Last Updated on 13 December 2022 by Herman Tan Manado

Hari ini, masyarakat Tiongkok memperingati Pembantaian Nanjing (南京大屠杀; Nánjīng dà túshā), atau Nanjing Massacre, tepatnya pada 13 Desember 1937. Kala itu, tentara kekaisaran Jepang menguasai kota Nanjing, Tiongkok, dan memulai aksi pembantaian warga sipil terbesar yang tercatat dalam sejarah dunia!

Peristiwa Pembantaian Nanjing ini disetarakan dengan Holocaust yang terjadi di Eropa timur, sewaktu Perang Dunia 2.

Hanya dalam kurun waktu 6-8 minggu, diperkirakan ±300.000¹ pria, wanita dan anak2 tewas di tangan tentara imperialis Jepang, Mereka membantai penduduk Nanjing tanpa pandang bulu, termasuk mengeksekusi lansia dan bayi, serta ±20.000 perempuan² yang kemudian dibunuh secara keji setelah diperkosa.

Kasus pemerkosaan di Nanjing hanya merupakan satu dari sejumlah babak yang terjadi selama perang Tiongkok – Jepang (Sino Japanese War) yang berlangsung selama 8 tahun (1937-1945).

Sejumlah pembantaian terjadi di dalam dan disekitar kota Nanjing. Metode eksekusi yang diterapkan oleh tentara Jepang sangatlah keji, termasuk diantaranya penembakan, penusukan, pemancungan, penyiksaan, serta dijadikan kelinci percobaan di lab. Namun tindakan genosida yang keji ini terus disangkal Jepnag.

Setelah Jepang kalah perang, beberapa pelaku utama dari kekejaman ini kemudian ditangkap dan cap sebagai pelaku kejahatan perang, lalu dieksekusi mati setelah diadili dan dinyatakan bersalah di Pengadilan Militer Internasional Timur Jauh dan di Pengadilan Kejahatan Perang Nanjing.

Namun pelaku utama lainnya, Pangeran Asaka (1887-1981) yang merupakan anggota keluarga kekaisaran Jepang, lolos dari dakwaan, karena memiliki kekebalan penuntutan yang diberikan oleh pihak Sekutu³.

Baca juga : Mengapa Lagu Gong Xi Gong Xi Ditulis Dengan Kunci Minor?

A. Memperkosa Puluhan Ribu Perempuan Nanjing (The Rape of Nanjing)

Selain memperkosa puluhan ribu perempuan Nanjing, tentara Jepang juga menjarah dan membakar sedikitnya setengah bangunan di kota itu (tempat tinggal dan toko). Mayat2 berserakan di jalanan kota, sebagian lagi terlihat mengapung di sungai selama berminggu2.

Peristiwa ini menyisakan luka yang begitu mendalam di ingatan masyarakat Tiongkok, serta mempengaruhi hubungan kedua negara hingga saat kini (mengalami pasang surut).

Peristiwa ini tetap menjadi isu politik kontroversial, dan kerap menjadi batu sandungan dalam hubungan Tiongkok – Jepang, serta hubungan Jepang dengan Negara2 di Asia Pasifik, seperti Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia (terkecuali di Indonesia*).

Hal ini diperkuat karena penjahat2 perang yang dihukum malah diabadikan oleh pihak Jepang di Kuil Yasukuni pada tahun 1978. Di Jepang, pendapat publik tentang pembantaian bervariasi, sebagian menyangkal pembantaian telah benar2 terjadi (dianggap hanya propaganda militer Tiongkok).

Untuk mengenang tragedi ini dan menyuarakan pentingnya perdamaian di antara umat manusia, pada tahun 1985 pemerintah Tiongkok membangun Nanjing Massacre Memorial Hall, sebuah museum seluas 28.000 m² yang menampilkan bukti2 sejarah pembantaian di Nanjing.

Di museum tersebut dipamerkan catatan dan benda2 bersejarah, termasuk dinding besar yang mencantumkan nama2 korban, serta video visual untuk mengilustrasikan apa yang terjadi selama Pembantaian Nanjing berlangsung. Biaya masuknya gratis.

B. Dulunya Merupakan Ibukota Tiongkok (1928)

Setelah meraih kemenangan berdarah di Shanghai pada Agustus 1937, tentara Jepang mengalihkan perhatian mereka ke Nanjing, yang merupakan ibukota Tiongkok kala itu. Nanjing merupakan kota yang makmur, pusat industri, serta memiliki posisi yang strategis di daratan Tiongkok, sehingga Jepang bertekad untuk segera menguasainya.

Pemimpin militer Tiongkok kala itu, Chiang Kai-Shek (蒋介石), melihat bahwa pasukannya kemungkinan besar akan kalah dalam pertempuran untuk mempertahankan kota Nanjing.

Atas saran dari seorang penasihat militer Jerman-Nazi, Ia kemudian memerintahkan sebagian besar pasukan utama Tiongkok dipindahkan keluar dari kota, dan membiarkan Nanjing dipertahankan oleh pasukan yang tidak terlatih (paramiliter).

Chiang juga bersikeras agar kota itu tetap dipertahankan dengan cara apa pun, dan melarang evakuasi resmi warganya. Sejarawan lokal menganggap bahwa Ciang juga bertanggung jawab atas banyaknya korban yang jatuh.

C. Ketika Ratusan Ribu Penduduk Sipil Tiongkok Diselamatkan oleh MISIONARIS BARAT

rape of nanking
Pembantaian Nanjing yang dilakukan militer Jepang pada akhir tahun 1937 di Nanjing, Tiongkok.

Baca juga : Korban dan Pengorbanan Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia (Bagian III)

Namun banyak yang mengabaikan perintah ini dan melarikan diri (termasuk sisa2 pasukan yang diperintahkan tetap berjaga). Mereka yang tetap bertahan (warga sipil) hanya bisa mengharap belas kasihan dari musuh yang mendekat.

Sementara itu, sekelompok kecil pengusaha dan misionaris Barat yang tergabung dalam Komite Internasional untuk Zona Keamanan Nanjing (Nanjing Safety Zone), berusaha mendirikan daerah netral atau zona aman di kota tersebut, yang akan menyediakan perlindungan bagi warga sipil.

Zona aman ini dibuka pada November 1937, dan berisi kamp2 kecil warga pengungsi.

Pada 1 Desember 1937, pemerintahan Tiongkok resmi meninggalkan Nanjing dan pindah ke Chongqing, dan menyerahkan nasib Nanjing kepada Komite Internasional yang dipimpin oleh John Rabe, seorang Jerman-Nazi.

Sebelum meninggalkan kota, Walikota Nanjing, Ma Chaochun (马超俊) memerintahkan agar semua warga sipil yang tersisa berlindung ke zona aman untuk keselamatan mereka.

D. Dibentuknya Zona Aman Nanjing (南京安全區; Nanjing Anquan Qu)

Banyak orang Barat yang bekerja sebagai pengusaha dan misionaris agama tinggal di Nanjing, ibu kota Tiongkok, hingga Desember 1937.

Ketika tentara Jepang mendekati Nanjing dan memulai serangan bom di kota itu, semua dari mereka melarikan diri; kecuali 22 orang asing yang tertinggal, termasuk 15 misionaris dan pengusaha Amerika dan Eropa, bersama komite Palang Merah Internasional di Nanjing membentuk bagian dari kelompok yang tersisa.

Zona aman tersebut terletak di semua kedutaan asing, termasuk di Universitas Nanking, Universitas Jinling, RS Gulou, gedung komunikasi, dll. Orang2 Barat yang tertinggal (beserta personel keamanan yang tersisa) membentuk zona aman, yang terdiri dari sejumlah kamp pengungsi yang menempati area seluas 3,86 km² yang berpusat di sekitar Kedutaan Besar USA.

Zona aman Nanjing sewaktu pembantaian Nanjing oleh Jepang

Baca juga : Republik Tiongkok (1912-1949), Era Baru Tiongkok

Komite tersebut terinspirasi oleh pembentukan zona netral serupa yang dibentuk Jesuit Robert de Besange asal Prancis di Shanghai pada November 1937, dimana telah memberikan perlindungan terhadap sekitar ±450.000 warga sipil.

Militer Jepang telah setuju untuk tidak menyerang bagian kota yang tidak mengandung pasukan militer Tiongkok. Ketika Nanking jatuh pada 13 Desember 1937, ±500.000 pasukan non-pejuang tetap tinggal di kota.

Selama invasi yang berlangsung hingga berminggu2, Rabe berulang kali menggunakan kredensial Partai Nazinya (posisi tawarnya) bermohon untuk meminimalkan korban, dan memungkinkan ratusan ribu pengungsi memiliki waktu untuk melarikan diri.

Namun tentara Jepang tidak mematuhi perjanjian dengan Komite Internasional. Dari waktu ke waktu, tentara Jepang secara paksa masuk ke zona aman, menjarah properti, memperkosa wanita (terutama gadis2 pelajar di Jinling), dan menangkap serta membunuh pria muda maupun setengah baya.

Komite Internasional telah berulang kali memprotes kedutaan Jepang dan otoritas militer Jepang, menuntut agar daerah aman dilindungi sesuai dengan praktik internasional. Tetapi tidak digubris, karena intelejen Jepang mengklaim adanya anggota militer dan gerilyawan Tiongkok yang turut berlindung di dalam, karena siapa pun yang tidak mengenakan seragam bisa masuk.

Pada pertengahan Desember, Rabe menemukan bahwa beberapa tentara Tiongkok masih tinggal di daerah Zona Aman. Ini mengesankan bahwa pihak militer Tiongkok pun ternyata enggan untuk keluar dari zona itu, sebelum benar2 kepepet hingga menit terakhir, sekalipun itu mempertaruhkan nyawa warga sipilnya …

Pada akhir Januari 1938, pasukan Jepang memaksa para pengungsi untuk kembali ke rumah mereka di luar zona aman, dan mengklaim telah memulihkan ketertiban di Nanjing, tetapi pembunuhan terus berlanjut. Kamp2 pengungsi terakhir ditutup pada Mei 1938.

Pada 5 Januari 1950, Rabe meninggal karena stroke. Pada tahun 1997, batu nisannya dipindahkan dari Berlin ke Nanjing, dimana ia menerima tempat kehormatan di situs peringatan pembantaian, dan masih berdiri sampai sekarang.

E. Kedatangan Pasukan Jepang : Melarikan Diri, dan Berharap Belas Kasih Musuh …

Tampak sejumlah perawat yang ambil bagian dalam acara penyalaan lilin untuk mengenang para korban Pembantaian Nanjing, di Balai Peringatan Korban Pembantaian Nanjing oleh pasukan Jepang di Nanjing, Jiangsu, pada 13 Desember 2020 (Foto : Xinhua).

Baca juga : Kudeta Gulingkan Kekaisaran Tiongkok

Pada 13 Desember 1937, rombongan pertama tentara Jepang yang dikomandani oleh Jenderal veteran Matsui Iwane memasuki kota Nanjing. Berdasarkan situs Britannica, penghancuran Nanjing (beserta pembantaian dan pemerkosaan terhadap penduduknya) merupakan perintah dari Matsui.

Selama beberapa minggu berikutnya, tentara Jepang melaksanakan perintah Matsui. Mereka melakukan eksekusi massal di depan umum dan melakukan pemerkosaan sebagai bentuk teror di masyarakat. Tentara Jepang juga menjarah dan membakar hampir seisi kota, sehingga mengakibatkan kehancuran lebih dari setengah bangunan di Nanjing.

Meskipun pada awalnya mereka setuju untuk menghormati zona aman di Nanjing, namun pada akhirnya para pengungsi tidak bisa menyelamatkan diri dari keganasan tentara Jepang.

Pada Januari 1938, Jepang menyatakan bahwa ketertiban kota telah dipulihkan, dan membongkar zona aman. Pembantaian berlanjut sampai di minggu pertama Februari 1938.

Pada tahun 1940, Jepang kemudian menjadikan Nanjing sebagai ibu kota pemerintahan boneka Tiongkok, yang dipimpin oleh Wang Jingwei (汪精衞). Pemerintahan boneka ini berkuasa hingga Perang Dunia 2 berakhir pada Agustus 1945.

Karena perannya dalam Perang Pasifik, Wang dianggap sebagai pengkhianat negara (汉奸; hanjian) oleh sebagian besar sejarawan Tiongkok dan Taiwan.

F. Kejahatan Perang Tentara Jepang

Tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia 2, pemimpin2 militer Jepang yang melakukan invasi ke Tiongkok diadili atas tuntutan kejahatan perang.

Jenderal Matsui Iwane dinyatakan bersalah atas kejahatan perang oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (International Military Tribunal for the Far East). Dia dieksekusi gantung bersama 6 penjahat perang lainnya pada Desember 1948.

Sementara Tani Hisao, seorang letjen yang secara pribadi berpartisipasi dalam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan, dinyatakan bersalah atas kejahatan perang oleh Pengadilan Kejahatan Perang Nanjing. Dia dieksekusi regu tembak diluar gerbang Nanjing pada April 1947.

1. Karena sebagian besar catatan militer Jepang pada pembantaian Nanjing sengaja dirahasiakan, atau dibakar tak lama setelah Jepang menyerah pada pertengahan 1945, para sejarawan belum bisa secara akurat memperkirakan jumlah korban tewas dalam pembantaian.

Namun Pengadilan Militer Internasional Timur Jauh pada tahun 1948 memperkirakan bahwa > 200.000 orang Tiongkok tewas dalam insiden itu. Sementara perkiraan resmi dari pemerintah Tiongkok > 300.000 tewas, berdasarkan evaluasi Pengadilan Kejahatan Perang Nanjing tahun 1947.

Jumlah korban yang tewas masih diperdebatkan oleh peneliti sejak 1980-an, dengan rentang perkiraan mulai dari 40.000 s/d 300.000 orang.

2. Menurut Judgement of the International Military Tribunal.

3. Karena alasan geopolitik-strategis, Jenderal Douglas MacArthur memutuskan untuk mendukung keluarga Kekaisaran Jepang, dengan memberikan kekebalan kepada semua anggotanya dari tuntutan eksekusi kejahatan perang.

4. Anehnya, sentimen #antijepang di Indonesia malah kalah dibanding isu sentimen #anticina. Diduga ini karena faktor kedekatan Soekarno dengan pihak Jepang, yang dikuatkan dengan keberadaan istri ke-5 nya yang berkewarganegaraan (Naoko Nemoto).

Selain itu, suburnya pabrikan mobil dan motor serta peralatan elektronik yang berasal dari matahari terbit, juga semakin menenggelamkan ingatan keganasan perang Jepang di Indonesia. Bahkan di momen Piala Dunia, tidak sedikit masyarakat yang mengibarkan bendera Jepang sebagai bentuk dukungan terhadap tim Asia.

Baca juga : Republik Tiongkok (1912-1949), Era Baru Tiongkok

By Herman Tan Manado

One Smile Return to the East. Follow @tionghoainfo untuk info2 terbaru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: eitss, mau apa nih?