Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado
Artikel ini sebagai bentuk respon pribadi atas artikel yang sebelumnya pernah diterbitkan blog Tionghoa.INFO dengan judul “Antara Pro Pembauran vs Anti Pembauran“. Ini juga ada hubungannya dengan artikel Tionghoa dan Kawin Campur yang ditulis oleh saudara Chen – Jakarta.
Perlukah masyarakat Tionghoa meng-eksklusifkan diri nya di Indonesia? Perlu diingat, kita sudah lahir dan tumbuh besar serta mencari uang di negeri ini. Tidak ada alasan bagi kita sebenarnya untuk tetap menjaga jarak dengan penduduk lokal/pribumi.
Tapi, kita juga tidak bisa memungkiri fakta sejarah dimana kita sebagai penduduk minoritas di negeri ini berulang kali dikecewakan dan dizolimi oleh kaum mayoritas.
Anggota keluarga saya dulu ada yang menjadi korban langsung pada saat kejadian Mei 1998 yang terjadi di Jakarta 17 tahun lalu. Toko papa saya juga tidak luput dari target jarahan massa. Kejadian waktu itu tidak mungkin saya lupakan begitu saja, karena saya dan keluarga sangat terpukul.
Bisnis papa saya hampir bangkrut, ditambah pihak asuransi yang tidak mau meng-cover kerugian sepeser pun dengan alasan kejadian diluar dugaan. Saya semakin kecewa mengingat pelaku2nya belum ditangkap sama sekali.
Pada waktu itu saya bersama adik perempuan saya hampir saja dikirim papa ke USA untuk tinggal dan bersekolah di sana agar lebih aman kalau konflik dan situasi dalam negeri tidak kunjung mereda.
Sedemikian bencinya saya sama orang pribumi sampai saya selalu menjaga jarak dengan mereka dan hanya mau berteman dengan sesama Tionghoa saja. Tapi, waktu perlahan bisa mengubahnya. Saya baru menyadari, bahwa masih ada etnis pribumi yang berhati mulia.
Kejadian ini berawal dari kecelakaan lalu lintas yang dialami suami saya 5-6 tahun yang lalu. Sekitar pukul 1 malam saya mendadak mendapat telepon dari pihak rumah sakit swasta X, memberitahu kabar bahwa nama X (suami saya) telah berada di tempat mereka akibat korban kecelakaan lalu lintas.
Saya sangat panik pada waktu itu. Dengan di temani beberapa anggota keluarga inti, saya segera menuju ke rumah sakit swasta X yang dimaksud.
Ternyata keadaan suami saya benar-benar parah. Dia kehilangan banyak darah, yang harus segera diganti. Masalah baru timbul, siapa yang menjadi pendonor di malam itu, karena golongan darah suami saya ternyata Rh- (Rhesus Negatif) AB.
Sebagai info, golongan darah Rh- ini tergolong sangat-sangat langka, karena hanya dimiliki oleh ± 1% penduduk Indonesia. Pihak rumah sakit juga tidak memiliki golongan darah AB- (negatif) ini. Pada waktu itu, meski ada uang 1 triliun juga tidak akan berguna.
Malam itu pihak rumah sakit segera “bergerilya” dengan menghubungi beberapa cabang PMI terdekat untuk mengecek apakah ada stok yang dimaksud. Bahkan keluarga saya berinisiatif untuk membuat pengumuman di rumah sakit itu dengan membayar sejumlah kompensasi untuk mencari pemilik golongan darah AB- ini.
Tidak diduga, muncul seorang laki-laki, usianya sekitar 40-an tahun. Dari perawakan nya, terlihat jelas dia adalah seorang warga pribumi asli. Dia mengatakan bahwa dia memiliki golongan darah yang kami cari. Tidak ingin kena tipu karena hanya ingin mengambil keuntungan; tanpa banyak basa-basi, keluarga saya mengatakan harus di tes dahulu.
Setelah di tes, ternyata memang cocok, dan segeralah proses transfusi darah dilakukan. Sesaat kemudian, pria tersebut hanya mengucapkan beberapa kata, lantas pergi. Dia tidak mengambil kompensasi (uang) yang sudah kami janjikan sebelum nya.
Kami lupa bertanya di mana dia tinggal, rencana kelak setelah kejadian ini selesai saya bersama suami akan ke sana untuk membayar budi baiknya. Yang jelas, mulai dari sini pandangan saya terhadap kaum (pribumi) ini berubah. Perlahan hingga saat ini saya mulai membuka diri.
Ternyata masih ada diantara mereka yang bersedia menolong tanpa pamrih. Budi (darah) ini akan saya ingat selamanya…
Catatan : Merupakan pengalaman pribadi
@Pengamat
1.Ibu itu kn hanya mau menyerahkan uang tanda terima kasih,bukan menyerahkan anak.jangan mikir terlalu jauhlah:)
2.Di semua rumah sakit pasti ada dokter jaga dan laboratorium yang buka 24 jam untuk pasien gawat darurat(misalnya korban kecelakaan atau serangan jantung.Jadi bukan hanya perawat saja yang selalu ada.
@ Herman Tan,
Membaca cerita di atas dan membandingkannya dengan biodata STEVANY, kelihatannya ada yang janggal.
Menurut biodatanya STEVANY saat ini adalah mahasiswi IT di Medan. Berarti perkiraan umurnya adalah sekitar 18-22 tahun.
Kemudian menurut cerita di atas bahwa kecelakaan SUAMI-nya terjadi 5-6 tahun yang lalu.
Apabila usia STEVANY saat ini 22 tahun maka ybs sudah menikah di usia 16 tahun ??
Apabila usia STEVANY saat ini 18 tahun maka ybs sudah menikah di usia 12 tahun ????
SANGAT-SANGAT JARANG SEKALI ADA KELUARGA TIONGHOA YANG MENIKAH-KAH ANAK GADISNYA DI USIA 12 atau 16 tahun.
APALAGI KATANYA KELUARGANYA SEMPAT MAU MENGIRIMNYA SEKOLAH KE AMERIKA, YANG BERARTI YBS BERASAL DARI KELUARGA TIONGHOA MAPAN.
The math is not add-up. Something is not right !
= Tan =
@ Pengamat, biografi Authornya sudah tidak lagi diperbaharui sejak 2013.
@Herman Tan,
Ok, confirmed. Jadi apabila di tahun 2013 usia ybs adalah 22 tahun maka tahun ini adalah 25 tahun, dan artinya ybs sudah menikah di usia 19 tahun ??
Apabila di tahun 2013 usia ybs adalah 20 tahun maka ybs sudah menikah di usia 15 tahun ????
Still, the math is not add-up. Something is not right !
I am guessing that her husband is A PRIBUMI !
She made-up something to cover her lower status marrying A PRIBUMI.
This is the most logical explanation why she desperately trying to defence her husband by any means.
= Tan =
Anda terlalu berpikir jauh pak Pengamat 🙂
Tapi saya suka analisis Anda, kalau tidak, Anda tidak akan ber ‘username’ Pengamat 🙂
Saya banyak mendapati etnis Tionghoa (gadis) yang menikah di usia <20 tahun. Tentu mereka mencari pasangan hidup yang usianya tidak sebaya.
Perhitungan saya, tahun 2013 ybs berusia 22 tahun (saya ambil opsi ybs semester akhir). Artinya saat ini berusia setidaknya 25 tahun. 6 tahun lalu pun setidaknya berusia 19 tahun, dan itu saya pikir tergolong wajar (untuk gadis) di masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah Medan dan Kalimantan. Tidak bisa disamakan dengan gadis perkotaan seperti di daerah Jawa, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Kesimpulannya, ybs sudah menikah saat sementara menyelesaikan kuliahnya.
Sebagai catatan, Nenek saya menikah pada usia 14 tahun. Di zaman dulu, menikah pada usia segitu adalah wajar. Cuma seiring makin berkembangnya zaman dan tingkat pendidikan, tentu usia menikah lebih naik. Saat ini, wanita Tionghoa perkotaan Indonesia banyak yang menikah diusia diatas 30 tahun. Apalagi di luar negeri seperti Singapore, Malaysia, Australia, atau USA. Pilihan tetap 'single' seumur hidup juga sudah biasa ditemui. Bahkan jika mereka menikah diusia tua, mereka hanya akan mengadopsi anak angkat.
@ Stevany,
1. Saya asumsikan bahwa cerita di atas adalah benar-benar terjadi.
Kalau benar ingin membalas budi kepada Pribumi maka relakah dan bersediakah ? Apabila anak perempuan dari bu Stevany diper-istri oleh Pribumi ?
Saya yakin 100% jawaban dari bu Stevany adalah TIDAK.
Apabila bersedia maka mohon konfirmasi secara tertulis melalui forum ini bahwa bu Stevany bersedia mendapatkan menantu dari keluarga Pribumi.
Saya yakin pula bahwa bu Stevany tidak akan bersedia membuat pernyataan karena takut suatu hari di masa yang akan datang nanti bahwa anak-anak bu Stevany memang akan di nikahi oleh orang-orang Pribumi.
It is a very simple proof to answer that your statement is not in sincerely.
====================================================================
2. Saya menduga bahwa cerita di atas adalah palsu, fiktif dan khayalan belaka.
Kebetulan nyawa suami ibu berhasil diselamatkan tapi apakah
peristiwanya benar-benar terjadi atau hanya karangan fiktif belaka ?
Jam 1 malam di rumah sakit swasta sudah tidak ada kegiatan operasional. Yang ada hanya dokter jaga di UGD itupun hanya mahasiswa magang/ko-as. Apakah mungkin pihak rumah sakit SWASTA itu ada yang mau “bergerilya” di malam hari untuk mencari darah dibeberapa cabang PMI terdekat ?
Apakah PMI masih ada yang buka jam 1 malam ??
Siapakah pihak di rumah sakit yang mau “bergerilya” itu ? apakah ada bagiannya untuk itu ? jangankan malam hari di saat siang hari sekalipun tidak ada yang mau untuk “bergerilya” ke kantor PMI. Paling hanya lewat telepon doang.
Saya melihat “ada banyak lubang kejanggalan” akan cerita bu Stevany.
Mungkin agar terlihat sedikit cerdas dibuatlah cerita rumah sakit “SWASTA” karena rumah sakit negeri sudah pasti tutup jam 1 malam.
Kemudian saat di tes darah di rumah sakit, apakah benar sesederhana itu ?
Jawabannya adalah tidak. Pihak rumah sakit mempunyai suatu prosedur tetap untuk mendata dan meminta KTP setiap calon pasiennya, termasuk KTP si bapak yang akan mendonorkan darahnya itu.
Apakah sesederhana itukah proses transfusi darah tanpa diperiksa terlebih dahulu di laboratorium akan kemungkinan infeksi HIV, AIDS, Gonorhea, Hepatitis, Sifilis, dll ?
Jawabannya adalah tidak.
Kebetulan laboratorium di rumah sakit manapun sudah pasti TUTUP di malam hari.
kenapa tidak mengontak keluarga dari suami bu STEVANY ? yang sudah pasti memiliki kesamaan akan golongan darah Rh- (Rhesus Negatif) AB ?
Kecuali, donor dari pihak keluarga se-ibu dan sekandung maka rumah sakit TIDAK AKAN PERNAH BERANI melakukan transfusi darah sembarangan.
Kembali ke masalah KTP. Umumnya di rumah sakit SWASTA, bahkan apabila ada orang sekarat tetapi tidak mempunyai KTP maka akan dibiarkan begitu saja sekarat sampai pagi,baru kemudian di urus saat ada penangung jawab rumah sakit yang sudah datang.
BTW. Nice try.
= Tan / Chen =