Last Updated on 17 April 2021 by Herman Tan Manado

Pada tanggal 05 Februari 2014 lalu Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki T. Purnama menghadiri acara perayaan Tahun Baru Imlek 2565 di Sun City Restaurant, Jakarta. Pada gelaran acara charity tersebut, Pak Ahok juga menerima sumbangan sebanyak 51 truk sampah (dump truk) yang terkumpul dari anggota Perhimpunan Pengusaha Indonesia Tionghoa.

Kemudian, satu per satu penyumbang yang hadir dalam acara tersebut menyalami serta mengajak foto bersama dengan Pak Ahok. Sumbangan tersebut sebelumnya memang telah dijanjikan sesaat sebelum Ahok akan menghadiri acara perayaan Imlek yang akan diadakan oleh perhimpunan tersebut.

Pak Ahok sesaat sebelum datang mengira dia hanya akan dikasih 2 dump truk saja, tetapi pas acara akhirnya kaget karena mendapati jumlah dump truk sebanyak 51 buah, jauh diluar perkiraannya.

Saat diwawancarai pada keesokan harinya , Kamis 6 Februari 2014 di Balai Kota; menurut Ahok dalam acara tersebut dia menyampaikan soal keinginan Pemprov DKI Jakarta untuk memiliki truk sampah di setiap kelurahan. Tapi Pemprov terkendala waktu dan anggaran untuk membelinya.

Meski sebelumnya Pemprov DKI telah mengalokasikan anggaran pembelian sejumlah 200 truk sampah, tapi ternyata tidak masuk dalam mata anggaran yang disetujui DPRD pada pertengahan Januari lalu. DPRD beralasan bahwa pengadaan truk sampah itu tak masuk dalam draf.

Padahal menurut Ahok, berdasarkan laporan dari Dinas Kebersihan, pengadaan itu ditolak sendiri oleh DPRD. “Syukur akhirnya dapat 51 truk sampah ini” kata Ahok. Para penyumbang juga bukan hanya pengusaha dari Jakarta saja, melainkan ada yang dari Samarinda dan Surabaya yang juga turut menyumbang di tempat.

Di sini pembaca sendiri dapat melihat bagaimana kekuatan masyarakat Tionghoa (bukan China; baca). Bagi pengusaha Tionghoa yang hadir pada acara tersebut, bukanlah hal yang sulit untuk memberikan sumbangan seperti itu, yang penting bagi mereka adalah tidak diperas dan diperlakukan secara adil sebagai seorang Warga Negara Indonesia (WNI).

Mereka juga ingin melakukan sesuatu untuk Ibukota Jakarta. Aksi spontan ini juga memperlihatkan bagaimana kelompok  pebisnis ini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pasangan Jokowi – Ahok agar dapat merealisasikan janji-janji mereka dan membuat hidup menjadi lebih baik bagi semua orang di Ibukota.

Sebelumnya kita tahu bahwa ada seorang bos pengusaha besar di Jakarta (saya tidak tulis namanya nanti anggap promosi) yang berencana menyumbang  (menghibahkan) 10 busway seharga 12 Miliar untuk selanjutnya akan di pergunakan sebagai bus Trans Jakarta, dengan syarat busway nya nanti tidak di pungut biaya ke warga.

Selain itu, pengusaha itu juga tidak meminta kompensasi dalam bentuk apapun, termasuk bentuk iklan atau pesan sponsor yang mungkin akan di cat pada bagian body kendaraan busway tersebut. Kuncinya adalah jika suatu pemerintahan bersih, pasti di dukung penuh oleh warganya.

“Jangan pernah bertanya apa yang Negara Anda lakukan untuk Anda, tetapi tanyakan apa yang dapat Anda lakukan untuk Negara Anda”

Sebelumnya di masyarakat sendiri juga tidak sedikit yang menganggap bahwa pengusaha Tionghoa itu suka atau gemar menyogok (menyuap) pejabat penguasa untuk memperlancar urusan hukum agar bisnisnya lancar. Padahal mereka menyogok juga karena dulunya mereka tidak diberi ruang gerak yang cukup dalam masyarakat (semua dibatasi).

Pada era orde baru, perayaan Imlek dilarang dan dianggap tabu. Kalau mau merayakan, juga tidak berani terang-terangan. Segala bentuk tradisi dan kebudayaan Tionghoa dilarang untuk di pertunjukkan/di pertontonkan di depan umum (termasuk tarian barongsai dan wushu).

Selain itu juga penggunaan karakter Hanzi untuk nama atau perusahaan/organisasi juga tidak boleh, dan harus menggunakan kata yang telah di Indonesiakan (maksudnya bagaimana itu kata yang di Indonesia kan? Sebuah kata yang tidak boleh terdiri dari 3 huruf kah?).

Bahkan untuk belajar bahasa mandarin saja bisa ditangkap polisi, jadi hanya bisa sembunyi-sembunyi juga. Masyarakat Tionghoa sering dianggap menumpang oleh warga pribumi (istilahnya masyarakat kelas 2). Ini semua adalah kenyataan (FAKTA); dan kita harus berani menghadapi fakta sejarah tersebut.

Para pengusaha Tionghoa juga sering kali dijadikan sapi perahan dan kambing hitam bagi para pejabat penguasa (politik). Ini karena iklim birokrasi yang memang sengaja dibuat oleh para koruptor. Coba lihatlah para businessman di luar negeri; adakah cara kerja mereka seperti di Indonesia?

Ini karena semua asalnya dari kebusukan birokrasi yang selalu memegang falsafah “Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?” Sekarang dengan adanya sosok Ahok, para pengusaha Tionghoa ini merasa ‘terwakilkan’. Jadi untuk urusan bisnis mereka tidak perlu untuk menyogok aparatur lagi untuk memperlancar (dari segi hukum dan kebijakan aturan pemerintah). Orang Tionghoa juga tahu bagaimana cara berbisnis yang baik dan benar.

“Dia memang berdarah keturunan Tionghoa, tetapi mungkin lebih nasionalis daripada sebagian besar pribumi”

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?