Last Updated on 1 May 2021 by Herman Tan Manado

John Lie (Hanzi : 李约翰; Pinyin : Li Yuehan; Hokkian : Lie Tjeng Tjoan) merupakan seorang Laksamana Muda TNI keturunan Tionghoa, yang dikenal dengan nama Indonesianya sebagai Jahja Daniel Dharma.

Beliau lahir pada 9 Maret 1911 di Manado, Sulawesi Utara, merupakan anak dari pasangan suami istri Lie Kae Tae (李开泰; Li Kaitai) dan Oei Tjeng Nie Nio (黄贞女娘; Huang zhen nu nian).

Ayah John Lie Tjong Tjoan adalah pemilik perusahaan pengangkutan Vetol, atau disebut juga “Veem en transportonderneming Lie Kay Thay”.

Biografi John Lie Tjeng Tjoan

Nama Lengkap : John Lie Tjeng Tjoan (李约翰)
Nama Panggilan : Jahja Daniel Dharma
Tempat, Tanggal Lahir : Manado, 9 Maret 1911
Meninggal : 27 Agustus 1988 (umur 77)

Pasangan : Pdt. Margaretha Dharma Angkuw
Pangkat : Laksamana Muda TNI
Lama dinas : 1945 – 1966
Penghargaan : Pahlawan Nasional Indonesia

A. Masa Kecil dan Dewasa John Lie

John Lie semasa muda, aktif berkarir di Angkatan Laut Indonesia.

Menurut cerita keponakan John Lie Tjoang Tjoan yang bernama Rita Tuwasey Lie, saat John Lie menginjak usia 17 tahun, ia kabur ke kota Batavia karena dirinya ingin menjadi seorang pelaut.

Di kota Batavia, John Lie bekerja menjadi buruh di pelabuhan. Beliau juga mengikuti kursus navigasi. Setelahnya John Lie Tjong Tjoan menjadi Klerk mualim III di kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, yaitu sebuah perusahaan pelayaran milik Belanda. Pada tahun 1942, beliau bertugas di Khorramshahr, Iran, dan mendapatkan pendidikan militer setelahnya.

Pada saat Perang Dunia ke-2 berakhir tahun 1945, awalnya John Lie memutuskan untuk bergabung dengan KRIS, atau disebut juga “Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi”. Setelah itu beliau diterima di Angkatan Laut Republik Indonesia. Pada masa2 awal penugasan, John Lie bertugas di Cilacap yang berada di provinsi Jawa Tengah dengan pangkatnya sebagai seorang Kapten.

Beberapa bulan di pelabuhan tersebut, John Lie berhasil membersihkan ribuan ranjau yang sudah ditanam Jepang pada era perang dunia 2 untuk menghadapi sekutu. Atas jasa John Lie tersebut, beliau naik pangkat menjadi Mayor.

Kemudian John Lie mengemban suatu misi di daerah operasi yang meliputi Singapura, Penang (Malaysia), Bangkok (Thailand), Rangoon (Myanmar), Manila (Filipina), hingga ke New Delhi (India), yang bertujuan untuk menembus blokade Belanda, agar bisa menyeludupkan bahan pangan, senjata dan lainnya.

B. Karir John Lie di Angkatan Laut

John Lie Tjong Tjoan ditugaskan untuk mengamankan pelayaran kapal2 yang mengangkut komoditas ekspor di Indonesia guna diperdagangkan di luar negeri, yang bertujuan untuk mengisi pemasukan kas Negara yang saat itu tengah menipis.

John Lie,, Pahlawan Kemerdekaan Keturunan Tionghoa, yang Paling Sulit di Tangkap Belanda.

Di awal tahun 1947, John Lie pernah mengawal kapal yang membawa 800 ton karet untuk diserahkan pada Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Singapura. Sejak saat itu, ia rutin melakukan operasi blokade Belanda. Karet yang dibawa untuk ditukar dengan senjata.

Senjata yang diperoleh segera diserahkan pada Pejabat Republik yang berada di Sumatera sebagai sarana untuk perjuangan melawan Belanda. Tidak ringan perjuangan mereka, karena selain harus menghindari patroli laut kapal2 perang Belanda, mereka juga harus melawan gelombang ombak samudera yang besar untuk ukuran kapan yang digunakan mereka.

Untungnya, John Lie menahkodai kapal kecil berjenis Littoral combat ship (LCS), yang lebih kecil daripada kapal berjenis Frigate, yang bisa bergerak cepat untuk keperluan operasi2 penyeludupan. Kapal tersebut dinamakan The Outlaw. Dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar di tahun 1992, paling sedikit ada 15x ia melakukan operasi penyeludupan senjata.

Diceritakan dalam buku, pernah suatu hari ketika John Lie membawa minyak kelapa sawit sebanyak 18 drum, ia tertangkap perwira Inggris. Beruntung di pengadilan militer internasional yang diadakan di Singapura, beliau dibebaskan Karena tidak ada bukti bahwa ia melanggar hukum.

Beliau juga pernah mengalami peristiwa menegangkan, dimana saat sedang membawa senjata semi otomatis yang dibawa dari Johor (Malaysia) ke Sumatera. Saat itu kapal John Lie dihadang oleh pesawat tempur patroli Belanda berjenis Fokker.

Saat terjadi kontak, John Lie berkata lewat radio, bahwa kapalnya kandas. Saat itu terlihat 2 orang (1 sebagai pilot, 1 nya sebagai penumpang/penembak), yang satu berkulit putih dan yang satu lagi berkulit gelap, yang terlihatnya seperti dari Maluku (prajurit NICA).

Si penembak dalam pesawat telah mengarahkan senapan mesin yang terpasang di pesawat ke arah kapal John Lie. Namun entah mengapa, si pilot tidak memberi perintah untuk menembak. Tak lama pesawat tempur tersebut meninggalkan The Outlaw tanpa terjadi insiden apapun.

Mereka beranggapan, mungkin saja persediaan bahan bakarnya menipis sehingga terburu-buru untuk pergi. Atau bisa jadi, mereka takut dengan senjata anti aircraft yang terpasang di badan kapal John Lie. Tanpa dilengkapi tong yang berisi bom bawah laut, sukar rasanya jika hanya mengandalkan senapan mesin di pesawat untuk menenggelamkan sebuah kapal.

Sesudah menyerahkan senjata pada Komandan Batalyon Abusamah dan Bupati Usman Effendi, mereka mendapatkan sebuah surat resmi dari Syahbandar bahwa kapal yang bernama The Outlaw tersebut milik Republik Indonesia. Kemudian kapal The Outlaw tersebut secara resmi diberi nomor kapal PPB 58 LB.

Seminggu setelahnya John Lie pergi ke Port Swettenham di wilayah Malaya untuk mendirikan pangkalan Angkatan Laut yang menyediakan makanan, senjata, bahan bakar bensin, dan keperluan lainnya untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

C. Masa Pensiun dan Pengakuan John Lie

John Lie dipanggil untuk pulang ke Surabaya oleh KASAL Laksamana TNI R. Soebijakto pada tahun 1950, ketika sedang bertugas di Bangkok. Beliau dipanggil untuk ditugaskan menjadi komandan di kapal perang Rajawali. Masa itu John Lie aktif dalam penumpasan perlawanan Republik Maluku Selatan (RMS).

Pada Desember 1966, dalam usianya yang menginjak 55 th, John Lie Tjeng Tjoan mengakhiri masa pengabdiannya dalam karir TNI Angkatan Laut, dengan pangkat terakhir sebagai Laksamana Muda (Jenderal 2 bintang).

Menurut pengakuan Jenderal Besar TNI AH.Nasution di tahun 1988, John Lie memiliki prestasi yang tiada tara di Angkatan laut.

Karena John Lie adalah Panglima Armada di TNI Angkatan Laut pada masa puncak krisis eksistensi Republik, yaitu pada masa operasi penumpasan kelompok2 separatis yang berkembang, seperti Republik Maluku Selatan (RMS) dan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA), yang kala itu didukung oleh persenjataan militer Amerika Serikat.

D. Kehidupan Pribadi dan Penghargaan Atas Jasa-jasa John Lie

KRI John Lie 358
Tampak pada foto, KRI John Lie 358 yang sedang berlabuh  di pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia memberikan nama salah satu kapal perang Republik Indonesia, KRI John Lie dengan nomor lambung 358.

Kehidupan John Lie yang begitu sibuknya dalam perjuangan Republik Indonesia membuatnya baru menikah di usia senja, 45 tahun. John Lie menikah dengan Margaretga Dharma Angkuw pada tahun 1956.

Karena tekanan orde baru yang menyarankan untuk meng-indonesiakan nama dan marga Tionghoa, John Lie Tjeng Tjoan kemudian mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma pada agustus 1966.

Pada tanggal 27 Agustus 1988 , John Lie meninggal dunia akibat penyakit stroke. Beliau dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sebelum meninggal, John Lie sempat diwawancarai, dan beliau sempat menjelaskan gambaran agar setiap pejuang harus memiliki inisiatif dan semangat yang tinggi untuk melakukan apapun demi Negara.

Penghargaan Atas Jasa-Jasa John Lie

Karena jasa dan pengabdian John Lie atas Negara, membuatnya dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada tanggal 10 November 1995. Pada tanggal 09 November 2009 John Lie kembali dianugerahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan gelar Bintang Mahaputera Adipradana serta Gelar Pahlawan Nasional.

Pada 14 Desember 2014, bertempat di Pelabuhan Samudra Bitung, Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI DR Marsetio bersama Ibu didampingi Gubernur Sulawesi Utara DR. Sinyo Harry Sarundajang serta rombongan melakukan kunjungan kerja.

Kunjungan kerja Kasal dan Gubernur ialah mengukuhkan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) John Lie dengan nomor lambung 358, dengan Upacara Militer dan Upacara Adat yang dilaksanakan secara besar-besaran, dengan melibatkan semua komponen lapisan masyarakat dan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara serta segenap instansi terkait.

KRI John Lie 358 merupakan salah satu bagian Alat Utama Sistem Senjata (ALUTSISTA) milik TNI AL. Ini merupakan salah satu kapal perang tercanggih dan termodern di kelasnya (Multi Role Light Frigate).

Kisah John Lie, seorang kapten kapal berani yang selamatkan nasib Indonesia.

Ada beberapa buku yang berisi tentang biografi John Lie, yaitu :

♦ Buku Guns-And Bibles-Are Smuggled to Indonesia , terbit oleh Roy Rowan, Wartawan Majalah Life pada tanggal 26 Oktober 1949.
♦ Buku John Lie Penembus Blokade Kapal-kapal Kerajaan Belanda yang diterbitkan oleh Solichin Salam pada tahun 1988.

♦  Buku Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945-1950, yang ditulis oleh Kustiniyati Mochtar dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2002.
♦ Buku Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie (2008) yang terbit oleh penerbit Ombak di Yogyakarta dan Yayasan Nabil oleh M Nursam.

John Lie, seorang pemuda yang telah banyak berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia sendiri sering beroperasi di luar negeri berbagai Negara dengan mengemban tugas Negara. Jasa besarnya tercatat di buku-buku yang berisi perjuangan John Lie. Namun kini John Lie pergi untuk selama-lamanya.

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?