ini sama saja ‘menentang’ kebijakan pemerintah dan MENGHIANATI etnis Tionghoa sendiri.
Terima kasih min sudah share. Kebetulan dapat tugas sekolah disuruh bahas tentang peristiwa Mei 1998, kebetulan momen nya pas minggu depan. Saya akan jadikan artikel ini sebagai tambahan masukan dalam penulisan tugas artikel sekolah saya 🙂
Yang bilang ini artikel jelek artinya anda tidak suka dengan sejarah buruk bangsa Indonesia; padahal sejarah buruk berguna agar manusia dapat belajar kelak tidak mengulangi jejak suram para pendahulunya.
artikel yg bagus.
kalau gak suka sma artikel ini ngpain baca tong?#prananda
negeri ini dipinpim siapapun bakalan hancur klw rakyatnya mau maju tapi masi liad ras :v.
contohnya:boss org tionghua g mau kerja karna beda ras.
ada org kyk gtu?ada pasti ada.
intinya mau maju jangan rasis dan banyak bergaul tnpa liad ras or agama. 😀
Tidak Tionghoa saja yang menjadi tumbal republik ini, ummat islam lebih banyak menjadi korban kebiadaban penguasa bangsa ini. Kasus Tanjung Priuk, Kasus Ambon, Poso, Talang Sari, dll adalah dimana ummat islam menjadi tumbal.
Bisa baca? ini artikel lagi ngebahas Tionghoa, bukan agama lu. Belajar baca lagi sono, gak usah sok ngebandingin masalah.
REMEMBER …
Ingat HUKUM KARMA …
Ingat RODA SELALU BERPUTAR
Ingat MATA TUHAN TIDAK PERNAH TERTUTUP DAN TUHAN TIDAK PERNAH TERTIDUR
Atas apa yang telah lampau kalian perbuat kepada kami etnis Tionghua , kami etnis Tionghua tidak pernah mengganggu kalian penduduk lokal , justru sebahagian kamilah etnis Tionghua membuka dan menciptakan lapangan kerja untuk kalian bangsa pribumi supaya asap dapur dapat mengepul menghidupi keluarga kalian , namun bukan berarti kita ingin menjajah kalian bangsa pribumi , kami hanya berusaha menghidupi keluarga kami di negeri orang . sungguh sangat disayangkan deftan kejadian MEI 1988 kami etnis Tionghua sangat sangat terluka , etnis kami diburu dan dibunuh seolah olah kalian bangsa pribumi tidak memiliki Tuhan dan rasa pri kemanusiaan , apa yang dituai itulah yang kalian tanam Tuhan tidak pernah menutup mata atas apa yang terjadi .
Bukan tidak mungkin karma sedang berlangsung dengan berbagai bencana dan situasi negeri yang tidak kunjung kondusif .
Berdoalah dan bukan hanya meminta belas kasihan Tuhan
wah, saya org pribumi sangat menghargai etnis tionghoa. banyak yang bisa di pelajari dan jadi pembelajaran. cara bekerja yang pantang menyerah dan otak bisnisnya yang selalu bisa hidup lebih mandiri.
pada waktu kejadian, saya masih berumur 6 tahun. dan saya masih ingat suasana waktu itu walau tidak melihat langsung kondisi penjarahan dan pemerkosaan. tapi suasana tegang teras. sayapun takut, walau pribumi tapi wajah ibu sya seperti etnis tionghoa sekilas. Masa kelam ini memang telah berlalu, saya sebagai orang pribumi berharap artikel ini tidak menimbulkan perpecahan diantara kita, jangan mau terpancing dengan masa kelam. masyarakat pribumi sekarang sudah lebih berpendidikan umumnya.
beberapa etnis tionghoa juga jangan malu dan takut berbaur dengan pribumi, banyak temen2 pribumi yang merasa juga di rendahkan oleh teman2 tionghoa padahal dari tionghoapun tidak bermaksud seperti itu… saya juga orang perantau. kalau di perantauan saya jadi orang Indonesia, tapi kalau di komunitas saya jadi orang komunitas dan berbahasa daerah.
jadi tionghoa adalah Indonesia, berbaurlah dengan orang pribumi, saling bersikap baik satu sama lain, pasti kejadian ini tidak terulang karena kita satu bangsa dan besodara.
Kalau waktu dulu tidak ada kejadian itu, maka tidak akan pernah ada artikel ini, pak Jack !!
udah deh gak usah membuat artikel yang ujung2nya menjurus kepada “MEMPERUNCING JURANG PEMISAH ANTARA ORANG TIONGHOA DGN PRIBUMI” seharusnya sejarah kelam menjadi pelajaran kita bersama untuk hidup kedepan yang lebih baik
Kalau tidak diperingati tiap tahun (pas momen) nanti dikira negara ini benar-benar ramah; baik, serta tidak pernah berbuat salah terhadap warga negara “minoritas” nya. Satu lagi, jika saudara melarang orang untuk kembali mengangkat kasus ini, sama saja saudara menutup mata dengan fakta yang belum sepenuhnya terbongkar; yang terus mendingin didalam peti es pemerintah.