Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Tulisan ini ditulis untuk mengenang perjuangan, cita-cita dan karya Dr. Sun Yat Sen (孫逸仙; Sūnyìxiān), sekaligus peringatan bagi 104 tahun lahirnya Republik Tiongkok (saat ini Taiwan), yang dikenal dengan Double Ten day, 10-10-1911.
Peristiwa ini dikenal pula dengan nama Kebangkitan Wu Chang atau Wuchang Uprising (武昌起義; Wǔchāng qǐyì).
Wu Chang adalah salah satu kota di propinsi Hubei. Sekarang namanya diganti menjadi Wuhan. Dr. Sun Yat Sen adalah seorang dari suku Hakka (khek). Ia lahir pada 12 November 1866 di kota Xiang Shan, Guangdong, dari keluarga petani.
Nama asli Dr. Sun Yat Sen adalah Sun Zhong San (孫中山) namun biasa dipanggil Sun Wen (孫文).
Sun Yat Sen muda adalah seorang yang penuh ambisi untuk mengubah Tiongkok, menggulingkan tirani, menghilangkan feodalisme dan melenyapkan monarki. Ia adalah seorang kristen yang taat, seorang pemikir ulung, seorang pemimpin yang kharismatik.
Ia berkali-kali lolos dari upaya pembunuhan, salah satunya tergambar dalam film yang beredar luas di Indonesia dan seluruh dunia “Bodyguards and Assassins” mengisahkan upaya pembunuhan terhadap Dr. Sun Yat Sen yang digagalkan secara tragis oleh para pelindungnya.
Namun, hingga akhir perjuangannya ia meninggal pada 12 Maret 1925 dalam usia 58 tahun. Hari ini Dr. Sun Yat Sen telah menjadi Bapak Negera (国父; Guo Fu) bagi Tiongkok dan Taiwan. Ia menjadi figur pemersatu bagi mereka.
Awal perjuangan Sun Yat Sen tidaklah mudah. Selain ancaman pembunuhan juga adanya pengkhianatan. Beberapa kali dia harus diasingkan keluar dari Tiongkok. Bahkan, suatu waktu ia harus memindahkan pusat organisasinya Tong Meng Hui (同盟會) di Singapura. Namun, semangatnya untuk mengubah Tiongkok tidak pernah sirna.
Bahkan ia mendapat dukungan luas dari para warga Tiongkok Perantauan. Kumpulan orang Hakka, orang Teochew, orang Hokkian, orang Guangdong, yang tersebar di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura; atau di kawasan Amerika, seperti Amerika Serikat, Amerika Latin, dll, tempat menyokong gerakan nasionalisme ini.
Bukan saja dari segi dana, namun juga dari segi tenaga dan organisasi. Gerakan Dr. Sun Yat Sen membawa banyak perubahan baik di Tiongkok maupun di Nan Yang (kini kawasan Asia tenggara), yakni salah satunya melalui organisasi Soe Po Sia.
Gerakan inilah yang juga membawa para Tionghoa perantauan di Indonesia kala itu untuk mendukung dan terlibat gerakan nasionalisme Soekarno menuju Indonesia Merdeka.
Di kemudian hari, keberhasilan revolusi yang dilakukannya menjadi contoh dan patron bagi negera-negara lainnya di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.
Sun Yat Sen membawa perubahan besar dan harapan untuk hidup lebih baik. Oleh karena itu, pada zaman itu bermunculanlah Tionghoa Hwe Koan, sekolah-sekolah Tionghoa, dan beberapa organisasi Tionghoa lainnya di Indonesia.
Dari sinilah lahir banyak orang yang menjadi pendukung setia bahkan kawan dekat Bung Karno, seperti Bun Kin To (Tony Wen), Dr. Lim, dan lain sebagainya. Mereka menghayati apa itu artinya Nasionalisme, bahwa Bhinneka Tunggal Ika, persatuan dan Kesatuan akan membawa Indonesia merdeka.
Tanggal 9 Oktober 2011, Hu Jin Tao, Presiden Republik Rakyat Tiongkok, mengutip perkataan Dr. Sun Yat Sen; dalam terjemahan bebasnya berbunyi : “Persatuan adalah harapan bagi rakyat. Jika persatuan tercipta, rakyat akan memiliki kehidupan yang baik; Jika tidak, maka rakyat akan menderita”.